Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Pemilik Hati yang Beku #3

10 September 2017   12:06 Diperbarui: 11 September 2017   11:39 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Sebelumnya:

Beberapa hari bersama bu Een, membuatku merasakan sedikit bahagia. Ada rasa takut kehilangan dia. Padahal ia bukan siapa-siapa. Aku semakin membenci tante Devi yang tak pernah baik padaku. Rasa benci ini membuncah saat aku teringat padanya. Juga ayah, yang tak berdaya di depan tante Devi. Aku sayang ayah, tapi ayah tak sayang padaku. Ayah lebih sayang pada tante Devi. Hatiku terasa kelu. Di tempat ini, aku merasa lebih nyaman karena ada bu Een, meski cemas, karena kemungkinan kecil bisa lolos dari tempat ini. Penjagaan si Bos begitu ketat. Dan sewaktu-waktu jiwaku bisa terancam.

***


"Sebenarnya kamu kelas berapa, nak?" tanya bu Een saat sedang memasak di dapur. 

"Kelas sepuluh, bu. Tetapi sekarang enggak lagi, karena Runi kabur dari rumah dan sekarang ada di sini." jawabku.

"Sayang sekali kalau harus putus sekolah. Kamu harus meneruskan sekolah kembali saat keluar dari tempat ini," katanya pelan.

"Yah, apa mau dikata, bu. Runi emosi pada saat itu. Ayah tak lagi peduli padaku." jawabku dengan suara lirih. Lalu aku menceritakan kisahku pada bu Een. Tentang ayah, tante Devi dan semuanya. Bu Een mendengarkan dengan seksama, walaupun sembari memasak. Tiba-tiba bu Een seperti memikirkan sesuatu, saat aku menyebutkan nama ayah.

"Ada apa, bu. Runi salah bicara, ya?"

"Oh, nggak papa, Runi. Ibu hanya teringat anak ibu. Seandainya anak ibu masih ada, tentu akan sebesar kamu, nak."

"Memang anak ibu kemana?"

"Anak ibu sudah meninggal. Tapi ah, sudahlah. Sudah berlalu. Yang penting sekarang, kita memikirkan bagaimana mencari jalan untuk bisa keluar dari tempat ini," bisik bu Een pelan sekali, takut terdengar oleh penjaga lain, yang kadang-kadang melintas juga di dapur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun