Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Balada Rantang

22 Oktober 2019   15:47 Diperbarui: 27 Oktober 2019   15:57 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: icomarket.club

Ondo menyebutkan nama seorang selebiritis papan atas. Sebenarnya jauh panggang dari api. Aku ingin tertawa dua kali; kwak, kwak. Namun menertawakan orang itu suatu kejahatan. Maka saya hanya diam ketika dia mulai buka suara tentang Prita.

Oh, ya. Prita adalah orang baru di Gang Wifi. Cantiknya tak perlulah saya jelaskan. Pokoknya selangit. Tubuhnya tak perlu saya uraikan. Bisa membuatmu seperti berada di daerah gempa saat melihatnya. Apa salahnya Ondo menaksir perempuan itu? Aku hanya tak ingin Ondo kecewa kalau harapannya tak sesuai kenyatan. Bik Sum yang bekerja di sebelah rumahnya saja, pernah menolak cinta kawan satu ini. Apalagi seorang Prita.

Sumber ilustrasi: www.brilio.net
Sumber ilustrasi: www.brilio.net
"Apa kau yakin dia cinta juga kepadamu?

"Jelas cinta. Katamu, hidup ini harus optimis. Gemuk bukan kejelekan. Ceritamu juga, bahwa ketampanan itu relatif. Seorang kawanmu yang hitam legam, eh, ternyata menikah dengan bule putih kinclong. Hidup harus optimis!" Dia mengepalkan tangan bersemenangat.

Ternyata lima hari kemudian terjadi sesuatu yang ajaib. Ondo memelukku. Dia tertawa bahagia. Tak ada angin tak ada hujan, Prita bertandang ke rumah Ondo. Dia membawa empat tingkat rantang.

"Hebat sekali!" Aku berdecak kagum. Apa temanku ini memiliki pelet super manjur, hingga berhasil mendatangkan Prita? Aku sendiri ---andai masih bujangan--- tak yakin bisa mendatangkan perempuan itu ke rumahku. Jangan mendatangkannya, melirikku saja sudah syukur. "Selamat, ya," ucapku meski merasa dikalahkan.

Begitulah, dari hari-hari kedekatan mereka bagai prangko dan amplop. Tapi satu yang mengherankan, badan Ondo tiba-tiba merangkak naik. Hal ini kutanyakan kepada kawan ini. Dan ternyata setiap berkunjung ke rumah Ondo, Prita selalu membawa empat tingkat rantang. Mereka berdua makan bersama. Sebagai mantan chief, tetap saja lelaki ini rewel soal rasa makanan.

"Bisa-bisa badanmu meletus kalau makan terus, Ondo!" tegurku suatu hari. Tapi dia seolah tak perduli. Di bulan kedua dekat dengan Prita, lelaki ini datang ke rumahku dengan wajah kusut. Dia meletakkan seamplop uang. Apakah yang telah kulakukan padanya, hingga jasaku harus dia bayar? Apakah ini wujud syukur karena mereka sudah pacaran?

Saya memeluk dia dengan bahagia. Anehnya, yang dipeluk malahan menangis. Aku heran, dan mengorek cerita mengapa dia menangis. Dengan tersedu-sedu Ondo menjelaskan, Prita itu sudah bersuami. Dia memiliki rumah makan baru di bilangan sudut kota. Agar memikat pembeli, peraturan utama ialah, makanan yang disediakan harus enak.

"Kau tahu maksduku?"
"Masih bingung!"

"Begini, dia tahu aku seorang mantan chief. Jadi, selama ini dia mendekatiku hanya sebagai tester, sekalian mendengar saranku apakah yang perlu ditambah atau dikurangi agar makanan yang dia bawa enak. Hasil saranku itulah membuatnya bahagia. Pembeli di rumah makannya bejibun. Itulah dia membayar jasaku dengan seamplop uang ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun