Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Fenomena Pelanggaran PSBB dan Mudik, Cermin Pendidikan dan Kepemimpinan Kita

22 Mei 2020   13:00 Diperbarui: 22 Mei 2020   12:58 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mbscenter.or.id

Fenomena pengabaian protokol kesehatan Pembatasan Berskala Besar (PSBB) oleh masyarakat, saya menyebut adalah hasil dari pendidikan dan kepemimpinan Indonesia selama ini. 

Kendati peraturan PSBB sangat jelas, larangan dalam beribadah Ramadan juga sangat jelas, namun ternyata, masyarakat tetap saja menabrak peraturan PSBB dan larangan-larangan dalam ibadah Ramadan sesuai ketentuan agama. 

Melihat fenomena pengabaian peraturan dan larangan dalam beribadah Ramadan seperti harus mampu menahan diri, mampu mengendalikan diri dan emosi, tidak marah dll agar semua ibadah diterimaNya, siapa yang seharusnya diharapkan mampu mengurai benang kusut ini? 

Bila masyarakatnya sudah demikian, apakah yang menyadarkan agar masyarakat kembali patuh dan santun, tidak melanggar PSBB dan melanggar ibadah Ramadan, harus sesama rakyat? Sementara orang-orang yang diharapkan mnejadi pnautan rakyat pun tak dapat diharapkan. 

Atau pemerintah yang lebih punya hak mengatur masyarakat? Tapi pemerintah pun begitu.

Andai Kamis, (21/5/2020) laporan kasus corona dari pemeruntah adalah benar dan bukan rekayasa, itulah contoh hasil yang dapat dipetik oleh kita semua. Korban terpapar virus coron jadi sangat mengkawatirkan dan menakutkan. 

Apakah setelah laporan Kamis, ada perubahan sikap signifikan oleh masyarakat? Ternyata dari berbagai pantuan, hasil laporan kasus corona yang meningkat, tetap terlihat tak ada efeknya bagi masyarakat. 

Buktinya, Jumat (22/5/2020) pasar dan mal masih dijejali manusia. Para pemudik  baik pemotor atau yang menggunakan mobil, terus membikin macet jalan tol, mengabaikan peraturan PSBB, larangan mudik, dan mengabaikan hawa nafsu, yang dapat membatalkan/ mengurangi khusunya ibadah Ramadan. 

Lebih ditakutkan, bila masyarakat akhirnya benar-benar abai dan terlihat justru cenderung melawan aturan pemerintah, termasuk dalam penyelenggaraan salat Id baik di masjid atau tempat terbuka nanti, dipastikan aparat keamanan dan petugas gabungan pasti akan kewalahan. 

Petugas pun sudah terbukti tak mampu mengendalikan membludaknya masyarakat yang menjejali pasar dan mal. Apakah petugas juga akan mampu mencekal para pemudik yang bentuknya sudah "massa" dan menggeruduk dengan kendaraan motor dan mobil? 

Kisah penjajah kalah

Ingatkah kisah bagaimana para pejuang Indonesia yang merebut kemerdekaan? Hanya dengan senjata bambu runcing, penjajah yang sudah menggunakan senjata mesin pun dapat ditaklukkan. 

Mengapa penjajah menang meski banyak pejuang yang tetap gugur? Sebabnya, jumlah penjajah dibandingkan massa pejuang Indonesia tidak sebanding. Bagaimana bila analogi ini dipakai untuk kasus PSBB dan larangan mudik? 

Bila petugas PSBB dan larangan mudik ibaratnya penjajah, maka jumlah petugas yang tidak sebanding dengan jumlah massa masyarakat, tentu juga tak akan mampu membendungnya. Lebih bahaya lagi, bila menghadapi masyarakat dalam bentuk massa yang sudah dalam tanda kutup "marah". 

Kini, masyarakat kita juga sudah demikian. Pengabaian dan tak patuhnya masyarakat akan peraturan PSBB dan nekad mudik, latar belakngnya, salah satunya karena rakyat kecewa dengan pemerintah. 

Berikutnya, kondisi psikologis masyarakat yang tertekan dalam hal ekonomi dan sosial, maka membuat masyarakat tak mau lagi bepikir logis, berpikir cerdas. 

Dan, kondisi masyarakat yang kini tak patuh dan abai inilah buktinya. Namun, demikian, karena kondisi yang demikian, kita menjadi tahu, inilah wajah asli Indonesia setelah 75 tahun merdeka. 

Masyarakatnya masih jauh dari karakter yang dicitakan. Masih jauh dari kecerdasan intelgensi dan emosinal, karena gagalnya proses pendidikan. Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan, sejak usia anak hingga dewasa, di sekolah dan bangku kuliah, sejatinya yang dikejar bukan "pendidikannya" namun bukti lulus, yaitu ijazahnya. 

Begitu, mereka menjadi orang tua, maka hasil proses belajar di sekolah dan kukiahnya, juga tak membekas hasil "penddikannya". Sebab, selama di bangku sekolah dan kuliah, anak-anak dan remaja Indonesia hanya dijejali teori dan belajar, tak diiringi pendidikan. 

Guru dan dosen, hanya mengajar, tak mendidik. Jadi, baik anak yang masih sekolah, masih kuliah, hingga yang sudah selesai sekolah, selesai kuliah dan menjadi orang tua, maka saat bergabung dalam kehidupan nyata, kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan kerja dan sebagainya, tak matang dalam karakter. 

Jauh dari nilai-nilai etika, sopan santun, budi pekerti, hingga sulit menjadi individu yang pandai bersyukur, berbesar hati, dan rendah hati. 

Inilah kegagalan pendidikan di Indonesia selama ini. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang belum mengenyam pendidikan formal? Masyarakat yang mengenyam pendidikan formal saja sulit diharapkan memliki karakter yang benar dan baik karena proses pendidikan yang hanya ditahap belajar-mengajar, bukan belajar dan mendidik. Bagaimana masyarakat yang belum terdidik? 

Sementara jumlah masyarakat yang sudah mengenyam bangku sekolah/kuliah, masih kalah banyak dibanding masyarakat awam. 

Karena itu, melihat fenomena masyarakat yang abai terhadap PSBB dan aturan mudik, inilah hasil dari wajah pendidikan kita. Sudah begitu, pemimpin dan pemerintah pun, khususnya periode sekarang, tak mampu menjadi panutan dan teladan. 

Analogi orang kaya 1 dan 2

Mungkin masalah kepemimpinan ini bisa saya analogikan seperti ada sebuah rumah besar di satu desa, milik orang kaya raya (orang kaya 1). Sekeliling rumah yang juga dipenuhi taman dan pohon buah-buahan, dan kolam ikan, ditembok keliling dengan sangat tinggi dan kokoh. 

Di atas tembok pun, ditambah tempelan pecahan kaca dan beling, agar aman dari maling. Pun ada petugas keamanan. Namun, apa yang terjadi, saat musim buah dan musim panen ikan, sebelum panen dilakukan, buah dan ikan sudah ludes dijarah maling. 

Sebaliknya di sebuah desa lain, pun ada rumah orang kaya (orang kaya 2), yang sama dengan orang kaya yang sekelilingnya ditembok keliling, penuh taman buah dan kolam ikan. 

Bedanya rumah orang kaya yang satu ini, sekelilingnya tak ada tembok, dibiarkan terbuka menyatu dengan kondisi desa. Namun, hebatnya, tak ada maling yang menjarah buah dan ikan. Di mana letak masalahnya? 

Ternyata orang kaya 1 itu tak akrab dengan warga, kikir, pelit, dan segala hal negatif lainnya. Berbeda dengan orang kaya 2, akrab dengan masyarakat, rendah hati, selalu berbagi dan berbagai sikap positif lainnya. 

Maka, orang kaya 2 menjadi teladan dan disegani, dihormati, di desa itu. Tak perlu rumahnya ditembok keliling, warga sekitar malah sudah menjadi tembok keamanan orang kaya 2 ini. 

Bagaimana bila karakter orang kaya 2 ini adalah karakter seluruh rakyat Indonesia? Sebab, orang kaya 2 adalah wujud dari manusia terdidik yang sebenarnya. Bagaimana bila karakter orang kaya 2 ini adalah pemimpin dan pemerintah Indonesia? 

Sudah tentu, dalam pelaksanaan PSBB dan larangan mudik, tidak perlu ada  petugas dan aparat keamanaan yang harus berjaga. 

Jadi, betapa memprihatinkannya hasil pendidikan dan kepemimpinan di Indonesia selama ini, cukup dapat dilihat dari perilaku masyarakat dan pemimpin/pemerintah sekarang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun