Mohon tunggu...
Iya Oya
Iya Oya Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki

90's

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Kesetaraan Gender, Tapi Kesetaraan Kemanusiaan

15 Juli 2017   19:01 Diperbarui: 15 Juli 2017   22:46 2240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: assets.change.org

Tak ada yang melarang seorang wanita menyetir mobil sendirian, kerja di kantor, atau melakukan pekerjaan laki-laki. Bahkan kalau seorang laki-laki tak bisa menyetir mobil, tak ada juga yang melarang seorang perempuan membawa mobil duduk di samping laki-laki yang tak bisa mengemudikan mobil tadi. Mau pilih lewat jalan yang mana, atau bahkan kalau seorang wanita mau membawa mobilnya dengan gaya zig-zag, ngebut poll atau nge-drift pun itu terserah-terserah dia. Itu manusiawi dan tak perlu pakai larangan segala selama tahu batasannya.

Tapi kalau bicara soal --yang katanya-- kesetaraan gender, memang ada sesuatu yang mutlak tak bisa disetarakan. Laki-laki memang tak sama dengan perempuan dalam kontes-konteks tertentu. Bukan cuma dalam soal ragawi dimana tenaga laki-laki lebih kuat, tapi juga secara psikis yang menyangkut dengan persoalan emosi, sikap dan lain sebagainya.

Tak usah jauh-jauh. Seorang teman perempuan mengatakan dirinya kuat, dia ingin disetarakan dengan laki-laki, tapi di sisi lain dia juga menekankan kalau ada sesuatu yang lemah pada dirinya (mungkin secara emosional, perasaan) dimana secara implisit dia pingin bilang "jangan sakiti perasaanku, karena aku lemah dalam hal itu". Dari pengakuan pribadinya tadi saya jadi berpikir bahwa memang perempuan tak bisa benar-benar setara dalam segala hal dengan laki-laki, tapi bukan berarti tidak sederajat. Ini tak sama.

Kita memang diciptakan dalam suatu hierarki yang tidak mutlak setara dalam hal apapun. Ada yang harus di bawah dan ada yang di atas. Ada yang dipimpin dan ada yang memimpin. Tapi bukan berarti yang memimpin atau yang pihak yang  diatas itu lebih superior daripada yang di bawah atau yang dipimpin. Kita salah dalam memahami hal ini dan terlanjur mengasosiasikan dengan persoalan superioritas maupun inferoritas. Dalam konteks tertentu seorang wanita justru bisa lebih kuat, lebih superior daripada laki-laki. Lihat saja hubungan antara seorang anak dengan ibunya. Kalau kita bicara dalam konteks relasi orang tua dan anak, secara emosional hal itu lebih terasa kedekatannya yaitu antara anak dengan ibunya. Tak tahulah bagaimana itu terjadi. Seperti sebuah keajaiban dimana ada semacam ikatan batin emosional yang memang sudah mutlak tak bisa dipisahkan, orisinil, dan sudah saling mengenal di antaranya. Beda lagi relasinya antara anak dengan bapak yang memang tak sama antara anak dengan ibu.

Sebenarnya perbedaan perempuan dan laki-laki itu memang sudah bisa kita saksikan dengan nyata. Perempuan lebih banyak menginginkan sesuatu daripada laki-laki. Kalau dalam iklan-iklan di tivi, kita bisa lihat bagaimana perempuan lebih banyak nenteng tas belanjaan. Dan kalaupun ada seorang laki yang bawa tas belanjaan banyak, itu sebenarnya tas belanjaan istrinya atau pacarnya. Dalam satu kasus yang sudah kita kenal, kita bisa lihat kalau Hawa-lah yang membujuk Adam untuk memakan buah terlarang di Surga. Dalam realitas saat ini, nyatanya perempuanlah yang lebih banyak mintanya kepada laki-laki. Sebaliknya, justru laki-laki lemah terhadap perempuan kalau sudah dimintai sesuatu. Cinta melemahkan laki-laki, dan perempuan berkuasa kalau sudah masuk ranah ini.

Dari persoalan semacam itu, kayaknya kita pun sudah bisa menilai siapa yang lebih pantas menghadapi kejamnya dunia. Laki-laki bukannya tak berani menghadapi perempuan di depannya. Tapi coba saja bayangkan seandainya bukan Musa yang menghadapi Firaun, melainkan seorang perempuan. Makanya nabi-nabi pun ditunjuk Tuhan tak lain hanyalah seorang laki-laki. Lagian, gimana perasaan kita waktu melihat seorang laki-laki menghajar perempuan, memaki perempuan, atau berbuat semacam itu?

Gimana kalau misalnya nabi perempuan itu dimaki-maki oleh Firaun? Tak pantas. Tapi kalau perempuan memukuli laki-laki, memaki-maki laki-laki, atau mau pakai kata-kata sekasar apapun tak ada yang perlu dipermasalahkan. Laki-laki tak akan bersakit hati dan memaklumi itu. Lelaki yang baik tahu, bahwa tak ada suatu kepantasan untuk balas menonjok seorang perempuan. Tapi saya rasa perbedaan paling fundamental itu ada pada aspek metafisik kita. Kalau laki-laki tak mau melawan perempuan, itu bukan karena merendahkan perempuan, melainkan lebih pada soal perasaan dan kepantasan. Nyatanya, baik dari kaum laki-laki dan perempuan pun berpenilaian sama.

Bukan tak mungkin dan tak boleh kalau seorang perempuan membimbing atau mengajarkan laki-laki. Ini bukan permasalahan gender. Begitupun persoalan intelektual kita, tak perlu mensubordinasi satu dengan yang lain. Tak ada yang melarang perempuan berpendidikan tinggi, karena itu wajar-wajar saja dan manusiawi. Dan kalau pada Kitab Suci persoalan pembagian harta wanita tidak sama dengan laki-laki, ini memang mutlak karena Tuhanlah yang lebih tahu dampaknya bagi seorang wanita.

Sekali lagi, persoalan gender ini sebenarnya bukan masalah superioritas atau inferoritas. Kita seringkali mengkonotasikannya kedalam persoalan itu, padahal sebenarnya bukan demikian. Padahal kita pun tahu kalau "keapaan" antara laki-laki dan perempuan tak akan mungkin benar-benar setara dalam segala hal, walaupun derajat kita sebagai manusia (terlepas dari konteks gender) adalah sama, bahkan di mata Tuhan. Artinya, sebenarnya yang dituntut (dan mutlak) itu adalah kesetaraan kemanusiaan dan bukan kesetaraan gender. Dalam tubuh laki-laki ada yang dilebihkan dan dikurangkan atas perempuan. Begitupun dalam tubuh perempuan ada yang dilebihkan dan dikurangkan atas laki-laki, apakah itu dalam hal fisik maupun metafisik.

Tapi tak usah jauh-jauhlah. Lihat saja iklan-iklan produk kecantikan dan lihat bagaimana sikap perempuan yang disitu terlalu takut kena sinar matahari, takut rambutnya rontok, takut badannya gemuk dan lain sebagainya. Saya tak tahu apakah ada yang wanita yang protes kalau melihat iklan-iklan itu. Tapi dari situ kemudian saya berpikir, kalau yang namanya wanita tak usahlah repot-repot mengorbankan kecantikannya kena panas matahari di siang bolong supaya tak menghitam kulitnya.

Pun, dari iklan-iklan di tivi, kesan saya terhadap perempuan semakin kuat, bahwa yang namanya wanita itu begitu protektif-perfeksionis terhadap kepribadiannya sendiri. Kita sebenarnya tahu kalau ini pada hakikatnya adalah soal kemanusiaan dan bukan soal gender, apalagi seksualitas. Ini persoalan universal dan tidak partikular. Tapi kita terlalu cenderung memahaminya berdasarkan tubuh, ragawi, dan jenis kelamin yang memang hanya tercipta laki-laki dan perempuan.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun