Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semisal ini Lebaran, Lembaran itu Kita Tulis Bersama

2 Juli 2017   07:31 Diperbarui: 4 Juli 2017   03:57 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Minggu Pagi 36

KAUbuku terbuka, dan bahkan kemudian melipat. Aku tergulung di situ. Sekali dan berarti. Kau juga merasakan itu. Pasti. Seperti lembar-lembar berikut yang kita baca bersama. Dalam rentang entah. Waktu atau jarak yang melebar-lebar.

Mudah sekali membacamu sedang jatuh cinta.

Bah! Aku ingin mengutuk ucapan menyerupai doa itu. Peramalkah engkau wahai wanita baru di sisiku? Kau bukan wanita pertama yang singgah, dan kau akan melukaikukah? Tak ingin aku membacai rangkaiannya kemudian. Biarkan angin yang membelai rambut panjangmu ketika kauurai tak sengaja dan kau terkikik ketika kukatakan engkau lebih mempesona begitu. Mengingatkanku pada seseorang?

Seseorang siapa? Yang singgah seperti angin atau memahat di hatimu?

Aku tak suka dengan dugaanmu itu, meski itu menohok ulu hati. Menghujam dalam, dan aku hanya bisa diam. Merentang waktu-waktu lalu dan mendaki gunung-gunung di mana kami pernah merambah bukan bersamamu. Pasti. Itu selembar daun masa lalu. Yang tergores dan kujadikan herbarium hingga bisa kusimpan lama di buku masa laluku.

Gamang aku berdiri di pintu masuk stasiun besar seberang pasar berundak itu. Aku memegangi tiket untuk pulang kampung: mudik sendirian. Menjauh darimu yang sepertinya kamu dekat saja sore kemarin ketika kutelepon dengan nada sumringah dan renyah seperti biasa saat-saat kau akan kusinggahi dengan cepat bibirku ke bibirmu lalu kau akan pura-pura menolak seperti dalam remang malam di sebuah mobil yang kita naiki dari sebuah acara yang kita hadiri untuk mengantarmu pulang dan ujungnya berpisah.

“Besok seperti ini saja, ya?”

Seperti apa? Aku ragu untuk menjawab pertanyaan tanpa kulihat mimikmu karena itu percakapan sore kemarin lain lagi. Aku mengerti untuk memanggilmu dari jarak kau jauh yang sudah sama-sama kita ketahui kilometer jaraknya. Apalagi kau meninggalkan raga dan menemuiku untuk menghidupkan asamu. Entah untuk kita atau untuk sejenak menikmati saat-saat kau menggelayut di bahuku yang kausebut seperti bahuku kukuh dan melindungi. Seperti saat menyebrang, dan kau kutuntun di sisi dalam kendaraan yang menggila di Jakarta yang ingin merenggut siapa saja yang menghalanginya karena serba gegas seolah tak ingin ketinggalan kereta yang setiap saat langsir kemudian. Untuk melanjutkan perjalanan hingga stasiun terakhir.

Sehabis kuteguk segelas air putih, aku tidur. Ingin panjang kulewati seperti biasanya. Sendirian. Tak perlu sedu sedan dan apalagi mimpi tentangmu yang masih di sana itu sedang apa dan apa tak kutahu dan tidak perlu dipikirkan panjang seperti rel yang seiringan tak pernah bertemu untuk jalan yang kan kaulalui denganku.

“Besok, pagi-pagi aku akan jalan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun