Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

King Bakery Mardin

23 Oktober 2019   16:25 Diperbarui: 23 Oktober 2019   17:12 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

"Warna kulitnya putih atau hitam?"

"Aku buta warna." Omar  tergopoh-gopoh meninggalkan polisi yang tiba-tiba marah sambil mengacungkan pentungan. Mungkin dia merasa dipermainkan.

Omar menelusuri lorong itu sampai ke ujung. Dia bertemu jalan besar. Nun di sana si rambut pirang berjarak hampir seratus meter lebih. Dia seperti sangat kecapekan. Jalannya letoy. Atau mungkin dia yakin tak akan dikejar pemilik toko yang berbadan tambun itu. Kurang ajar dia. Dulu Omar pernah menjadi atlet lari. Tapi tak lagi setelah berjualan roti. Karena roti telah salah mengajarinya, bagaimana cara terbaik menjadi tambun.

Omar berjalan pelan, semakin pelan. Begitu dia melihat maling kecil itu masuk ke dalam sebuah lorong, dia mempercepat langkah. Jangan sampai dia kehilangan mangsa empuk itu. Sudah lama rotan peninggalan ayahnya kehilangan marwah sebagai pelecut. Terakhir kali sekian puluh tahun ketika Omar junior sedang belajar mengaji, rotan itu bertugas memukul telapak tangannya karena lupa hafalan huruf hijaiyah. Entah sekarang rotan itu sudah lapuk, Omar tak tahu. Tapi amarahnya melebihi lecutan rotan. Dia merasa dipermainkan seorang anak kecil.

Ukuran lorong begitu sempit. Tubuh tambun Omar harus dimiringkan. Dia menahan napas.  Si pirang itu tertunduk-tunduk memasuki rumah yang hanya bisa disebut tumpukan kardus. Bila si pirang itu lengah, Omar akan menangkapnya. Dia tak akan bisa lari ke mana-mana. Lorong itu buntu!

"Bangun, Ayah." Omar mengangguk-angguk. Ternyata maling juga memiliki ayah, bukan hanya penjual roti.

Dia melihat seorang tua perlahan keluar dari tumpukan kardus. Dia meraba-raba. Sepertinya dia buta.

"Ini kau, Akram?" Lelaki itu ternyata cuma buta. Dia bisa berbicara.

"Iya, Yah. Senja ini Ayah makan roti enak." Si Akram menyuapkan potongan roti ke mulut ayahnya.

"Ini kau curi lagi, ya." Ayahnya memuntahkan roti itu.

"Ayah lupa. Ini kan seperti roti-roti yang Akram bawa sebelumnya. Akram tidak maling. Akram cuma minjam. Nanti kalau uang Akram cukup, roti ini dibayar juga."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun