Kulihat perubahan yang mencolok. Beberapa gedung tinggi berdiri di depan mata. Jalan yang semakin lebar, membuatku jengah. Lalu lalang kendaraan yang semakin padat, nyaris tak berjeda.
Entah berapa tahun lamanya, tak kusinggahi kota ini. Kota yang dulu merupakan tempat bermain di masa lalu. Tentang bahagia, sakit hati, dan peristiwa-peristiwa yang tak ingin kuingat.
Aku terlahir di sini. Sebagai anak, dari seorang ayah yang... Ah. Entah. Setiap aku mengingat peristiwa itu. Ada perasaan nyeri menggedor-gedor lubuk hati. Nyaris tak hilang. Hingga aku harus meninggalkan kota.
Awan yang menggulung-gulung disertai angin sedikit gemuruh, memaksaku untuk menengadahkan wajah. Hem, tampaknya akan hujan. Aku harus mempercepat langkah, agar hujan tak membasahi tubuhku.
Setelah tadi turun dari bis yang kutumpangi lima jam lamanya, badanku terasa penat. Ransel bawaanku berat, sehingga aku agak membungkuk, agar tak membuat sakit punggung. Hem. Rasanya tak percaya, sampai juga di kota ini. Aku menghela nafas pelan.
***
Ayah melotot sambil membawa mengepalkan tangannya. Menahan amarah.
"Sini, kamu! Membuat malu ayah. Jadi laki-laki itu harus bertanggung jawab. Besok kamu ke rumah Ratna. Bilang pada bapaknya, kau akan bertanggung jawab."
Sementara aku menunduk, tak berani menatap wajah ayah. Sungguh, sebenarnya ini bukan salahku. Aku tak mungkin menghamilinya. Aku tak pernah berbuat yang tak senonoh itu. Ratna adalah gadis yang centil, dan hampir semua teman lelakinya pernah dekat. Bagaimana bisa aku bertanggung jawab, sementara aku tak berbuat?
"Tidak, ayah. Bukan aku yang berbuat. Bahkan aku tak pernah dekat dengannya. Aku tak lebih dari teman biasa."
"Masih mengelak? Laki-laki macam apa, kamu!"