Mohon tunggu...
Ajie Marzuki Adnan
Ajie Marzuki Adnan Mohon Tunggu... profesional -

Manusia biasa, suka tidur, suka browsing internet, suka baca komik Doraemon juga. Getting older but still a youth!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Militer dan Hak Asasi Manusia

4 April 2011   02:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:09 4023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini saya buat karena ada sebuah pertanyaan menarik dari seorang kawan saya, seorang penulis muda mengenai HAM, Wahidini Nur Aflah, mengenai keterkaitan antara militer dengan HAM. Pertanyaannya dia dulu kurang lebih seperti ini "Kok orang mau aja ya digituin (pelatihan militer), kan mereka (personel militer) seharusnya mereka mempunyai hak juga yang wajib dilindungi negara". Berangkat dari pengalaman saya sebagai anggota paskibra (yang dilatih dengan kedisiplinan semi-militer) dan ketertarikan saya dalam dunia militer, maka saya merasa tertarik dan tertantang untuk menjawab pertanyaan ini.

Definisi militer adalah sebuah organisasi yang diberi otoritas oleh organisasi di atasnya (negara) untuk menggunakan kekuatan yang mematikan (lethal force) untuk membela/mempertahankan negaranya dari ancaman aktual ataupun hal-hal yang dianggap ancaman. Sehingga bila berbicara militer kita juga akan selalu berbicara mengenai negara. Militer seringkali berfungsi dan bekerja sebagai sebuah masyarakat dalam masyarakat (societies within societies) dengan memiliki komunitas ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum dan lain-lainnya sendiri.

Dalam sistem ekonomi contohnya, khusus untuk di Indonesia, personel militer dilarang melakukan kegiatan bisnis yang melibatkan masyarakat sipil. Pendidikan militer pun lebih ditekankan pada konsep bela negara dan indoktrinasi nasionalisme. Sedangkan pada bidang hukum, militer pada umumnya di dunia mempunyai sistem peradilan sendiri, yaitu mahkamah militer.

Dalam perspektif politik pragmatis, militer adalah alat negara untuk mencapai tujuan negara, baik itu internasional ataupun lokal. Militer adalah salah satu perangkat negara yang diberi legalitas untuk melakukan kekerasan, bahkan kepada penduduk sipilnya sendiri yang dianggap pemerintah membahayakan eksistensi negara.

Sebaliknya dalam sudut pandang politik ideal dan pemerintahan yang berbasis pada kepentingan publik (republik), militer adalah sebuah kekuatan publik (public force). Maka dari itu, aksi yang dilakukan militer didasarkan pada opini publik mainstream. Namun tetap tujuannya adalah melenyapkan ancaman terhadap negara baik itu dari dalam ataupun luar negeri.

Lalu kenapa pendidikan militer diciptakan sedemikian keras sampai menggadaikan hak asasi sang personil militer tersebut (prajurit)? Pertama-pertama perlu disadari bahwa masyarakat militer sangat jauh berbeda dengan masyarakat sipil (military society Vs. civilian society). Dalam masyarakat sipil terdapat keanekaragaman (diversitas) komponen masyarakatnya, mulai dari profesi, latar belakang pendidikan dan perspektif pribadi yang beranekaragam. Sederhananya, masyarakat sipil adalah masyarakat yang sangat berwarna-warni (heterogen).

Sedangkan masyarakat militer adalah masyarakat yang memang diciptakan untuk kesamaan (homogenous society). Dalam lingkungan militer, individunya sudah jelas berprofresi satu, yaitu tentara. Pendidikannya pun sejenis, yaitu pendidikan militer (indoktrinasi dan pelatihan fisik). Perspektif pribadinya pun di bentuk sedemikian rupa sehingga semuanya sama-sama berbasis pada nasionalisme dan bela negara.

Sederhananya, bila dalam masyarakat sipil adalah masyarakat yang terciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda pada masing-masing individu, maka pada masyarakat militer adalah masyarakat yang memang diciptakan khusus hanya untuk berperang, atau kasarnya, untuk menghabisi nyawa manusia lainnya (born to kill).

Kontruksi masyarakat militer yang diciptakan untuk berperang ini tentu membutuhkan suatu tingkat kedisiplinan ekstrim yang melebihi tingkat kedisiplinan masyarakat sipil. Kedisiplinan senantiasa berbanding terbalik dengan kebebasan.

Contohnya di Singapura, kita tidak akan menemui satupun sampah bekas permen Karet di seluruh penjuru kota itu, karena memang disana dilarang untuk memakan permen karet. Dari contoh itu kita melihat bahwa kebebasan seseorang (hak) untuk mengunyah permen karet telah dilanggar oleh pemerintah Singapura. Namun hasilnya jelas, tidak ada satupun sampah permen karet yang kita temui disana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun