Mohon tunggu...
Ulan Hernawan
Ulan Hernawan Mohon Tunggu... Guru - I'm a teacher, a softball player..

Mari berbagi ilmu. Ayo, menginspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jadilah Guru dengan Posisi Tawar Tinggi, Bukan "Pengemis"

12 September 2017   10:37 Diperbarui: 15 September 2017   11:46 6768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: scilog.fwf.ac.at

Mengapa Seorang Pengajar Harus Memiliki Posisi Tawar Tinggi, Bukan Level "Pengemis"?

Saat ini, tuntutan menjadi seorang pengajar sangatlah tinggi. Seolah tidaklah cukup hanya memiliki gelar D3, S1 bahkan S2. Namun, apakah gelar saja cukup untuk menjadi seorang pengajar berkualitas? Gelar guru bersertifikasipun, sudah bertebaran bagai buah rambutan di musimnya. 

Sepemahaman saya, setinggi apapun gelar yang diraih, bahkan setingkat doktor dan profesor, apabila tidak "capable" dalam mentransfer ilmu kepada yang lain, atau memberikan pengetahuannya untuk kemaslahatan orang banyak, maka gelar hanyalah gelar. Bandingkan dengan seorang pengajar di daerah terpencil, yang menggunakan sarana sederhana dalam mengajar, namun ilmunya mudah diserap, diimplementasikan dengan mudah oleh murid-muridnya, maka pengajar itu sudah menunaikan salah satu kewajibannya sebagai pengajar. "Transfer ilmu" bahasa kerennya. Mereka-mereka yang bergelar tinggi, tapi tidak mampu mentransfer ilmu dengan baik, hanyalah sebatas pengajar biasa. Bisa mengajar, karena ada gelar. 

Itu tadi hanyalah sebagian kecil ironi kualitas mutu sumber daya pengajar di negeri ini. Kita seringkali melihat banyak ketimpangan dalam pendidikan disekitar kita dan terkadang enggan untuk mengkritisinya. (Maaf), banyak para sarjana S1, S2, S3, lebih memilih menjadi pengajar di level pendidikan yang "mampu" dalam segi finansial dan fasilitas yang layak, untuk bekerja dan menyambung taraf hidup ke arah yang lebih baik. Sedangkan, mereka yang terjun ke level pendidikan "kurang mampu", masih sangat sedikit. 

Faktanya, negeri ini sebagian besar terdiri dari pendidikan kurang mampu, dari segi finansial, fasilitas dan kualitas pengajar. Apalagi di daerah-daerah dan pulau kecil. Saya pernah merasakan, perihnya mengajar di tempat terpencil yang hanya menggunakan lilin untuk kegiatan belajar mengajar. Di sisi lain, pernah juga merasakan merasakan nikmatnya mengajar di sebuah ruang kelas ber-AC dan lengkap dengan segala materi dan fasilitas mewahnya. Semua itu belumlah cukup menjadikan kita (pengajar muda) sebagai guru yang baik, tanpa bisa mentransfer ilmu sesuai bidang kita. Atau hanya sekedar memberikan idealisme yang baik ke anak didik kita tentang proses menjalani kehidupan.

Menjadi seorang pengajar dan pendidik harus memiliki posisi tawar tinggi. Yang bisa kita berikan ke mereka (murid) adalah ilmu. Bukan sekedar ilmu pengetahuan, namun ilmu-ilmu yang bisa ditularkan supaya mereka bisa survive di kemudian hari. Kesantunan, kebijaksanaan, integritas, kearifan, kesabaran, penentuan membuat keputusan, leadership/kepemimpinan adalah beberapa contoh ilmu yang berguna untuk mereka. Kita tawarkan dan berikan itu semua, maka secara langsung kita pun mematok posisi tawar kita menjadi pengajar yang mumpuni dan bermutu. 

Bukannya menjadi pengajar level "pengemis", yang mengedepankan gelar, namun tidak mampu menyadari bahwa banyak nilai-nilai dalam dirinya yang tidak sesuai sebagai "role model" untuk generasi muda saat ini. "Pengemis" dalam artian, malas bergerak untuk kemajuan, menunggu rejeki datang atau mengejar hanya rejeki untuk kepentingan individual, tidak mampu berinovasi dan improvisasi terhadap perubahan, dan mungkin unggul hanya dalam "menjilat" dan tipu-menipu. Kita (pengajar) bukanlah di level itu, iya kan?

Seorang pengajar yang memposisikan dirinya di level tertinggi, haruslah berpegang teguh pada pendirian dan idealisme nya sebagai seorang pengajar. Karena itulah modal baginya untuk diakui, dihargai dan dihormati sebagai seorang individu. Bayangkan bila semua pengajar di negeri ini mampu memposisikan dirinya di level tertinggi. Tak peduli meskipun para pembuat kebijakan masih menutup sebelah mata, kehormatan dan martabat pengajar akan bisa terangkat derajatnya diantara profesi lain. 

Catatan kecil sebagai pengajar, janganlah kalah dengan rasa malas untuk menjadi pengajar berkualitas. Jangan kalah dengan mental sebagai "pengemis" yang menunggu rasa iba orang lain. Janganlah menjadi pengajar beralaskan materi semata. Tinggikan posisi tawar anda!

Ulan Hernawan

Baca juga : Etika Guru Dan Politiknya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun