Mohon tunggu...
SULAIMAN ZUHDI MANIK
SULAIMAN ZUHDI MANIK Mohon Tunggu... -

saat di bekerja di PKPA Aceh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Petani Garam Korban Gempa Aceh Masih Belum Bisa Bangkit

21 April 2017   10:58 Diperbarui: 22 April 2017   00:00 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

7 Desember 2016, gempa bumi di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, menyebabkan korban jiwa, kerusakan rumah, jalan raya dan fasilitas umum. Seseran gempa juga berdampak langsung terhadap petani garam di Gampong (desa) Lancang Paru, Kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Bentuk kerusakan seperti runtuhnya Jambo (rumah produksi) dan Jantan (alat penyaring air dan pasir laut) serta keretakan tanah di area Jambo maupun aliran air menyebabkan air laut bebas masuk ke lahan.

Pasca 7 Desember 2016, selama lebih satu bulan lebih mereka yang bertani garam, bersama penduduk lainnya juga harus hidup di tenda di Dusun Lapangan. Sampai minggu ketiga Februari 2017, dari 402 kepala keluarga di Gampong Lancang Paru, masih banyak tidur di tenda yang didirikan di depan rumah dengan alasan untuk keamanan dari gempa susulan atau bagian-bagian rumah yang retak atau rubuh.  Turun-temurun

Petani garam di Gampong Lancang Paru, sudah ada lebih 100 tahun lalu. Saat ini terdapat 94 unit rumah produksi (Jambo) dan sedikitnya 200 orang penduduk gampong menjadi petani garam yang didominasi perempuan, dengan lahan dan tampat produksi tidak jauh dari rumah. Mereka ada petani yang memiliki Jambo dan lahan sendiri serta ada menyewa atau menjadi pekerja di lahan orang lain dengan sistem bagi hasil; dua bagian untuk pemilik lahan dan Jambo serta satu bagian untuk pekerja.

Garam yang diproduksi adalah garam kasar untuk konsumsi rumah tangga dengan pasar utama di Kabupaten Pidie Jaya. Garam dari Lancang Paru memiliki keistimewaan karena diolah alamiah dan sangat baik digunakan untuk mengolah asam sunti. Jika menggunakan garam produksi pabrik, asam sunti yang diolah cepat busuk dan rasanya kurang enak. Garam tersebut juga digunakan untuk penyedap rasa masakan.

Rutinitas kerja sejak zaman nenek-moyang tersebut dianggap menjadi tradisi kerja dan identitas mereka. Identitas yang tidak hanya memberikan makna terhadap kehidupan dan pola relasi di lingkungan kerja tapi sekaligus menjadi ciri yang melatarbelakangi usaha pertanian garam tetap mereka lakukan sampai sekarang. Identitas sebagai petani garam dari nenek moyang tersebut telah merupakan totalitas dan menunjukkan ciri-ciri, keadaan khusus atau jati diri dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari pekerjaan dan kehidupan mereka sehari-hari. Alasan ini pula menyebabkan model produksi baru yang pernah disediakan satu lembaga internasional pasca gempa dan tsunami Aceh tahun 2010 lalu mereka tinggalkan, karena dianggap menjauhkan dari tradisi yang mendarah-daging.

Rutinitas kerja

Pagi hari,  jam 07.00, mereka mulai bekerja, mengangkat pasir laut ke Jantan dan menyiram pasir dalam Jantan dengan air laut. Hasil saringan air yang ditampung dalam jerigen kemudian dibawa dalam tong bekas cat atau jeregen dengan cara menjunjung ke Jambo, kemudian dimasukkan ke kuali untuk dimasak selama 10-12 jam.

Bekerja lebih 12 jam sehari dengan memasak 200 liter air asin dalam dua tungku, petani garam akan menghasilkan 20-25 kilogram garam. Dengan harga jual Rp. 3.000/kg maka penghasilan diperoleh Rp. 60-75 ribu/hari. Jumlah harian garam yang diproduksi tidak pasti. Menurut petani, jumlah dan kualitas garam tergantung musim hujan atau kemarau. Musim hujan, kandungan garam berkurang, jika dimasak 100 liter biasanya menghasilkan 15-16 kilogram garam. Pada musim kemarau, dengan jumlah air yang sama akan menghasilkan 20-25 kilo garam. Musim kemarau kandungan garam dalam pasir dan air lebih tinggi.

Harga jual garam petani kepada muge(pengumpul) yang datang menggunakan sepeda motor, tidak pasti, setiap hari. Muge yang menentukan harga. Jika produksi petani banyak, musim kemarau, harga beli Muge biasanya rendah; pada kisaran Rp. 1.800-2.000/kilo. Jika produksi berkurang (musim hujan) harga garam akan naik, dengan harga tertinggi Rp. 4.000/kilogram. Dengan demikian range harga jual garam petani kepada Muge adalah Rp. 1.800-4.000/kilo. 

Jika musim kemarau, sambil memasak air garam, petani biasanya mengangkat pasir laut untuk disimpan di Jambo (rumah produksi). Pada musim hujan, pasir simpanan tersebut yang dipergunakan. Mereka mengangkat kembali pasir dari Jambo ke tempat penyaringan (Jantan) yang letaknya 15-30 meter dari Jambo dengan menjunjung dalam karung plastik dengan berat 20-35 kilogram. Pernah dipergunakan alat atau kereta dorong, namun daya tahan alat dorong tersebut tidak lama, akibat pengaruh air asin, daya tahannya maksimal enam bulan. Membeli kembali alat dorong baru, secara ekonomi dikatakan tidak mungkin. Alat pengangkat pasir dan air yang lain belum ada ditemukan petani.    

Petani garam mengatakan, mereka hanya kuat mengangkat pasir 30-40 kali sehari. Selain karena berat beban pasir dan air yang diangkat, pekerjaan tersebut setiap hari dilakukan, sehingga lelah kemaren belum hilang, hari ini sudah melakukan pekerjaan yang sama. Apalagi, selain menjadi petani garam, pada saat bersamaan pekerjaan domestik dikerjakan. Rutinitas perempuan di pedesaan tetap dilakukan. Bagi perempuan orang tua tunggal, sambil bekerja di ladang garam, mereka menjaga anak, memasak, mencuci dan pekerjaan rumah tangga lain. Jika proses memasak air sudah dilakukan di Jambo, mereka berjalan kaki pulang ke rumah untuk mencuci atau memasak dan kemudian kembali lagi ke Jambo untuk mengecek proses pemasakan air menjadi garam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun