Catatan: Selasa. Pukul 17.00 Depan Swalayan BORMA Cikutra Barat
Ia persis berada di seberang Rumah Makan tempatku berjaga hari ini. Tepat pukul 5 sore, gerobaknya membawa minuman es cendol utuh tak tersentuh. Usianya masih berkisar tigapuluh tahun tapi kerut pertanda terpaan terik matahari menambahi hingga wajahnya terlihat lebih tua.
Berbekal topi dan baju kotak-kotak "Jokowi" Si Mang Cendol berdiri penuh harap. Tatapannya mulai putus asa, setengah jam lagi menuju berbuka, tak satupun pembeli menyambangi. Apa mau dikata? Hari cukup dingin hingga rasa haus tak terlampau menggagahi.
Kudekati Si Mang perlahan, kubawakan sebungkus nasi Padang hangat berisi rendang, kupikir bisa sedikit menghiburnya walaupun tak sebesar harapannya.
"Mang! Shaum kah? Ini buat buat Mang, dari sana!" Sahutku lembut sambil kuangkat telunjuk mengarah ke seberang.Â
Si Mang mengangguk lemah, tanpa sepatah kata pun. Namun senyum perihnya menyanyat hatiku melebihi sembilu.
Aku berpikir, bagaimana nasib anak isterinya? Kelaparankah mereka? Bagaimana nasib dagangannya? Akankah semua terbuang percuma?
Aku berpikir lagi, berapa lamakah dagangannya tak laku? Berapa lama ia bertahan berdagang seperti itu? Berapa banyak Si Mang yang menanggung kepedihan yang sama?
Tak akan sekalipun ku minta pendapat manusia pandir yang akan beseloroh dan menjawab, dagang tak laku itu biasa. Wajar saja. Toh nggak akan selamanya.
Bukalah mata hatimu! Letakkan kasih mu didalamnya, rabalah lagi hatinya...
Betapa...