Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahagia yang Seperti Apa?

1 Juli 2019   12:11 Diperbarui: 1 Juli 2019   12:21 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesan Simbah ini sedikit membuatku ingin bercerita tentang kebahagiaan. Apakah kebahagiaan itu berhubungan dengan sebuah keamanan? Dan tentang sebuah kebenaran akan kebahagiaan itu sendiri?

"Kalau begitu, ketika kita mencari kebahagiaan sebenarnya keamanan yang kita inginkan?"

"Persepsi tentang kebahagiaan itu yang seperti apa terlebih dahulu? Cara pandang tentang keamanan dan tolak ukur mengenai keamanannya menggunakan apa?"

"Kebahagiaan itu sendiri biasanya terasa ketika kita sedang lupa akan kecemasan. Masa depan misalnya, disaat tidak ada jaminan keamanan sama sekali tentang sesuatu yang belum kita alami (masa depan), kan?"

Alangkah malangnya kita, atau aku saja yang seringkali terjebak kecemasan atas materi. Kecemasan ketika takut 'mendapatkan', atau takut akan 'kehilangan'. Jika memang iya, segala ruku', sujud, atau do'amu mungkin mesti segera dimaknai kembali.

Jangan pernah mengharap kebahagiaan jika Tuhan sendiri juga mengajarkan kesedihan. Dialektika rasa seperti ini seharusnya dipahami sebagai salah satu jalan menahan rasa kecemasan. Hingga segala jenis peribadatan pada akhirnya bukan kita gunakan sebagai alat bantu demi ego atas kebahagiaan itu sendiri.

"Bukannya kita memiliki hak atas kebahagiaan dan memintanya?"

"Justru kamu diharuskan untuk berdoa dan meminta sesuatu kepadaNya, bukan hanya hak. Namun, Tuhan memiliki cara tersendiri untuk memberikan metode pembelajarannya. Tuhan, lho! bukan jinnya Aladin yang dalam sekejap bisa memenuhi permintaanmu. Kebanyakan doa kita perlu memerlukan istiqomah yang tidak sebentar. Yang kita sangka buruk dan tidak kunjung terpenuhi, justru sebenarnya malah menyelamatkan. Ada kesabaran yang diajarkan, dan butuh waktu untuk menyadarinya. Aku dan kamu pun memiliki dimensi pembelajaran waktu yang mungkin berbeda."

"Kenapa bahagianya jadi rumit? Bukannya bahagia itu sederhana? "

"Tergantung siapa dulu yang bilang? Jika kamu seorang pegawai kantoran, jangan sekali-kali bilang kesederhanaan kepada seorang pemulung yang sedang menuntut kebahagiaan. Gak pas! Bahagia itu sederhana bagi yang benar-benar memahaminya. Dan proses untuk memahaminya tak sedikit membutuhkan rasa sakit yang datang bertubi-tubi."

"Kita daritadi berbicara tentang kebahagiaan, tapi yang ada kenapa malah jadi pusing yaa? "

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun