Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tukang Sulap

17 Juli 2019   11:36 Diperbarui: 29 Juli 2019   15:54 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiba di rumah, ayah menghempaskan saya ke sofa tanpa busa. Tulang ekor rasanya menjadi tumpul. Setelah dia pergi, mak menyorongkan piring berisi sambal taruma. Tanpa nasi karena belum masak. Saya pura-pura bernafsu makan kripik itu. Padahal saya kenyang bukan buatan. Sate Marnambur memang  pintar memadatkan perut, sehingga kerasnya sama dengan lutut.

Tiba-tiba saya teringat Leder. Mungkinkah dia berhasil dihilangkan tukang sulap? Atau dia hanya dijemput keluarganya tanpa permisi kepada saya. Keputusannya saya akan jumpai lusa. Jika dia tak masuk sekolah, artinya ayah tak meracun otak saya, melainkan memoleskannya madu. Tukang sulap bila dia mau, pasti bisa menghilangkan penonton!

Hari Senin tiba, batang hidung Leder tak kelihatan. Hari Selasa juga. Saya seketika menjadi anak penurut. Selalu cepat pulang ke rumah selepas sekolah. Saya akan mendekam di kamar sambil membaca komik. Atau membantu mak mengasih pakan bebek. Atau membantu ayah menyadap pohon para. Kata ayah kalau hasil getah banyak dan harganya tinggi, saya pasti beroleh sepeda BMX sebulan berikutnya.

Saya menjadi anak yang semakin penurut. Setiap hari pekan, ketika saya melintas di dekat pohon mahoni, dengan kerumunan orang mengepung tukang sulap, saya akan meninggikan hidung. Huh, tukang sulap! Mereka penculik anak-anak.

Sebelum saya lupa, akan hal menghilangnya Leder, baru saya tahu dari mulut ayah sebulan kemudian. Ayah si Leder itu preman terminal. Mungkin karena berebutan lahan objekan, ayahnya berhantam dengan preman lain pada saat saya dan Leder menonton atraksi tukang sulap. Ayahnyalah yang membawa teman saya itu secara diam-diam minggat ke kota. Mestikah saya percaya? Sama sekali tak! Saya tetap yakin tukang sulap telah menghilangkannya.

***

Tiga puluh tahun kemudian saya menjadi akuntan di sebuah perusahaan besar. Saat hendak membayar pajak di gedung berlantai lima, Tuhan sengaja mempertemukan saya kembali dengan Leder. Dia kepala di gedung itu. Sempat saya ingin bertanya  kisah dia dihilangkan tukang sulap, tapi tak jadi. Pintu ruangannya sangat cepat menghisap saya, dan mendudukkan saya di sofa yang amat empuk.

Selain seorang kepala di kantor pajak, dia juga mempunyai usaha inti. Siapa yang tak kenal kontraktor nganu yang menguasai kota ini? Sekarang saya baru tahu dia adalah direkturnya.

"Kenapa kau bisa bekerja di sini, Leder?" tanya saya.

"Semua usaha bisa disulap, Bahron" Dia tertawa. Saya tersentak. Apakah tukang sulap berhasil menghilangkannya? Mungkin mereka menculiknya! Dia pasti diajari trik-trik sulap. Sekarang dia benar-benar kaya.

"Kau sudah menikah?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun