Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Australia: Kalau Masih Bisa Beli, Kenapa Harus Gratis?

31 Juli 2016   05:54 Diperbarui: 31 Juli 2016   18:28 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak lama, saya memperhatikan berbagai perbedaan budaya antara budaya Indonesia dengan budaya Australia. Meskipun sudah diingatkan oleh putri kami yang sudah domisili disini sejak tahun 1996 (berarti sudah 20 tahun lalu) tetap saja terkadang saya merasakan cultural shock.

Syukurlah secara bertahap, saya dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan berbagai perbedaan tersebut

Antara lain:

  1. Diundang ultah, tapi bayar masing masing,
  2. Didatangi orang untuk merundingkan rencana penguburan diri sendiri,
  3. Diajak untuk investasi membangun rumah masa depan (kuburan),
  4. Ultah diberi hadiah cangkul dan gunting rumput.

Tapi ada sesuatu yang secara prinsip berbeda dan baru saya ketahui sebabnya belakangan ini. Yakni mengapa orang Australia tidak mau mengambil sesuatu yang gratis. Pada awalnya, jujur, saya mengira orang orang Australia itu gengsi atau enggan mengambil sesuatu yang gratis karena uangnya banyak. Bayangkan. Setiap ada pertemuan di Club Senior, kami disediakan minuman hangat di vending machine secara cuma-cumaCukup gesekkan kartu anggota, maka kita dapat memilih beragam jenis minuman. Antara lain: black coffee, white coffee, latte, capucinno atau hot chocholate

Tapi yang minum biasanya adalah anggota yang bertampang Asia. Yang lainnya, mereka lebih memilih memesan di bar dengan membayar 4 dolar Australia. Apa sih bedanya? Mengapa mereka lebih suka membayar ketimbang berdiri dan berjalan 10 langkah untuk mendapatkan yang gratis?

stock-vector-free-coffee-stamp-315156935-579cbc5f4523bd871a1e6ae9.jpg
stock-vector-free-coffee-stamp-315156935-579cbc5f4523bd871a1e6ae9.jpg
Begitu juga bila secara berkala dibagikan kue gratis, mereka selalu bilang, ”No, thank you.” Tapi sesaat kemudian, mereka akan pergi ke bar dan membeli kue yang sama. Nah, hal-hal seperti inilah yang belum dapat saya cerna dalam pikiran. Mungkin karena sejak lahir, yang tertanam dalam pikiran saya adalah, ”Kalau ada yang gratis, mengapa harus beli?”

Hal inilah agaknya yang terbawa bawa hingga di usia yang tidak lagi muda,bahkan sudah domisili di negeri orang.

Baru Tahu Sebabnya

Baru baru ini, ketika kami lagi berada di Club Senior, kami ketemu dengan seorang teman yang pernah menjadi tetangga putri kami selama 4 tahun. Karena sudah cukup akrab, maka kami bicara hilir mudik. Hingga tiba saatnya saya mengambil minunam di vending machine, sedangkan teman saya, Paul, juga berdiri, tapi menuju ke bar untuk memesan secangkir kopi. Karena memang sudah lama penasaran, begitu ada kesempatan baik, saya langsung bertanya, ”Mengapa harus beli, kalau ada yang gratis? Apakah rasanya berbeda?”

Paul memandangi saya agak lama. Ia malah heran dan balik bertanya, ”Excuse me Effendi. We have enough money to buy, why do we have to take a free one? Let’s another people who need it more than us take it." (Maaf Effendi, bila kita ada uang untuk beli, mengapa harus ambil yang gratis? Ada begitu banyak orang yang juga mau minun kopi di udara dingin ini, tapi bagi mereka 4 dolar mungkin terlalu mahal. Oleh karena itu, kita yang ada uang beli dan biarkanlah yang tidak punya uang minum dengan gratis.)

Kopi gratis dan kopi yang saya beli rasanya sama, Yang beda hanya yang beli pakai cangkir kaca, yang gratis pakai cup dari kertas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun