Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Inspiratif, Pondasi Gerakan Perubahan

27 Februari 2018   12:15 Diperbarui: 27 Februari 2018   12:57 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penembakan massal di Marjorie Stoneman Douglas High School di Parkland, Florida 14 Februari lalu telah memantik kemarahan publik atas lemahnya aturan dari pemerintah tentang pengendalian senjata. Pelaku penembakan, Nicolas Cruz, 19 tahun, menembaki puluhan orang di sekolah tersebut, berakhir dengan 17 orang tewas, dengan menggunakan senjata semi otomatis tipe AR-15 yang dibelinya secara legal. Nicolas Cruz kemudian diketahui memiliki gangguan mental. (Baca juga Dari Parkland ke Washington, Menuntut Pengendalian Senjata)

Sejak kejadian tersebut para pelajar Stoneman Douglas High School berusaha menyampaikan keprihatinan mereka melalui beberapa demonstrasi, mendesak pemerintah untuk merevisi aturan mengenai kepemilikan senjata oleh warga sipil, menekan NRA (National Rifle Association) yang selama ini dinilai berperan besar dalam bisnis senjata di Amerika Serikat. 

Pemerintahan Donald Trump dinilai tidak serius bahkan menyepelekan permasalahan peredaran senjata dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan ngawur dan tidak solutif. Untuk mengatasi maraknya penembakan massal di sekolah, Donald Trump berencana mempersenjatai para guru lengkap dengan pelatihan menembak agar bila dibutuhkan, mereka bisa segera melumpuhkan pelaku penembakan.

Donald Trump yang berasal dari Partai Republik telah lama dicurigai mendapat support dana dari NRA selama kampanye kepresidenannya. Emma Gonzales, salah satu siswa Stoneman Douglas yang selamat, dalam pidatonya menyatakan:

If the President wants to come up to me and tell me to my face that it was a terrible tragedy and how it should never have happened and maintain telling us how nothing is going to be done about it, I'm going to happily ask him how much money he received from the National Rifle Association.

You want to know something? It doesn't matter because I already know. Thirty million dollars. And divided by the number of gunshot victims in the United States in the one and one-half months in 2018 alone, that comes out to being $5,800. Is that how much these people are worth to you, Trump? ...To every politician who is taking donations from the NRA, shame on you.Shame on you.

(Transkrip lengkap pidato Emma Gonzales dapat dibaca di sini)

Para pelajar Stoneman Douglas High School dengan lantang menyampaikan aspirasi mereka dalam kampanye Never Again melalui orasi, talkshow di televisi, wawancara di media cetak, bahkan mereka mengkoordinasi aksi demonstrasi besar-besaran pada tanggal 24 Maret nanti dengan judul "March of Our Lives".

Dalam setiap pernyataan yang keluar dari mulut mereka, para pelajar ini tidak tampak seperti remaja berusia belasan tahun. Pernyataan-pernyataan mereka logis, terstruktur dan tepat sasaran, semuanya didasarkan pada hasil riset dan data. Menjawab setiap bantahan dari pemerintah maupun dari NRA dengan tegas dan jelas.

Ketika diserang tudingan bahwa para pelajar ini bukanlah pelajar Stoneman Douglas, melainkan aktor yang dibayar untuk menunggangi aksi ini untuk menyerang pemerintah, Cameron Kasky, 17 tahun menjawab "Well, if you had seen me in our school's production of 'Fiddler on the Roof,' you would know that nobody would pay me to act for anything." David Hogg, pemimpin redaksi berita sekolah, menjawab "These people saying this is absolutely disturbing. And I am not an actor in any sense, way, shape or form...I go to Stoneman Douglas High School, and I was a witness to this. I'm not a crisis actor, I am somebody that had to witness this and live through this." Emma Gonzales menjawab "It just shows how weak the other side's argument is, like they have to attack the messengers since the message is airtight." Ketiganya merupakan pentolan yang dianggap paling vokal dalam aksi ini.

Dalam talkshow special di CNN 21 Februari lalu yang disiarkan secara langsung, para pelajar ini bahkan tidak gentar ketika berhadapan dengan Dana Lousch (juru bicara NRA), mempertahankan argumen mereka yang hanya selalu ditepis oleh Dana, juga tidak lengah dalam memberikan tekanan pada Marco Rubio (Senator Florida dari Partai Republik) untuk memperjuangkan aspirasi mereka di parlemen. Cameron Kasky bahkan dengan berani menantang Senator Marco Rubio untuk tidak menerima uang dari NRA. Perwakilan Gedung Putih dan gubernur setempat menolak untuk hadir.

Keberanian mereka dibakar oleh rasa muak atas banyaknya kematian yang tidak perlu, ditopang oleh kemampuan mereka dalam berargumen akan dicatat dalam sejarah. Bagaimana mereka bisa begitu hebat? Jawabannya terletak pada sistem pendidikan di sekolah mereka yang memasukkan kurikulum pelajaran debat. Para siswa itu menyatakan bahwa selama 4 tahun di sekolah menengah mereka mengasah kemampuan mereka berdebat mengenai berbagai topik kontroversial dan salah satu topik yang paling sering diangkat adalah mengenai kepemilikan senjata.

Distrik Broward di Parkland, Florida dikenal memiliki kurikulum program debat terbesar di Amerika Serikat, mereka mewajibkan siswa mengikuti program debat di semua sekolah menengahnya, baik intrakulikuler maupun ekstrakulikuler. Bahkan beberapa tahun terakhir, sekolah dasar juga mulai banyak yang mengadaptasi kurikulum ini. 80% siswa dari Distrik Broward mengikuti kompetisi debat setiap tahunnya baik nasional maupun internasional.

Para siswa Stoneman Douglas mengatakan program debat di sekolah mereka begitu berat, setiap saat siswa terus ditempa pola pikir kritisnya, diasah kemampuannya dalam mengolah data lalu menyusunnya menjadi argumen yang singkat jelas padat dan tepat sasaran. Para siswa ini tidak pernah menyangka, pelajaran yang selama ini dirasakan melelahkan bagi mereka ternyata membangun suatu pondasi kuat bagi mereka menghadapi tragedi di sekolah mereka dan memampukan mereka menyusun aksi protes secara cerdas.

Bagaimana dengan pendidikan di negara kita? Apakah kita sudah mempersiapkan anak-anak kita untuk menghadapi permasalahan di dunia luar? Saat ini pendidikan di Indonesia masih berupa pendidikan satu arah, guru memberitahu ilmu dan pelajaran, anak-anak terbiasa disuapi data tanpa pernah dipancing rasa penasarannya soal mengapa begini mengapa begitu, bagaimana bila seperti ini, apa yang perlu dilakukan bila begitu, sehingga anak-anak hanya menjadi pintar di atas kertas, tetapi mati kutu dalam menghadapi permasalahan hidup. 

Persoalan inilah yang akhirnya melahirkan anak-anak yang hanya berani mengangkat kartu kuning tanpa punya data yang valid apalagi solusi praktis, hanya berani komentar penuh kebencian di media sosial tetapi kemudian menangis bila dilaporkan ke polisi, lebih percaya pada hoax daripada mencari sumber yang terpercaya.

Kita harus berusaha mengadaptasi konsep pendidikan dari luar negeri kemudian disesuaikan dengan situasi di Indonesia. Jangan juga buta-buta meniru program debat di sana, takutnya masyarakat kita tidak siap. Perwakilan lomba debat dari Indonesia ke luar negeri saja malah lebih dikomentari soal busananya daripada kemampuan berdebatnya.

Referensi: 

miamiherald.com

time.com

newyorker.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun