Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membicarakan Katingan, Antara Ibu Kota Baru dan Catatan Berserak di Kompasiana

9 Mei 2019   13:40 Diperbarui: 10 Mei 2019   10:13 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama Senja di desa Mendawai, DAS Katingan, Kalteng | Dok. Pribadi

Orang-orang membicarakan ibu kota baru bagi negara. 

Tapi, seringkali, segelintir saja yang peduli dengan "apa atau mengapa" yang absen selama ibu kota bertahun-tahun bekerja dari pusat yang usang, yang kini terlihat sesak, bengkak, dan sakit-sakitan terlalu sering. Mungkin juga tampak berpikiran kerdil dan membahayakan masa depan anak-anaknya sendiri. Mungkin juga akan kolaps dengan cara yang ironik: sebagai pusat intelelektualitas nasional.

Dan selalu ada orang-orang memang ingin menghindari percakapan mengenaskan perihal "ibu" yang telah menanggung sejarah mengenaskan seperti itu. Termasuk merasa cemas ketika memproyeksikan Katingan, yang merupakan salah satu dari segitiga emas Kalimantan Tengah selain Palangka Raya dan Gunung Mas, ke dalam sejarah baru sebab setengahnya bukan saja tumbuh dengan kesangsian di kepala. Mungkin juga, tumbuh dari narasi orang-orang kalah. 

Kalau sudah memulai dengan kecemasan yang rumit seperti begini, lalu apa yang mau diceritakan orang-orang seperti itu? 

Sejuta emosi berlapis-lapis oleh faktualitas ketimpangan yang merawat sehari-hari, bahkan tak cukup dengan itu, juga produksi stereotype yang tumbuh dari persilangan kekuasaan dan ilmu pengetahuan berwatak menaklukan? Atau bertumpuk-tumpuk kesedihan yang terpenjara secara historis-struktural dalam posisi sebagai orang daerah?

Sangat bisa, dan mungkin juga harus.


Yang jelas, bagi saya, menyebut Katingan membawa ingatan pada satu perkara yang mendasar. Yakni menulis semestinya membutuhkan pembawaan diri ke dalam kompleksitas situasinya, bukan sebatas judul yang merayu klik (click bait). Karena itu, dibutuhkan semacam pegangan untuk membangun pelukisan terhadap kompleksitas itu.

Sosiolog, George Ritzer menyebutnya, kerja sosiologis mengungkap hubungan timbal-balik (dialektika) makro-mikro struktur bersama sejarah subyek.

Dalam kalimat yang agak teknis, menulis adalah pengalaman diri masuk ke dalam sendi-sendi yang mendesak-desak daya gugah sekaligus mengungkap hambatan-hambatan yang menundanya berubah. 

Semacam kerja pikiran untuk menyentuh sesuatu yang emosional namun tidak lantas menafikan gambar besar yang menunjukan hubungan-hubungan rumit dari (operasi) kekuasaan, ilmu pengetahuan dan bentuk-bentuk diskursifnya. 

So, apakah menulis adalah juga "bertindak politis"? Ya!

Kebun sayur Organik milik seorang warga yang dikerjakan dengan kaidah Permakultur. Ini merupakan salah satu bentuk respon terhadap pengelolaan lahan pertanian tanpa membakar dan intervensi kimiawi di desa Mendawai, Katingan | Dok.Pribadi.
Kebun sayur Organik milik seorang warga yang dikerjakan dengan kaidah Permakultur. Ini merupakan salah satu bentuk respon terhadap pengelolaan lahan pertanian tanpa membakar dan intervensi kimiawi di desa Mendawai, Katingan | Dok.Pribadi.
***

Saya memang hanya menghabiskan 4 tahun di tepian DAS Katingan. Itu pun hanya di kecamatan Kamipang dan Mendawai (yang terletak agak ke muara), dengan sesekali ke Sampit (Kotarawingan Timur) atau Palangka Raya dan Kasongan. 

Dalam masa 4 tahun itu, saya hanya sempat merekam beberapa cerita warga desa, melihat bagaimana masa lalu merawat nostalgianya. Saya juga baru terlibat dalam beberapa aktivitas yang berurusan dengan rencana-rencana menyusun sumber penghidupan alternatif mereka. Saya pun tidak lebih dari 5 kali mengalami dampak kebakaran hutan dan lahan, termasuk kebakaran hebat di tahun 2015 itu. 

Bagaimana persisnya pergulatan-pergulatan itu dituliskan? Lantas, apa yang membuatnya, terlahir sebagai suara-suara yang menyimpan kegelisahan sekaligus kemuakan terhadap narasi timpang pusat-daerah itu?

Yang pertama, dalam Retak Identitas; Manakala Penemuan dan Pengasingan Bergandeng Tangan. 

Tulisan bernada Post-Colonial Theory ini dipicu oleh sebuah film. Film etnografis yang memotret masa lampau leluhur Dayak yang ketika tiba di depan mata kekinian, itu terlihat aneh, asing bahkan sebuah pertunjukan hidup yang terbelakang. 

Akan tetapi, apakah situasi asing, aneh dan terbelakang itu semata-mata karena jarak waktu antara dua subyek budaya? Saya rasa tidak. Ada problem yang lebih besar dan rumit di sana-setidaknya di kepala saya. 

Apa itu? Saya kutipkan saja: 

Untuk kenyataan hari ini dan juga dalam jangka masa yang panjang, Dayakisme atau Papuaisme dan juga Isme-isme berbasis pada narasi anak-anak suku akan selalu mencari saluran untuk menyatakan dirinya, saluran untuk menegaskan keunikan dan kepentingannya dalam tekanan dua narasi besar: nasionalisme negara-bangsa dan globalisme pasar. 

Nasionalisme Negara-bangsa akan selalu menjaga batas-batas dan kontrol terpusatnya secara territorial juga pemaknaan atas ‘ketunggalan diri sebagai bangsa’ sedang globalisme pasar bekerja sebaliknya: memecah teritori-teritori sebagai unit-unit tersebar (deteritorialisasi) dan merongrong ketunggalan makna sebagai bangsa itu (dekonstruksi). 

Dayak(isme) dan Papua(isme), sebagai perlambang kehadiran dari yang lokal, ada dalam gelombang pertemuan ini. 

Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah "retak identitas" itu terjadi? Bagaimana dia muncul justru ketika negara modern dan merdeka terbentuk?

Pada riwayat negeri terjajah, ‘penemuan intelektual’ ini tak bisa lepas dari kondisi penaklukan, kekalahan, dan hubungan-hubungan yang tak setara. Di balik tudung besar identitas selalu ada ‘proyek intelektual’ yang hendak mencoba merekonstruksi juga mendekonstruksinya. 

Ada kekuatan yang hendak memusnahkan dan ada yang berusaha menghidupkan kembali. Atau apa yang kini dikenal sebagai identitas bisa saja merupakan buah dari ‘konspirasi intelektual-politik-intelijen-militer’.

Kemudian saya tebalkan argumentasi ini dengan mengutip Simon Phillpott, seseorang pengguna kritik Foucault dalam kecurigaan terhadap narasi besar negara post-kolonial dan sistem dunia yang dikontrol oleh kehendak Amerikanisme.

..Pada mulanya Indonesia bukanlah entitas yang penting, sebagai teritori, rumah suku bangsa, maupun rumah peradaban. Untuk kurun masa yang dekat, paling tidak dalam sudut pandang kepentingan Amerika Serikat, Indonesia ‘baru diadakan’ sebagai diskursus/wacana/tema pengetahuan sesudah mereka perlahan menjadi kekuatan ekonomi, politik juga militer yang berambisi untuk, meminjam kata-kata Komodor Perry ketika membuka Jepang zaman restorasi Meiji bilangan tahun 1800an–: ‘menempatkan ras Anglo Saxon di Asia Timur’.  

Dus, apa imbas dari model relasi kuasa yang seperti ini terhadap identitas Dayak yang terlihat aneh, asing, dan terbelakang dari sebuah film di depan generasi penerusnya sendiri?

Silakan diteruskan "provokasi" seperti ini dalam tulisan dimaksud.

Kelotok, taksi sungai yang menjadi sarana transportasi massal di DAS Katingan | Dok.Pribadi
Kelotok, taksi sungai yang menjadi sarana transportasi massal di DAS Katingan | Dok.Pribadi
Kedua, dalam artikel berjudul Merenungkan Sungai Dalam Mimpi Poros Maritim Dunia. 

Dari judulnya, kita segera sadar jika tulisan ini mengambil kekinian sebagai titik bergeraknya. 

Yakni kekuasaan sedang berganti rezim dan laut tengah  dijadikan sebagai porosnya. Kegagalan pembangunan daratan lewat Developmentalisme yang sering disebut-sebut sebagai alat ideologis dari kontrol  kapitalisme atas negara-negara di Asia Tenggara produk Perang Dingin itu mulai ditinggalkan. 

Sebagaimana dikatakan di sana:

Di luar ramai berita tentang langkah-langkah Kabinet Kerja Jokowi dalam mewujudkan lahirnya poros Maritim itu, salah satu hal yang barangkali luput dari perhatian kita adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban yang menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya pesisir. Peradaban itu adalah peradaban sungai...

Sudahkah sungai-sungai ini dimasukkan dalam satu kerangka berfikir yang terintegrasi dengan mimpi Poros Maritim tadi? Salah satu pertanyaan antropologi penting adalah apakah keberadaan suku-suku sungai yang hidup disana sudah menjadi subyek yang juga penting dalam 'pembangunan manusia Indonesia seutuhnya? 

Dalam pada itu, apa masalah-masalah yang menjadi hambatan struktural dari keberadaan masyarakat sungai, khususnya di DAS Katingan?  

Ada ketergantungan yang masih kuat terhadap sungai dan hasil hutan yang terus hidup di hadapan skenario pembangunan nasional yang melibatkan tangan-tangan asing (internasional). Ada kondisi yang boleh disebut krisis yang belum benar-benar pulih, setidaknya dari kesaksian sederhana warga desa. Krisis warisan jaman pembalakan kayu besar-besaran. 

Saat yang bersamaan, sesudah negara serba pusat dirontokan reformasi, otonomi daerah belum benar bekerja mengikis akses pada layanan dasar. Layanan seperti kesehatan dan pendidikan. Tak sedikit angkatan produktif yang juga memilih menjadi buruh di perkebunan sawit. Tak sedikit pernikahan terjadi di usia muda. 

Sudah ini semua, realitas sehari-hari masyarakat sungai, menjadi tema utama dalam kebijakan "Poros Maritim"? 

Keramba di desa Tewang Kampung, Kec. Mendawai, DAS Katingan | Dok.Pribadi
Keramba di desa Tewang Kampung, Kec. Mendawai, DAS Katingan | Dok.Pribadi
Yang ketiga, dalam cerita berjudul Kisah Sedih Desa Tepi Sungai.

Kali ini, sebuah peristiwa yang menguras kesedihan terjadi di depan mata menjadi bahan bakunya. Saya kutipkan saya sedikit dari seluruh cerita yang ketika saya baca lagi, sembab itu selalu ingin kembali.

Di desa-desa yang terletak di tepian sungai ini, saya banyak menemukan peristiwa-peristiwa yang bikin miris kalau bukan malah menangis. 

Beberapa saya ceritakan, beberapa lagi saya simpan. Penduduknya banyak hidup dari perikanan tangkap, ada juga yang berburu di hutan dan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu. Semua pekerjaan itu sering tak cukup untuk hidup sehari-hari. 

Di desa-desa tepian sungai ini, kecuali ibu kota kecamatan dan desa yang dekat dari situ, listrik tak ada, air bersih tak punya. Fasilitas pendidikan terbatas, fasilitas kesehatan sama adanya. Tak ada jalan darat, semua lewat sungai. Keluar-masuk desa melalui sungai membutuhkan biaya yang tidak sedikit, khususnya untuk membeli BBM. 

Nenek yang sakit dan perempuan yang baru meninggal kemarin pagi itu adalah contoh bagaimana susahnya penduduk desa tepian sungai mendapatkan fasilitas kesehatan yang siap siaga di desanya. Hanya ada puskesmas pembantu, dalam kondisi darurat, tenaga medisnya sering tak berdaya. 

Orang yang sakit harus segera dikirim ke kecamatan. Tapi itu jika ada ces dan bensin. Taksi perahu tidak lewat setiap hari. 

Bagaimana jika kondisi darurat terjadi malam hari? Ketika memikirkan ini, seperti mengalami jalan buntu bernegara saja. 

***

Mengalami 4 tahun di Katingan memang membuat saya melahirkan beberapa catatan, termasuk juga beberapa puisi yang juga menandai tahun-tahun yang produktif dan menguras makna kedirian dan kehadiran. Tahun-tahun dimana yang eksistensial selalu memiliki jejak kuat pada yang struktural pun sebaliknya. 

Semuanya selalu berwujud pada pertanyaan yang tidak pernah sederhana: hidup sedang apa dan untuk mengapa?

Dan, ketika ibukota kelak digeser juga, apa yang tidak akan atau selalu luput dari percakapan khalayak ramai dan hiruk pikuk kekuasaan?

***   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun