Liputan Diskusi Antologi Esai "Obrolan Sukab."
Sukab ternyata akronim : aSU KABeh.
Jelas merupakan bagian dari slengean gaya Yogya. Nyaris sama dengan nama kedua dari Seno Gumira Ajidarma, SGA - penulis antologi esai "Obrolan Sukab," yaitu : Mira Sato (sila ditebak artinya)
Sebagai anak dari keluarga diplomat - yang tugasnya di luar negeri berpindah-pindah -- ternyata Seno teteup berkait erat dengan darah Jawanya. Dan pengalaman hidup sebagai "migran" itu - selain meningkatkan wawasan juga membentuk karakter suka olah pikir olah rasa, pun senang literasi. Maka menyandang gelar S3 pantas baginya.
Berbagai karya sastra Seno baik cerita pendek maupun novel membuktikan itu. Juga "Obrolan Sukab," kumpulan esei yang menggambarkan kehidupan migran asal Jawa, yang mengais penghasilan jadi buruh galian bersenjatakan pacul dan pengki, yang makan tidurnya di kolong jembatan layang. Di Jakarta dikenal sebutan Sindang - singkatan dari Sindanglaya - asal daerah para buruh itu.
Selebritas
Ahli sosiologi menyebut urbanis atau kaum urban kepada migran yang datang desa-desa ke kota-kota besar. Pull factor manisnya madu pemikat para pendatang menyerbu, tentu terasa nikmat  dibanding pahitnya sikon daerah - yang jadi push factor sehingga warga tinggalkan desa - lantaran pembangunan daerah tertinggal nyaris sekedar program lembaga.
Sukab - nama tokoh utama dalam esei itu - boleh dikatakan sebagai sosok yang melampiaskan uneg-uneg Seno sebagai intelektual terhadap situasi kondisi kemasyarakatan.
Sukab - yang tak ditulis riwayat pendidikannya - memaparkan berbagai keluh kesah rakyat (baca: pribumi) yang hidupnya terpinggirkan, bergelimang duka. Termasuk menyoroti perilaku para birokrat "selebritas" poleksos yang "selebrasi"nya disindir : aSuKABeh, Dab.
Karena bagian dari kaum urban maka Seno menulis dengan dialek Betawi gaya Tarzan. Artinya, jauh dari cara bicara apalagi tata bahasa Betawi.
Karena itu inisiatif Bentara Budaya menghadirkan tiga pendekar Betawi masa kini untuk mengupas "Obrolan Sukab" : Zen Hae, JJ Rizal, dimoderatori Yahya A.Saputra memang pas cocok.
Kedua pengupas itu menyebut nama-nama seniman Betawi tempo doeloe yang menggeluti kehidupan Jakarta dan menuliskannya dengan bahasa Betawi baik berupa esei, kolom, cerita pendek. Tersebutlah : Firman Muntaco, Â SM Ardan, Dahlan Faturrohman, yang menjajari para eseis, kolumnis di media cetak, antara lain : Umar Kayam, Mahbub Junaedi, Emha Ainun Nadjib, Misbah Yusa Biran, Gus Dur, Ajip Rosidi.
Blasteran
Seno itu menulis amatan keseharian dengan apa adanya,"Ngerahul atawa Rahul alias ngobrol ngalor ngidul," ungkap JJ Rizal," Dengan dialek urban Jakarta, bahasa Indonesia yang diBetawi-in.."
Sehingga menghadirkan,".. bahasa blasteran -- campuran dari berbagai bahasa maupun perilaku," bahas Zen Hae, "Boleh disebut hibrida." Maka, tambahnya,  yang ditulis Seno itu," Anabel, analisa gembel, dengan menggunakan bahasa rakyat kelas bawah.."
Memang begitulah kaum urban yang datang dengan membawa bahasa daerah masing-masing, ditambah lagi bahasa migran mancanegara - bergaul setiap hari saling mempengaruhi. Secara "ekstrem" boleh dinyatakan bahwa obrolan di buku ini tak mungkin ditelaah oleh ahli bahasa Indionesia "yang baik dan benar." Dijamin kagak bakalan mudeng.
Hidup di kota besar berbagai perubahan berlangsung dinamis. Dari amatan fisik, misalnya, berdirinya bangunan-bangunan beton menjulang tinggi, infrastruktur meningkat sejalan pertambahan populasi  menjadikan kondisi big village berubah metropolitan kemudian kosmopolitan. Tentu semua itu  mempengaruhi ragam bahasa ucap dan perilaku warganya. Sedap macam gado-gado. Siapapun tak boleh bengong alias manyun. "Kudu berubah, move on, dong.."
Tangerang Selatan, 23 Maret 2019
Uki Bayu Sedjati
(Penulis serial Bos Gede (2013): obrolan karyawan pabrik tentang berbagai masalah dengan celotehan bahasa daerah masing-masing,Â
a.l: Tegal, Jawa Timur, Jawa Barat, Minang, Batak, terhimpun di antologi "Tunggu Tanggal Mainnya" (2018)