Mohon tunggu...
Tito Prayitno
Tito Prayitno Mohon Tunggu... Notaris - Notaris dan PPAT

Ayah dua orang putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasib Tragis Para Ibu dan Suster

26 Maret 2020   21:00 Diperbarui: 26 Maret 2020   21:11 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sekelompok bapak-bapak, yang terdiri dari ayah-ayah muda belia di sebuah pemukiman baru di Tangerang sedang menjalani kewajiban jaga malam bersama, biasa disebut siskamling. Tentunya hampir setiap orang paham belaka, bahwa menjaga keamanan lingkungan yang dilakukan para warga secara swadaya di pemukiman yang masih baru, nyaris sama dengan melakukan kerja bakti pada hari minggu, juga di pemukiman yang masih baru. Paling satu dua orang saja yang bekerja dengan serius, sisanya hanya menjadi pengawas dan pemerhati saja.

Sambil berbual-bual bercerita kian kemari, tak sedikit juga yang bercengkerama atau bercanda seperti anak kelas satu SD. Satu dua orang yang agak cerdik, membawa peralatan kerja yang rawan patah atau tumpul. Jadi jika pada sepuluh menit pertama, alat kerjanya: bisa cangkul atau golok mengalami patah mematah, maka kegiatan kaum cerdik pandai tersebut sampai habis waktu kerja bakti tiada lain dari sibuk memperbaiki perkakas usang yang dibawanya tadi.  Itulah arti penting kegiatan kerja bakti bagi para warga.

Alkisah, semangat menjaga keamanan lingkungan secara swadaya, pun mengacu kepada semangat kerja bakti tersebut, yang biasanya hanya dilakukan pada malam-malam libur mingguan atau malam libur nasional, di mana pada malam lainnya keamanan lingkungan diserahkan kepada petugas satpam, yang mendapat kesempatan libur pada malam minggu dan malam libur nasional tersebut. 

Namun, untuk kegiatan siskamling pada malam libur tersebut, terdapat suatu perbedaan khusus dibandingkan pada malam-malam libur lain pada umumnya. Perbedaan tersebut terjadi karena beberapa hari sebelumnya, salah seorang wanita warga perumahan telah meninggal dunia pada saat tengah berjuang melahirkan anak pertamanya. Alhamdulillah bayinya dapat diselamatkan, namun takdir mengatakan lain untuk sang ibu, beliau gugur sebagai pahlawan kehidupan. 

Celakanya, para bapak-bapak muda ini, kendati pun di masa mudanya dididik dengan pendidikan modern, pada masa kecilnya dijejali legenda lokal yang mungkin si pembuat legenda pun berjenis kelamin pria, sehingga dengan enteng mengisahkan kepada rakyat pada masanya bahwa seorang ibu yang meninggal saat melahirkan, akan mati penasaran lalu arwahnya menjelma menjadi "kuntilanak". 

Sungguh pembuat legenda yang tak tahu diri, dan bukan tak mungkin jika yang membuat legenda adalah kaum perempuan, bisa dipastikan mereka pun akan berkisah bahwa seorang bapak yang meninggal saat sedang bekerja, akan mati penasaran dan arwahnya menjadi "kuntilanak pria". 

Akibat adanya kepercayaan terhadap legenda tersebut, kegiatan menjaga siskamling menjadi kegiatan yang mencekam, dan menakutkan. Akhirnya belum lewat jam dua belas malam, para bapak dan ayah muda yang penakut dan berpikiran terbelakang tersebut membubarkan diri dan pulang ke rumah masing-masing, dengan tengkuk terasa berat dan berjalan tergesa-gesa. Sesampai di rumah, sang istri menyambut dengan riang gembira, tanpa perlu bertanya kenapa pulang lebih cepat dari biasanya.

Beberapa waktu lalu, dalam jagat perfilman Indonesia yang baru bangkit dari mati surinya bermunculan film-film nasional, yang sebagian besar bergenre horror. Terlepas dari minat penonton, yang berimbas kepada minat produser sebagai pemilik modal untuk memproduksi film, upaya tersebut semestinya harus diapresiasi, dari pada film nasional kita mati betulan. Namun yang sangat disayangkan, di antara film-film horror yang diproduksi, terdapat sebuat film dengan tema yang nyaris sama dengan tema "kuntilanak" tersebut di atas, yaitu film dengan tema "suster ngesot".

Terlepas dari sejarahnya sehingga terlahir dua versi "suster ngesot", di mana versi pertama menceritakan suster ngesot merupakan arwah penasaran karena meninggal setelah dilecehkan dan dibunuh secara brutal saat sedang bertugas jaga malam hari di rumah sakit oleh seorang penjahat, dan versi yang kedua merupakan arwah penasaran suster Belanda yang membunuh para lansia yang dirawatnya dengan alasan membalas dendam kemudian dirinya dibunuh oleh massa, tetap saja dua-duanya kurang ajar. 

Mengapa demikian? Karena profesi sebagai suster/perawat merupakan profesi yang mulia. Tidak semua orang bersedia menjadi suster, apalagi jika individu tersebut tidak memiliki jiwa atau sifat yang bersedia melayani sesama, bahkan sesama yang dalam keadaan sakit atau tidak berdaya. 

Nyaris tak ada indahnya sama sekali, karena mereka harus memandikan, menyuapi, bahkan membantu pasien di toilet yang mana orang yang dibantunya tidak dikenal bahkan tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Sedangkan orang lain pada umumnya, jika harus mengurus orang sakit, baru bisa agak serius apabila orang yang sakit memiliki hubungan saudara atau setidaknya hubungan pertemanan.

Kemudian dengan teganya si pembuat cerita, sama halnya dengan pembuat cerita tentang "kuntilanak", membuat para tokoh yang semestinya menjadi pahlawan tadi malah dijadikan tokoh "hantu" yang menakutkan serta jahat.  Padahal sejatinya, seorang ibu yang meninggal karena melahirkan, atau seorang suster yang meninggal pada saat sedang bekerja merupakan pahlawan-pahlawan kehidupan yang harus dihargai setinggi-tingginya.

Berangkat dari ilustrasi di atas, marilah kita lihat nasib para ibu dan para suster, pada saat terjadinya pandemi virus corona yang melanda bumi pertiwi beberapa hari terakhir ini.

Ibu-Ibu dan Suster di Tengah Pandemi

Dalam sejarah umat manusia di muka bumi, coba amati: ibu dari mahluk hidup mana yang tidak senang dan bahagia berada dekat-dekat dengan anak dan suaminya, entahlah jika hewan, mungkin mereka hanya berkepentingan dengan anak-anaknya saja. Namun yang pasti sebagian besar dari para ibu, nalurinya selalu ingin berada dekat-dekat dengan buah hatinya.

Setiap hari yang ditunggu para ibu tersebut, setelah anak dan suaminya pergi beraktifitas ke luar rumah, adalah menunggu sore hari menjelang anak dan suaminya pulang dengan perasaan berbunga-bunga.  Demikian juga bagi para ibu yang memilih berkarir di luar rumah, sepanjang hari yang dipikirkannya adalah keberadaan anak-anaknya, mengenai keberadaan suaminya tak jelas, entah dipikirkan entah tidak.

Dengan adanya wabah corona, yang memaksa sebagian orang di daerah-daerah terjangkit untuk berdiam diri di rumah, terutama anak sekolah bahkan kuliah yang diliburkan, beberapa perusahaan memberlakukan para karyawan tertentu untuk bekerja dari rumah pada awalnya membuat bahagia para ibu yang sepanjang hidupnya setiap hari harus melepas anak dan suaminya berangkat beraktivitas dan dengan rasa was-was menunggu sore hari menjelang kepulangan orang-orang yang dicintainya.

Namun hari-hari berlalu, belum genap seminggu beberapa para ibu mulai "senewen", karena di samping harus menyiapkan makanan, yang entah kenapa jika berada di rumah mendadak para ayah dan anak menjadi mahluk yang sangat rakus dan banyak kehendak, sang ibu juga harus membantu para anak-anaknya mengerjakan tugas-tugas sekolah yang dilakukan secara daring. 

Sang ayah, seperti biasa hanya menjadi pengawas dan pemerhati belaka. Dan berlagak sibuk dengan pekerjaannya, yang juga dilakukan secara daring. Ada juga seorang pria tua di sebuah keluarga yang supaya terlihat sibuk, tekun mengetik di depan computer, padahal hanya mengetik artikel celotehan yang tidak terlalu perlu untuk dikirim ke Kompasiana. Beruntung kedua anaknya sudah masuk usia kuliah, jadi tidak membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan tugas sekolahnya.

Lewat seminggu masa berdiam diri di rumah, di media social muncul celotehan yang bertendensi merendahkan peran ibu yang sudah nyaris "senewen" melayani ayah dan anak-anaknya. Dari pihak para bapak, muncul anekdot: seminggu masa lockdown, tingkat kejahatan 0, tingkat kecelakaan 0, tingkat pencurian 0, tingkat pertengkaran rumah tangga 34.750.  

Para bapak tertawa terbahak-bahak membaca anekdot tersebut, karena berasumsi pertengkaran terjadi akibat sang ibu atau istri terlalu cerewet. Jadi ibu atau istri yang disalahkan, tanpa menimbang betapa tugas sang ibu menjadi tiga kali lipat beratnya, karena harus melayani tambahan setidaknya dua mahluk hidup yang tak tahu diuntung.

Para anak tak mau kalah, mereka menjerit di media social: "Ibu guruuu, masuk sekolah lagi dong, kami nggak mau belajar di rumah, sebab ibu kami ternyata lebih galak jika jadi guru." Sebagian lagi menulis, "Baru tahu, ternyata ibuku nggak berbakat jadi guru." Bayangkan betapa tidak sopannya para anak tersebut, sebelas dua belas dengan para ayahnya.

Sementara itu, nasib para medis yang sebagian besar kaum wanita, sehingga dalam artikel ini kita anggap saja sebagai suster juga tak lebih baik dari pada ibu-ibu dalam masa karantina ini. 

Seperti yang diberitakan di media massa, ada petugas kesehatan yang diusir dari tempat kostnya hanya karena si empunya rumah khawatir akan tertular virus yang menempel di tubuhnya setelah seharian bekerja di rumah sakit. Belum lagi mengenai alat pelindung diri yang minim, sehingga membahayakan keselamatan para suster tersebut, dan seperti yang dapat diduga sebelumnya beberapa dari para suster tersebut tertular setelah melayani pasien yang dirawatnya. 

Dan yang lebih menyakitkan, pemerintah dengan santainya mengumumkan akan memberikan insentif dan santunan bagi tenaga paramedis. Kemudian pengumuman tersebut diberitakan lalu diulang siang dan malam. Seharusnya pemerintah lebih memiliki kepekaan, pengumuman tersebut justru melecehkan perjuangan yang selama ini telah dilakukan oleh tenaga paramedis tersebut. 

Ketahuilah, mereka tak membutuhkan itu. Sebab tatkala mereka menabalkan diri menjadi paramedis, saat itu mereka sudah berjanji untuk mengabdikan diri kepada kemanusiaan. 

Jadi tak perlu lagi diiming-imingi dengan insentif berupa sejumlah uang, sebab jika ingin memilih hidup, maka dapat dipastikan mereka memilih berhenti bekerja sebagai paramedis, dari pada menggadaikan nyawanya dengan alat pelindung diri yang minim untuk insentif yang hanya beberapa juta rupiah saja.

Oleh karena itu, belajar dari kasus ini, marilah kita menghargai peran para ibu dan para suster yang tiada terhitung besarnya dalam menjalani masa karantina ini. Janganlah kita mengulang kesalahan yang dibuat oleh generasi masa lalu, dengan mendiskreditkan dan menuduh telah menjadi arwah penasaran bagi para ibu dan suster yang telah kehilangan nyawanya demi menyelamatkan kehidupan umat manusia.

Tangerang, 26 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun