Saya pun hanya bisa tertawa. Selucu itu orang-orang tua yang pikun. Jujur saja, saya merasa gemas sekali. Beliau semacam menciptakan rutinitas untuk membuat saya memperkenalkan diri pada orang yang sama selama lima belas hari dalam satu bulan.
Berbeda dengan dua orang lansia sebelumnya, Nenek Ipah dan Kakek Rustam. Â Ingatan mereka masih lebih baik. Mereka bisa mengenali saya ketika saya berkunjung ke rumah. Mereka bisa tersenyum dan menyapa.
Namun, walau pun begitu, Nenek Liah telah mendapat tempat tersendiri di hati saya. Terlebih ketika beliau meninggal pada bulan November tahun 2018 lalu. Saya jadi membayangkan pertengahan hingga akhir Ramadan ini tanpa pertanyaan konyol yang beliau ulang-ulang, tanpa tatapan tegang beliau, tanpa berbagi sembako dan takjil pada beliau.
Memang, beliau tidak puasa. Tapi saya bisa melihat gurat tipis kebahagiaan dari keriput wajahnya saat menerima nasi bungkus, kurma dan kue-kue ringan seadanya untuk santapan selepas Maghrib.
Sekarang beliau sudah tiada, gubuk beliau yang merupakan pemberian salah satu warga pun tidak lagi dihuni siapa-siapa.
Dan begitulah cara kehilangan bekerja, yang bisa berasal dari hal-hal kecil sederhana, atau ucapan sehari-hari yang melekat di ingatan karena sudah terbiasa. Ramadan ini tanpa Nenek Liah dan pertanyaan membosankan "kamu siapa"nya atau pelajaran berharga untuk lebih membuka diri dan peka terhadap lingkungan yang tanpa sengaja beliau ajarkan.
Semoga sekarang nenek ingat saya, ya.