Mohon tunggu...
M Syarbani Haira
M Syarbani Haira Mohon Tunggu... Jurnalis - Berkarya untuk Bangsa

Pekerja sosial, pernah nyantri di UGM, peneliti demografi dan lingkungan, ngabdi di Universitas NU Kal-Sel

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Target Jokowi In Come Per Kapita Rp 27 juta Per Bulan, Mengingatkan Cerita Siti Zuleha Nabi Yusuf

21 Oktober 2019   12:15 Diperbarui: 22 Oktober 2019   04:19 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pidato Joko Widodo, Presiden RI ke-7, saat dilantik kembali masa bhakti 2019 - 2024 bersama Wakil Presiden Kyai Makruf Amin, yang menggagas Indonesia Hebat Satu Abad, 2045 mendatang, mencengangkan banyak pihak. Jokowi begitu konfeden, pendapatan per kapita penduduk nanti Rp 27 juta per orang, setara Rp 324 juta setahun.

Ini sangat mengagetkan, mengingat perekonomian penduduk Indonesia sekarang masih banyak yang carut marut. Bahwa BPS melansir data pendapatan penduduk sudah mencapai Rp 56 juta per tahun, atau sekitar Rp 4 juta lebih per bulan, itu pun masih diragukan.

Tapi Jokowi yakin, harapan itu akan tercapai ? Sebagai anak bangsa, kita pun berdoa, agar ekspectasi itu kesampaian. Angka itu menurut Jokowi realistis. Sudah berdasar hitung-hitungan. Kita percaya itu. Jokowi tentu bukan sedang membual. Dilingkungannya banyak orang pintar. Salah satunya Sri Mulyani, ekonom yang diakui dunia, IMF. Selain itu ada pula sejumlah ekonom kenamaan lainnya.

Ditambahkan, ekspectasi itu bisa saja gagal. Karena untuk mencapainya, bukan perkara gampang. Untuk itu sudah disiapkan sejumlah regulasi, agar tujuan itu bisa kesampaian. Pertama, menyiapkan SDM agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Cara lainnya dengan mengundang talenta-talenda global, untuk kerjasama. Kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur. Ketiga, menyederhanakan sejumlah regulasi yang dinilai menghambat. Keempat, penyederhanan birokrasi. Kelima, melakukan transformasi ekonomi, agar Indonesia tak cuma mengandalkan SDA saja.  

Masalah Kekinian

Gagasan besar Jokowi ini tentu harus kita apresiasi. Kita dukung, dan sama-sama kita usahakan. Dilapangan, ternyata tak seperti yang dibayangkan. Pertama, masalah aparat pelayanan. Dalam prakteknya, rakyat Indonesia seperti masih saja semacam "terjajah" bangsa sendiri. Oleh perilaku aparat negara, para ASN yang ditugaskan.

Jika Presiden Jokowi dengan lantang ingin memangkas sejumlah aturan, itu tak serta merta berjalan. Nyatanya di lapangan malah ada yang menambah-nambah kewajiban. Bukan aturan, tetapi kebijakan. Taruhlah fotokopi SK, sudah lengkap. Masih harus dilegalisir instansi berwenang. Sebagai pensiunan dosen misalnya, bulan lalu saya pernah berurusan dengan BKN regional. Perlu waktu sebulan lebih baru selesai, hanya untuk mendapatkan surat keterangan. Itu pun setelah terjadi perdebatan. Pihak berwenang malah menambah kebijakan, sesuatu yang tak ada dalam aturan.

Terkait hal itu, saya juga pernah berurusan dengan instansi pemerintah daerah. Dengan instansi yang diberi amanah. Ternyata, urusannya tak semudah dibayangkan. So, secara umum tak ada pemangkasan. Justru yang terjadi malah penambahan. Pengurusan sertifikat tanah, juga setali tiga uang. Tak seperti yang dibayangkan. Banyak aspek yang harus dilewati. Pengurusan ijin, juga sama. Lihat saja disejumlah instansi daerah, orang antrian berjibun. Itu pertanda, tak ada pemangkasan. Orang berurusan memerlukan waktu berhari-hari, kadang dengan antrian yang panjang. Tetap ribet.

Kedua, lembaga kompetensi. Untuk meningkatkan pendapatan per kapita, tentu diperlukan SDM berkualitas, kompeten, punya etos kerja, dan sejalan dengan perkembangan perekonomian nasional. Dalam hal ini institusi pendidikan, baik vokasi atau akademisi menjadi diterminant. Taruhlah kampus, entah sekolah tinggi, institut atau universitas, harusnya sudah terdistribusi dengan baik ke daerah-daerah. Sehingga anak daerah pedalaman misalnya tak harus sekolah ke Jawa.

Bagaimana mungkin warga seperti Papua, atau Kalimantan akan maju, jika institusinya belum merata. Taruhlah misal jika ada anak Kalimantan mau studi teknologi perkapalan, jika lembaganya tak ada, maka harus disiapkan. Bahwa hari ini sudah ada peluang mendirikan perguruan tinggi (kadang disertai moratorium), nyatanya terlalu banyak aturan yang harus dilewati. Sehingga yang terjadi, lembaga pendidikan itu malah ada yang sudah mati suri.  

Ketiga, regulasi permodalan. Salah satu kesulitan anak bangsa dalam berbisnis adalah permodalan. Untuk itu harus ada langkah lain, mengatasi soal ini. Bahwa sudah ada perbankan itu diakui. Tetapi itu lembaga bisnis, jadi sudah kaku mekanismenya. Nyatanya tak sedikit jika ada anak bangsa yang (ingin) berbisnis menggunakan fasilitas bank, justru malah bisa mati di tengah jalan usahanya. Bahkan bangkrut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun