Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karnaval, Perayaan Cap Go Meh, dan Turis Domestik

9 Februari 2020   22:08 Diperbarui: 10 Februari 2020   00:20 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
perayaan cap go meh di singkawang, kalbar (pontianakpost.co.id)

Dulu, tahun 1970 hingga 1980-an, pilihan tontonan tidak sebanyak sekarang. Terlebih pilihan tontonan di layar kaca. Itu sebabnya karnaval menjadi salah satu yang favorit, yang ditunggu, dan ramai diperbincangkan sesudahnya. Penulis ingat ketika masa sekolah menengah hingga perguruan tinggi di Yogya, pada berbagai event di Jalan Malioboro menjadi ajang karnaval.

Tentu ide dari sana pula yang mendorong seorang penulis cerpen Seno Gumira Ajidarma menyusun cerita berjudul "Karnaval". Cerpen itu bersama sejumlah cerita lain kemudian dibukukan dengan judul "Iblis Tak Pernah Mati".

Di sana diceritakan di tengah keramaian rombongan karnaval seorang anak kecil yang terlepas dari pegangan orang tuanya. Dalam kondisi berdesakan si anak terpisah dari ibunya. Entah mengapa anak itu  memilih mengikuti ke mana peserta karnaval berjalan.

Ajaibnya, mereka  berkelana melewati kota besar, padang pasir, hingga ladang pembantaian. Gagasan absurd cerpen tersebut boleh jadi diilhami (salah satunya) oleh pengalamannya menonton karnaval seni-budaya maupun perayaan Cap Go Meh.

*

Cap Go Meh, ihwal apakah itu? Cap Go Meh merupakan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia.

Kemarin, tepatnya tanggal 8 Februari 2020, warga etnis Tionghoa mengadakan perayaan Cap Go Meh. Tiga suku kata itu: sepuluh (cap), lima (go), malam (meh); dimaksudkan perayaan malam ke 15 setelah tahun baru Imlek.

Cap Go Meh merupakan pesta besar warga Tionghoa yang bertujuan memberi hiburan kepada seluruh warganya dan warga sekitar dengan menonton berbagai pertunjukan, yaitu barongsai, liong, dan indahnya ratusan cahaya lampion.

Ada cerita dibalik itu, cerita dari negeri China. Asal usul Cap Go Meh bermula dari seorang gadis bernama Guan Siau (Yuan Xiao Jie) pada pada Dinasti Han (206 SM-220 M)

Saat perayaan Cap Go Meh diadakan acara gotong Toapekong ke jalan raya yang diiringi barongsai dan liong. Toapekong adalah patung dewa dewi yang berada di kelenteng. Konon tujuan gotong Toapekong ke jalan raya untuk menolak bala di setiap jalan yang dilaluinya. Sumber 1

Selain Barongsai dan Liong, ada pula atraksi  menyeramkan, yaitu Tatung. Nama lain Tatung, adalah Lok Tung, Tang Sin, Tangki, atau Laoya.

Atraksi Tatung yang dipertunjukkan dengan cara melukai badan, tetapi tidak merasakan sakit padahal darah bercucuran. Di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, ratusan Tatung yang diturunkan, yang terdiri dari orang-oang Tionghoa dan suku Dayak.

Di Singkawang hari ini merupakan hari terakhir Festival Cap Go Meh dan Tatung. Acara puncak Cap Go Meh 2020 di sana dimeriahkan berbagai acara menarik, di antaranya parade 857 tatung, atraksi liong, barongsai dan hiburan rakyat.

Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie mengatakan perayaan Cap Go Meh di Kota Singkawang merupakan yang terbesar di Indonesia, bahkan beberapa media menyebutkan sebagai event terbesar di dunia. Sumber 2

*

Sekadar perbandingan, cerita dewa-dewi sudah kita sudah sangat akrab dalam bentuk kesenian wayang kulit dan wayang golek. Cerita rekaan itu memang bersumber dari kepercayaan agama Hindu.

Daya tarik utama pergelaran wayang itu yaitu kemampuan para dalang dalam mengemas alur maupun isi cerita yang disesuaikan dengan persoalan kekinian.

Bila kesenian barongsai dan liong, sebaliknya seni-budaya reog Ponorogo, debus Banten, dan kuda lumping Jawa Tengah rasanya cukup kenal. Setidaknya melalui layar televisi, atau di youtube. Bahkan mungkin pernah secara khusus mendatangi suatu tempat dan melihat langsung pertunjukan itu.

Ada daya tarik besar di sana.  Seni pertunjukan itu --wayang dan reog maupun debus- dikembangkan dan dilestarikan sejak nenek moyang. Seni budaya itu tidak terkait dengan agama, melainkan ekspresi seni-budaya dan kepercayaan lama.

Bila kita merasa senang, terhibur, dan penasaran atas berbagai kesenian daerah itu; maka demikianlah pula mestinya saat menyaksikan perayaan Cap Go Meh.

*

Terkait dengan upaya Pemerintah dalam meningkatkan kunjungan wisata. Wishnutama Kusubandio sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) mengatakan daya tarik pariwisata harus dikelola lebih kreatif agar semakin diminati wisatawan mancaranegara maupun wisatawan nusantara. Sumber 3

Dan siapapun kita --warga bangsa sendiri, meski mungkin beda etnis dan keyakinan agama dengan penyelenggara Cap Go Meh- mestinya antusias meski sekadar menjadi turis domestik untuk meramaikannya. Mungkin sambil membayangkan bagaimana Seno Gumira Ajidarma (sekolah menengahnya juga di Yogya) melukiskan karnaval atau pawai dengan  nyata dan sekaligus absurd begitu piawainya.  ***

Sekemirung, 9 Februari 2020

Simak tulisan menarik lain:
ajak duel polisi tohap silaban berat patuhi aturan
anggota isis eks wni pulang malu tak pulang rindu
malunya resepsi pernikahan tanpa hidangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun