Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Bersama Menjaga Fungsi Sosial Rumah Sakit

23 September 2017   16:35 Diperbarui: 24 September 2017   02:41 5960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Freepik.com/Pressfoto)

Salah satu topik hangat hari-hari ini adalah kritik pedas dan berita hangat tentang "Fungsi Sosial RS". Suara yang banyak mengemuka adalah RS dianggap tidak melaksanakan fungsi sosial. Sampai-sampai disebut dalam berita sebagai "Slogan Gombal Fungsi Sosial". Kiranya kita perlu jernih membaca agar tidak justru merugikan masyarakat. 

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Yang diacu mengenai fungsi sosial RS, adalah bunyi pasal 2 UU RS 44/2009 yang menyebut salah satu dasar penyelenggaraan RS adalah mempunyai fungsi sosial:

Pasal 2 UU RS 44/2009

Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

Pada bagian penjelasan, disebutkan bahwa yang dimaksud "fungsi sosial RS" adalah bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususnya yang kurang/tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.  

Rincian tentang fungsi sosial ada pada pasal 29 huruf f tentang Kewajiban RS: 


f. melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;

Mari kita coba menguraikan pelan-pelan. 

Memberi fasilitas pelayanan bagi pasien tidak mampu/miskin

Dalam hal fasilitas fisik, Permenkes 340/2010 jo 56/2014 tentang Ijin dan Klasifikasi RS, sudah dipersyaratkan bahwa jumlah minimal TT (tempat tidur) kelas 3 adalah sebesar 30% di RS publik dan 20% di RS privat. Waktu itu, sebelum ada era JKN, diharapkan jumlah itu menjamin bahwa masyarakat yang miskin dan kurang mampu, sudah terlayani. 

Bila dikaitkan dengan biaya, sebelum era 2005, biasanya pasien yang kurang mampu, akan diberikan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Terhadap SKTM itu RS dapat memberikan pengurangan biaya. Dasarnya adalah Permenkes tentang Standar Tarif RS (telah beberapa kali terbit menyesuaikan perkembangan). Terakhir diatur dengan Permenkes 85/2015 pada pasal 23:

(1) Kepala atau Direktur Rumah Sakit dapat membebaskan sebagian atau seluruh tarif sampai dengan 0% (nol persen) dari tarif kegiatan pelayanan untuk pasien tidak mampu membayar dan kondisi atau situasi tertentu dengan memperhatikan kemampuan keuangan Rumah Sakit dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kondisi atau situasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

a. pelayanan dalam keadaan emergensi dan bencana yang meliputi banjir, gempa bumi, kebakaran, investigasi, tersambar petir, dan gunung meletus;

b. kejadian yang diakibatkan kerusuhan/huru-hara yang mengakibatkan sarana, prasarana, dan peralatan kesehatan menjadi rusak;

c. kejadian yang diakibatkan kesalahan alat/standar prosedur operasional/human erroryang menimbulkan korban yang berupa genset meledak, boiler meledak, Central Sterile Supply Department(CSSD) meledak, gas sentral bocor, serta lift pasien rusak; atau

d. pelayanan yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil, daerah perbatasan, daerah bermasalah kesehatan dengan kriteria tertentu.

Artinya, sudah diberi ruang untuk memberikan keringanan dengan syarat-syarat tertentu. Selain itu ada klausul penting bahwa "... dengan memperhatikan kemampuan keuangan rumah sakit". Mengapa demikian? 

Perintah UU RS 44/2009, manajemen pengelolaan keuangan RS Pemerintah, harus dalam bentuk BLU/BLUD. Artinya ada keleluasaan untuk mengelola pendapatannya sendiri, tetapi sekaligus juga ada keharusan untuk menuju mandiri. Bagi RS yang dididirikan masyarakat, bentuknya harus merupakan badan hukum, yang kegiatan usahanya tidak bercampur dengan badan usaha lain. Artinya memang tidak bisa dihindari, RS tetap berkewajiban menjaga keberlangsungan hidupnya.  

Kalau sampai RS tidak mampu operasional, maka sebenarnya yang rugi tidak hanya pegawai RS. Mereka jelas mengalami kerugian karena kehilangan sumber penghidupan. Tetapi sebenarnya yang lebih rugi lagi adalah masyarakat yang tidak terlayani. 

Pasal 7 UU RS 44/2009:

(3) Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi tertentu, atau Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.

Hal mendasar selain soal ketersediaan sarpras pelayanan kesehatan, sebenarnya biaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu adalah tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah:

Pasal 6 UU RS 44/2009:

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk :

b. menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundangundangan;

Jadi bila terjadi masalah pada pembiayaan pelayanan kesehatan bagi warga miskin dan tidak mampu, merupakan tanggung jawab pemerintah. 

Pada era Jamkesmas sejak sekitar 2005-2007 sampai 2014, pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, sudah ditanggung dalam Program Jamkesmas. Dikombinasikan dengan kewajiban menyediakan TT kelas 3 minimal 30% dan 20% tadi, maka diharapkan sudah memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi warga miskin. Di luar itupun, kalau sampai ada yang belum tercatat di Jamkesmas, masih ada harapan menggunakan SKTM. 

Saat masuk era JKN, bentuk jaminan kesehatan itu makin diperluas cakupan kepesertaannya. Tidak hanya warga miskin, arahnya pada 2019 nanti semua masyarakat sudah masuk pada cakupan jaminan kesehatan nasional. Bentuk penjaminan dari pemerintah bagi warga miskin dan tidak mampu, adalah melalui pembayaran premi bagi yang masuk kelompok PBI. Sekali lagi berarti tugas RS untuk menjalankan fungsi sosial, sudah terpenuhi. 

Tidak menarik uang muka pada kondisi gawat darurat, bencana dan kejadian luar biasa serta melakukan bakti sosial kemanusiaan

Terkait "tidak menarik uang muka pada kondisi darurat", sudah berjalan lama di RS.  Ancaman bagi RS adalah pidana denda dan kurungan bila sampai tidak memberikan pertolongan pada kondisi gawat darurat (Pasal 190 UU Kesehatan 36/2009). 

Fungsi sosial sampai tahap gawat darurat sudah dipenuhi. Tidak menarik uang muka pada pertolongan pertama gawat darurat. Begitu juga pada kondisi bencana atau kejadian luar biasa. Saat terjadi bencana atau kecelakaan massal misalnya, sering terjadi RS terpaksa menambah kapasitas dengan melemburkan dan menambah tenaga agar tetap dapat melayani tanpa harus lebih dulu menanyakan uang muka. Kejadian seperti itu relatif sebenarnya tidak jarang terjadi, namun memang RS memilih untuk tidak perlu mempublikasikannya. 

Khusus pada bencana dan kejadian luar biasa, maka biaya yang timbul akibat penanganan Gawat Daruratnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Maka bagi RS, kondisi demikian lebih ke soal menambah kapasitas dan tenaga untuk menanganinya. Sedangkan terkait bakti sosial kemanusiaan, rasanya sudah jamak dilakukan oleh RS sejak lama. Hanya pada era JKN, bentuknya berubah karena layanan bakti sosialnya diusahakan sekali agar tidak bertabrakan dengan manfaat JKN yang sudah dijamin.  

Pasal 6 UU RS 44/2009:

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk :

h. menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa;

Terkait pelayanan gawat darurat, biasanya masalah baru mulai timbul ketika memang perlu penanganan lebih lanjut setelah kondisi gawat darurat bisa distabilkan. Misalnya pasien membutuhkan rawat inap di bangsal, atau di ruang intensif, atau dirujuk ke RS yang lebih mampu menangani. Pada kondisi demikian, tentu harus dipahami bahwa beban RS juga berat dan harus mempertahankan kondisi keuangan agar RS tetap beroperasional. Perlu kesepahaman dan tidak tergesa-gesa agar tidak timbul salah paham ketika kondisi memang mengharuskan perawatan lebih lanjut. 

Tapi kok kadang ditemukan perbedaan perlakuan tiap RS menghadapi kondisi tersebut?

Kembali, ada kewajiban juga bagi RS untuk tetap mempertahankan bisa operasional demi pelayanan kepada masyarakat. Pada prakteknya, terutama sebelum era JKN, menghadapi kenyataan bahwa pasien tidak bisa membayar biaya perawatan di RS, adalah hal yang dapat disebut sebagai rutin terjadi. Dalam arti, bukan sesuatu yang jarang, atau langka terjadi. 

Menghadapi kondisi demikian memang tidak mudah bagi RS. Dalam banyak kasus, RS akhirnya memutuskan "membebaskan sebagian atau bahkan seluruh biaya" karena memang nyatanya tidak mampu membayar, adalah juga kejadian yang tidak jarang terjadi. Hanya memang RS memilih untuk tidak mempublikasikan kondisi-kondisi yang demikian. Maka perlu sekali komunikasi efektif agar tidak timbul salah paham dalam pelayanan kesehatan agar para pihak dapat saling memahami kondisinya.

Di era JKN, sebenarnya masalah-masalah terkait biaya ini sudah banyak terbantu. Pasien tidak lagi harus terbebani soal "uang bekal ke RS" karena sudah masuk dalam skema JKN. Apalagi dalam keadaan darurat, tidak lagi harus mengikuti alur rujukan berjenjang. Bahkan bisa juga ke RS yang belum bekerjasama. Beban kemudian lebih banyak beralih ke RS. Harus secara cermat menghitung agar mutu terjaga tapi biaya efisien. 

Sebenarnya, dari hari ke hari, hampir secara rutin, RS menghadapi situasi yang tidak mudah. Skenario yang sering terjadi: datang pasien sendirian, bahkan kadang dari luar kota, tidak memiliki kartu jaminan apa-apa, bahkan kadang KTP saja tidak membawa, uang juga tidak ada. Padahal dia membutuhkan pelayanan yang seringkali tidak sedikit biayanya. Pada kondisi seperti itu, RS tidak ada pilihan lain: tetap dilayani, sambil berusaha kontak ke Dinas Sosial. Biayanya? Cenderung menjadi beban RS. 

Ambulan gratis

Layanan ambulan gratis ini, dipahami pada pasal itu tetap dalam konteks untuk membantu masyarakat miskin dan tidak mampu. Selama ini pun RS sering melakukannya. Hanya memang jumlah ambulan juga tidak terlalu banyak dibandingkan frekuensi pasien dan jenazah yang harus dilayani. Apalagi secara fungsi dan peruntukan memang ada beda antara ambulan pasien dengan mobil jenazah. Kadang terjadi, kebutuhan mendadak lebih dari armada ambulan yang tersedia. 

Maka biasanya, layanan ambulan gratis tersebut dikoordinasikan bersama oleh Pemda dengan menyertakan semua komponen di masyarakta yang menyediakan layanan ambulan. RS tentu saja termasuk di dalamnya, karena yang memiliki kemampuan penanganan lebih lanjut. Di beberapa Pemda, ada anggaran khusus dari Pemda untuk biaya pelayanan ambulan gawat darurat. RS mengajukan klaim nya ke Pemda setiap bulan. Dengan demikian, fungsi sosial RS juga sudah dijalankan. 

Persolan bagi RS terkait fungsi sosial ini adalah mengalokasikan anggaran untuk fungsi-fungsi sosial tersebut. Baik RS pemerintah yang berbentuk BLU/BLUD maupun RS privat, keduanya sama-sama harus menyusun Rencana Strategis Bisnis (RSB) yang kemudian dirinci dalam Rencana Belanja dan Anggaran (RBA). Di dalamnya, harus ada alokasi anggaran bagi fungsi sosial. Agar dapat dianggarkan, maka harus ada landasan kebijakannya. 

Proses perhitungannya adalah unit cost (satuan biaya) layanan fungsi sosial dikalikan estimasi volume layanan selama satu tahun. Belum ada ketentuan pasti berapa proporsinya, tetapi yang jelas harus mendasarkan pada perhitungan satuan biaya dan estimasi volume yang hati-hati agar terpenuhi, tetapi juga tetap menjaga efisiensi. 

Kebijakan mengalokasikan anggaran untuk fungsi sosial itu tentu harus disetujui oleh pemilik. Bagi RSUD, berarti disetujui oleh Pemda. Bagi RS vertikal, berarti oleh Kementerian masing-masing. Karena itulah di beberapa Pemda, ada kebijakan dari Pemda sebagai pemilik untuk mengalokasikan anggaran bagi fungsi-fungsi sosial tersebut. Ini bisa menjadi salah satu peran Pemda yang tetap diharapkan dan dapat dilakukan meski sudah berada pada era JKN. 

Tanpa landasan kebijakan dan masuk dalam anggaran, maka RS tidak bisa membiayai fungsi sosial. Bisa saja memang sekali dua kali, menggunakan kewenangan Direktur, tetapi tentu itu bukan langkah yang tepat. Bisa-bisa berisiko bagi keberlangsungan operasional RS. Bahkan pada RSUD yang berarti "uang negara", maka tindakan membiayai fungsi sosial tanpa prosedur yang tepat, bisa berarti tindak korupsi. 

Demikianlah, maka sebenarnya RS telah menjalankan fungsi sosial sesuai amanah Undang-undang. Tentu, proses pelaksanaan fungsi tersebut, tetap harus mempertimbangkan keberlangsungan operasional RS. 

Tidak jarang, masalahnya adalah di komunikasi. Kecenderungan untuk tergesa-gesa menghakimi, kiranya lebih sering justru berakhir merugiakn bagi kepentingan masyarakat sendiri dalam memperoleh layanan kesehatan. 

Mari bergandeng tangan.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun