Untuk itu, harus ada usaha lain. Negara kebetulan punya institusi lain. Sebutlah instansi Kementerian Koperasi dan UKM, Sosial, Pertanian, Kehutanan, Perindustrian, Perikanan dan Kelautan, dan lain sebagainya. Negara tak perlu lagi terlalu banyak menggelontorkan uangnya ke sejumlah perbankan yang hari ini sudah jalan, dan mapan. Tetapi negara bisa mengalokasikan sendiri suntikan dana bagi individu anak bangsa yang ingin membuka usaha kecil dan menengah, melalui kementerian yang mereka miliki. Tentu dengan sistem dan tata kelola yang profesional dan modern. Katakan ada anak bangsa yang berbakat bidang usaha kelautan, maka kreditnya bukan ke bank, melainkan via kementerian terkait. Dengan bunga rendah, atau dengan bunga 0 persen. Tuh kita sudah berani menggelontorkan dana desa sekitar Rp 1 miliar per desa per tahun. Â
Gagasan Jokowi ini mengingatkan kejadian ambisi seorang permaisuri Mesir tempoe doeloe, Siti Zalekha, yang tergoda kegantengan Nabi Yusuf AS. Zalekha tak salah, karena Nabi Yusuf memang ganteng. Buktinya, sejumlah isteri petinggi istana pun terpesona melihat ketampanan Nabi Yusuf. Tanpa terasa para isteri pejabat itu terluka tangannya, hanya karena melihat Nabi Yusuf sedang lewat. Padahal mereka ramai-ramai sedang mengupas buah mangga, hidangan yang disiapkan permaisuri Mesir tersebut.
Mirip cerita itu, Jokowi dan orang-orang disekitarnya pun tak salah jika berkhayal Indonesia Satu Abad 2045 mendatang, in come per kapita anak negeri ini minimal Rp 27 juta per bulan. Walau sudah dengan hitungan-hitungan rasional, mereka lupa jika kesiapan bangsa ini, masih jauh dari sempurna. Masih perlu "revolusi".
Pelaku unicorn yang dibangga-banggakan misalnya, masih dapat dihitung dengan jari. Nilai rupiahnya pun tak besar-besar amat. Masih jauh dari harapan. Belum lagi jika kita cermati perilaku aparat kita, yang sepertinya masih jebol di luar ekspectasi publik.
Langkah terbaik untuk itu memperkuat gerakan revolusi mental. Tetapi tak lagi sebatas sosialisasi dan seminar. Melainkan dengan gerak dan aksi nyata. Jika ada misalnya aparat yang sudah tak produktif lagi, apalagi sampai merugikan negara, ya singkirkan saja. Pensiunkan, meski usianya masih di bawah 50 tahun. Termasuk para ASN (yang umumnya dosen dan guru) masih saja berpikir mengubah ideologi negara.Â
Selain itu ada baiknya pula memberikan secara terbuka, anak-anak muda melineal inovatif - kreatif, berdaya saing, Â untuk disalurkan bakat dan potensinya, melalui seleksi yang terukur, kualified dan transparan.
Gaya-gaya ASN yang tampil seperti hansip masa lalu saatnya disingkirkan. Kita harus punya aparat yang santun, familier dan komunikatif. Sehingga dengan begitu, negeri ini akan menghasilkan generasi inovatif, berkembang dan produktif. Revolusi mental model inilah sesungguhnya yang kita butuhkan hari ini, dan ke depan. Untuk Indonesia hebat, lebih maju dan terdepan.