***
"Hei, siapa dia? Siapa namanya?" suara menggelegar bagai petir yang datang dari si Bos.
"Dia Seruni, Bos. Sebaiknya ia menemani saya untuk memasak di dapur. Saya butuh asisten. Lagian, dia tidak cantik, bos!" kata bu Een sedikit berbisik.Â
Aku hanya menunduk. Terasa mual jika harus memandang wajah Bos. Apalagi saran bu Een agar aku menunduk saja. Aku patuhi sarannya. "Jangan pandangi wajahnya, matanya mengandung mantra. Kamu bisa terpedaya," kata bu Een, sebelum aku dan dia memenuhi panggilan si Bos.
"Baiklah," katanya. Lalu si Bos berlalu. Ada nafas lega, dari bu Een dan diriku.
Sejak saat itu, aku menjadi juru masak di rumah sekapan bersama bu Een. Aku tak pernah tahu, di mana tempat ini, karena tak pernah diijinkan untuk keluar. Lagian rumah ini berpagar tinggi mengelilingi bangunan, tak mungkin aku bisa lolos.
Diajarkan aku cara membuat masakan. Aku menganggap bu Een ibuku sendiri. Meski dulu aku pernah ditipunya hingga masuk di rumah ini, tetapi bu Een menyelamatkan aku dari Bos. Aku merasa prihatin dengan kondisi teman senasibku yang lain, yang pernah dalam satu sekapan. Entah bagaimana nasibnya.
Beberapa hari bersama bu Een, membuatku merasakan sedikit rasa bahagia. Sedikit senyum bisa tersungging dibibirku, saat melihat bu Een berbincang lucu. Ada rasa takut kehilangannya. Padahal ia bukan siapa-siapa. Dan mengapa aku semakin membenci tante Devi yang tak pernah baik padaku. Rasa benci ini membuncah saat aku teringat padanya. Juga ayah, yang tak berdaya di depan tante Devi. Oh, ayah, aku sayang ayah, tapi ayah tak sayang padaku. Ayah lebih sayang pada tante Devi. Hatiku terasa kelu.
Di sini, aku merasa lebih nyaman karena ada bu Een, meski cemas, karena kemungkinan kecil bisa lolos dari tempat ini. Penjagaan si Bos begitu ketat. Dan sewaktu-waktu jiwaku bisa terancam.Â
***
Semarang, 9 September 2017.