CeritaMinggu Pagi 20:
BEBERAPA hari lagi aku sudah tidak sekolah lagi di SD Mulyoharjo di desaku, Desa Belik. Aku sudah lulus ujian. Semua temanku kelas enam juga tak ada yang tidak lulus. Mereka pun sudah berencana untuk melanjutkan sekolah. Aku sendiri akan melanjutkan dan pindah ke Semarang. Karena bulikku memintaku untuk tinggal di sana. “Kamu nanti bisa sekolah di SMP favorit di dekat rumah,” kata Bulik Yani beberapa waktu lalu.
“Wah, enaklah kamu, War!” kata Sari.
“Bisa sering ke Simpang Lima yang ramai dan enak itu,” sambung Siti.
Aku senyum-senyum. Aku sendiri sudah pernah ke Simpang Lima Semarang waktu ke rumah Bulik Yani. Rumah adik ayah itu di dalam kota tapi di tempat tenang. Bersih dan agak besar, jauh daripada rumah kami yang kecil, dan dindingnya tidak semua tembok. Tapi Ibu selalu mengatakan, “Kita harus bersyukur. Masih banyak mereka yang tidak punya rumah. Makan pun kekurangan.”
“Ya, Bu.”
“Apalagi Mas Warto dan Yu Sih bisa sekolah sampai ke Randudongkal.”
Ibu selalu mengutamakan anak-anaknya sekolah. Mungkin karena ibu seorang guru. Menurutnya, “Sekolah harus nomor satu. Walaupun langit runtuh.” Namun karena Ayah yang guru juga sudah meninggal waktu terjadi bencana longsor, Ibu harus bekerja keras. Terutama untuk membiayai kedua kakak yang sekolah di SMP dan SMA. Untuk itu, Ibu harus bekerja membantu di koperasi desa. Kadang-kadang membantu membuat laporan keuangan di penggilingan padi milik Haji Duriyat.
“Kalau kamu ke Semarang apa ibumu tidak sendirian, War?” kata Haji Duriyat.
“Ya, Yu Sih kan dekat. Bisa sering pulang. Saya ikut Bulik juga untuk menemaninya. Katanya biar Bulik segera punya anak. Kan sudah empat tahun menikah,” aku menjelaskan sebisaku.
“O, begitu?”