[caption caption="Sarung | dok.pribadi"][/caption]
Sarung sedang duduk tersedu di pinggir tungku. Hatinya sendu, gairahnya layu. Ia baru saja dicampakan tubuh yang kecewa. Kecewa sebab gigitan nyamuk telah merusak malamnya yang ngantuk.
“Kau telah tua. Zaman telah jauh berubah. Kadang, kita memang harus merelakan masa depan datang menghempas tanpa bisa bikin apa-apa. Tradisi hanya akan menjadi dongeng pengantar senja.”
Begitu kata tubuh. Seperti zaman berubah, ia menyakini harus turut padanya.
Padahal, baru kali ini aku mengecewakan. Mengapa tubuh lekas memvonis satu kesalahan dan melupakan ratusan malam penuh keberhasilan? Tanya sarung dalam gumamnya. Ia masih penasaran.
Kecewa adalah kecewa. Tubuh sering tak suka mendengar alasan-alasan di baliknya. Sarung lupa pada watak tubuh yang mudah pula lupa bahwa yang melahirkan perpisahan dari kecewa adalah karena sering diratapi berlebih.
***
Setelah merasa dirinya cukup rapi, sarung pergi ke kios loak. Gerimis turun dengan lambat sekali, seperti menolaknya meninggalkan kamar yang mendadak suram.
“Aku tak sudi kau pergi,” rengek kamar sebelum sarung meninggalkan pintu.
Sarung hanya tersenyum. Rengek begitu hanya akan menambah bimbang langkahnya.
“Aku tak ingin ada penutup tubuh baru yang memenuhi ruangku,” rengek kamar makin menjadi. Tapi bagi sarung, menghadapi kecewa adalah dengan melewatinya. Dan itu dengan pergi menyerahkan nasib pada kios loak.