Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Fenomena Pelanggaran PSBB dan Mudik, Cermin Pendidikan dan Kepemimpinan Kita

22 Mei 2020   13:00 Diperbarui: 22 Mei 2020   12:58 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mbscenter.or.id

Ingatkah kisah bagaimana para pejuang Indonesia yang merebut kemerdekaan? Hanya dengan senjata bambu runcing, penjajah yang sudah menggunakan senjata mesin pun dapat ditaklukkan. 

Mengapa penjajah menang meski banyak pejuang yang tetap gugur? Sebabnya, jumlah penjajah dibandingkan massa pejuang Indonesia tidak sebanding. Bagaimana bila analogi ini dipakai untuk kasus PSBB dan larangan mudik? 

Bila petugas PSBB dan larangan mudik ibaratnya penjajah, maka jumlah petugas yang tidak sebanding dengan jumlah massa masyarakat, tentu juga tak akan mampu membendungnya. Lebih bahaya lagi, bila menghadapi masyarakat dalam bentuk massa yang sudah dalam tanda kutup "marah". 

Kini, masyarakat kita juga sudah demikian. Pengabaian dan tak patuhnya masyarakat akan peraturan PSBB dan nekad mudik, latar belakngnya, salah satunya karena rakyat kecewa dengan pemerintah. 

Berikutnya, kondisi psikologis masyarakat yang tertekan dalam hal ekonomi dan sosial, maka membuat masyarakat tak mau lagi bepikir logis, berpikir cerdas. 

Dan, kondisi masyarakat yang kini tak patuh dan abai inilah buktinya. Namun, demikian, karena kondisi yang demikian, kita menjadi tahu, inilah wajah asli Indonesia setelah 75 tahun merdeka. 

Masyarakatnya masih jauh dari karakter yang dicitakan. Masih jauh dari kecerdasan intelgensi dan emosinal, karena gagalnya proses pendidikan. Bagi masyarakat yang mengenyam pendidikan, sejak usia anak hingga dewasa, di sekolah dan bangku kuliah, sejatinya yang dikejar bukan "pendidikannya" namun bukti lulus, yaitu ijazahnya. 

Begitu, mereka menjadi orang tua, maka hasil proses belajar di sekolah dan kukiahnya, juga tak membekas hasil "penddikannya". Sebab, selama di bangku sekolah dan kuliah, anak-anak dan remaja Indonesia hanya dijejali teori dan belajar, tak diiringi pendidikan. 

Guru dan dosen, hanya mengajar, tak mendidik. Jadi, baik anak yang masih sekolah, masih kuliah, hingga yang sudah selesai sekolah, selesai kuliah dan menjadi orang tua, maka saat bergabung dalam kehidupan nyata, kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan kerja dan sebagainya, tak matang dalam karakter. 

Jauh dari nilai-nilai etika, sopan santun, budi pekerti, hingga sulit menjadi individu yang pandai bersyukur, berbesar hati, dan rendah hati. 

Inilah kegagalan pendidikan di Indonesia selama ini. Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang belum mengenyam pendidikan formal? Masyarakat yang mengenyam pendidikan formal saja sulit diharapkan memliki karakter yang benar dan baik karena proses pendidikan yang hanya ditahap belajar-mengajar, bukan belajar dan mendidik. Bagaimana masyarakat yang belum terdidik? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun