Mohon tunggu...
Rinto F. Simorangkir
Rinto F. Simorangkir Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pendidik dan lagi Ambil S2 di Kota Yogya dan berharap bisa sampai S3, suami dan ayah bagi ketiga anak saya (Ziel, Nuel, Briel), suka baca buku, menulis, traveling dan berbagi cerita dan tulisan

Belajar lewat menulis dan berbagi lewat tulisan..Berharao bisa menginspirasi dan memberikan dampak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Minimnya Budaya Melayani

10 Agustus 2017   02:09 Diperbarui: 10 Agustus 2017   12:29 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu banyaknya orang-orang yang ingin mengejar jabatan. Sebab memang ketika menjadi pejabat ada begitu banyak otoritas yang bisa dipergunakan. Menjadi pejabat tidaklah salah, jika memiiliki niat yang baik. Niat yang membangun dan menyejahterahkan rakyat. Sebab terkadang ketika dia sudah mendapatkan jabatan dia lupa bahwa dia adalah seorang pemimpin. Yang selayaknya memimpin anggota-anggota yang ada dibawahnya kejalan yang benar. Bukan malah menjadi contoh yang tidak baik.

Guru dan dosen adalah salah satu jabatan yang diemban oleh seseorang. Juga sekaligus menjadi pemimpin akademik setiap mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah tersebut. Tak jarang para guru maupun dosen yang notabene adalah pendidik, "bermain". Dalam artian mengambil keuntungan di kala ada kesempatan.

Mendengar banyaknya keluhan dari rekan-rekan yang pernah mengecap dunia pendidikan tinggi sekarang ini, ditambah pengalaman pribadi penulis di beberapa puluh tahun yang lalu, ternyata tidak beda pola-pola yang diterapkan. Hal itu akan sangat terasa sekali ketika akan segera mengakhiri masa-masa pendidikan, yakni menjelang proposal hingga akhirnya ujian meja hijau.

Banyak para dosen ataupun pengajar yang akan bertingkah layaknya seperti seorang dewa. Yang berhak memutus apakah mahasiswa ini yang oke deal dan yang ini masih dalam daftar antrian. Artinya ketika si mahasiswa tidak mau menuruti keinginan para dosen pembimbing yang terkesan semena-mena dan memaksakan, niscaya karya tulis ataupun tesis-nya akan mengalami banyak kemandekan. Apalagi ketika itu berbau yang namanya uang. Seakan-akan uang menjadi pelicin kegiatan akademik supaya cair suasana dan hati para dosen dalam membimbing dan mengarahkan.

Ketika si mahasiswa turut akan pusaran keinginan para dosen, yang tak jarang juga mengajak untuk bimbingan di cafe-cafe terkenal, atau tempat-tempat hiburan dan menyenangkan, pastilah karya tulis ataupun tesisnya bisa cepat selesai. Cerita dari beberapa teman yang sempat share kesaya. Meskipun aku tidak mendapatkan pengalaman itu dulu.

Kalau ceritaku beda. Ketika sudah selesai seminar proposal, si dosen penguji yang kebetulan sudah profesor, menyatakan bahwa proposalku harus diganti. Kemudian ketika aku bertanya bagian mana yang mau diganti. Dia menegaskan semua. "Apanya bu?", kucoba untuk mempertegas lagi. Panjang dan lebar cerita dan penjelasannya tidak masuk akal, tapi ujung-ujungnya ternyata dia meminta sejumlah uang kepadaku. 

Keinginan si Ibu profesor tersebut tidak kuikuti dan dia akhirnya tetap kepada keputusannya untuk segera menggagalkan aku. Kebetulan kemarin pengujiku ada tiga, yang dua dosen ini menyatakan tidak perlu diganti, cukup menambahkan sejumlah materi dan cukup. Aku menyelesaikan apa yang kurang dan mereka akhirnya mempersilahkan dan menandatangani berkasku untuk lanjut ke tahap penelitian.

Kemudian atas dorongan dan nasehat dosen pembimbingku, untuk segera menemui sang ibu profesor. Menjelaskan bahwa dosen penguji yang lain sudah Acc atau oke dan menunjukkan tanda tangan mereka, kemudian pada akhirnya diapun turut menandatanganinya.

Masalah klasik dalam dunia pendidikan kita adalah uang. Baik uang penghargaan, uang kebersamaan, uang ujian sidang (untuk konsumsi para penguji), uang bingkisan karena sudah mendidik. Yang notabene itu tidak terdapat dalam peraturan kampus, mewajibkan seluruh mahasiswa untuk harus terlibat dalam praktek-praktek seperti itu.

Menyatakan bahwa ini adalah keputusan bersama dengan para mahasiswa lainnya. Di mana ketika kita tidak ikut dalam kesepakatan mereka, pastilah kita akan diasingkan sekaligus dizolimi. Penekanan mereka yang paling tampak adalah menurunkan hasil ujian kita. Yang seharusnya mendapatkan nilai A  akhirnya hanya mendapatkan nilai B. Itupun masih mending. Bagaimana jika digagalkan? Sulit untuk dibayangkan bagaimana kisah kelanjutannya.

Ada beberapa kejanggalan lagi yang tampak jelas di mata penulis saat ini, hal ini perlu disorot supaya bisa diperbaiki kedepannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun