Orangtua bilang, saat aku lahir, rembesan air langit mengenai ubun-ubun, meresap ke nalar hingga mencair. Sehingga aku jadi menyukai sumur dan air.
Biasanya kutimba seember, kuendapkan semalam, paginya ia menjadi puisi. Kutimba lagi, Â lalu kubekukan dalam dingin malam, ia menjadi bongkahan politik. Ada pula lain waktu, aku uapkan siang-siang, ia menjadi awan-awan bahasa. Suka-suka saja, tak pakai aturan.Â
Jadi, berhentilah heran. Jangan kotori bening airku, atau mencoba mengira berapa dalam sumurku. Apalagi sampai melempar khotbah basi ke dalamnya. Jangan!Â
Tapi jika engkau ingin sekedar menikmati seteguk air untuk melepas dahaga, silahkan saja. Atau sekedar untuk kumur-kumur dan mencuci muka, boleh-boleh saja. Aku akan salut jika kau ke sumurku untuk berkaca, itu bijaksana!
Jakarta, 8 Desember 2018