Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rei

25 Mei 2019   13:40 Diperbarui: 25 Mei 2019   13:55 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Ayo, menolehlah ke arahku sebentar. Sebentar saja agar aku yakin kau menaruh hati kepadaku. Oh, Tuhan. Ternyata lelaki jangkung itu tak menoleh sekejap pun. Langkahnya tetap terburu mengikuti anjingnya yang berjalan sama terburunya.

Dia sudah hampir seminggu ini melintas di depan rumahku. Pagi-pagi ketika matahari menyembul, dia muncul dengan stelan yang sama. Kaos putih berlengan panjang, celana sport, sepatu kets dan kaos kaki kedodoran, juga kacamata hitam. 

Suatu hari aku berpikir apakah dia buta sehingga tak pernah menoleh ke arahku, meskipun aku mencoba menarik perhatiannya dengan gayaku yang feminin sampai mungkin terlihat norak dan memualkan. Nyatanya, dia tak buta. Ketika suatu pagi berpapasan dengan Messy yang cantik dan bertubuh seksi, lelaki itu langsung berhenti terburu-buru. Dia berbincang sebentar dengan Messy, kemudian mereka berjalan bersama-sama sambil tertawa. Entah apa yang mereka tertawakan, aku tak tahu. Atau, mungkinkah mereka menertawakan aku yang seperti pungguk merindukan bulan?

"Kamu cantik kok!" kata mama ketika aku ingin menilai penampilanku. Tapi aku tahu mama hanya berbohong. Mataku memamg indah, wajahku juga lumayan menarik menurutku. Tapi badanku tak mendukung. Aku terlalu gemuk. Lelaki paling tak senang dengan perempuan gemuk. Tapi apakah aku salah bila ingin bersanding dengannya lelaki itu meski sebatas pacar?

* * *

Matahari begitu ramah menjamah halaman rumah. Bunga-bunga mawar bermekaran. Seekor rama-rama terbang mengitari bunga itu. Hinggap sebentar, kemudian terbang mendekati rama-rama lain yang mendekatinya. Kemudian keduanya pergi meninggalkanku yang duduk sendirian. Bersedih. Sebab sampai detik ini, lelaki yang sering melintas di jalan itu, belum memunculkan batang hidungnya. Ke manakah dia? Sakitkah? Atau dia sudah pindah ke negeri antah-berantah?


Ini semua salahku! Aku terlalu pasif. Aku tak agresif mendekatinya. Misalnya sambil menyapa, selamat pagi! Mau ke mana? Rumah anda di mana? Maukah berteman denganku? Bisa meminta nomor telepon anda? Tapi aku hanya pungguk yang tak berbuat apa-apa. Aku hanya melihatnya dari jauh, lewat begitu saja, kemudian dia sama sekali tak muncul pagi ini.

Seorang perempuan yang membawa barang belanjaan di dalam keranjang yang super gede, membuka pintu pagar. Dia menoleh ke arahku. Dia tersenyum. Tanpa banyak berkata, dia langsung masuk ke belakang rumah. "Sudah sarapan, Cim?" tanyanya. Aku melengos. Aku mendengar dia memasuki tempat cucian piring. Dia bersenandung, ditingkahi bunyi piring dan gelas saling beradu.

Saat aku termangu, tiba-tiba pintu pagar berbunyi. Aku melihat ke sana. Seorang perempuan seumuran Messy masuk menuju halaman rumah, disusul oleh seorang lelaki yang sudah lebih seminggu ini memenuhi mimpiku.

"Ini rumahmu, An?" Si Lelaki bertanya. Kali ini dia tak berkacamata hitam sehingga aku bebas menatap matanya yang cemerlang. Mata itu liar melihat ke sekeliling rumah. Sepintas dia menatapku, tapi langsung membuang muka.

"Iya! Kenapa? Sudah pernah ke mari, ya?" Perempuan yang dipanggil An itu menghentikan langkahnya. Dia duduk berselonjor di teras rumah. Lelaki itu berbuat serupa. Perempuan yang barusan beramah-tamah denganku tentang apakah aku sudah sarapan atau belum, muncul dari istananya; tempat cucian piring. Dia buru-buru masuk ke dalam rumah. Kemudian membawa senampan makanan lengkap dengan dua gelas susu yang masih mengebul.

"Iya! Sudah seminggu ini aku melintas di sini, An! Kok aku tak pernah melihatmu? Kau ke mana saja? Ke negeri planet?" Lelaki itu tertawa. An merengut. Tapi ketika menikmati makanan dan susu di gelas itu, wajahnya kembali cerah. Dia bercerita bahwa memang hampir sebulan dia melanglang buana meninggalkan rumah. Penyebabnya yang pasti adalah aku. Kata An, ayahnya membawaku ke rumah ini tanpa ijin darinya. Padahal An mengaku sangat membenci aku.

Aku terkejut. Bagaimana An sanggup menghinaku demikian di depan lelaki yang kuagung-agungkan? Baru hari ini aku melihat An, tapi dia telah membuatku sakit hati. Padahal Bob, lelaki yang dipanggilnya ayah itu, sangat menyenangiku. Bahkan dia mewanti-wanti agar perempuan yang membawa keranjang super gede itu menjaga kesehatanku. 

Memang aku adalah pendatang baru di sini. Katakanlah pungutan dari pasar sana. Namun An tak seharusnya membenciku. Dia mungkin anak kandung Bob, hanya saja sikapnya jangan angkuh begitu. 

"Hai, baru kali ini aku melihatnya!" Lelaki itu berdiri. Dia mendekatiku. Orang yang aneh. Berarti selama ini dia tak pernah memperhatikanku. "Lumayan cakap!" Dia menatapku takjub. Aku merasa kelimpungan. Aku ingin mengatakan cinta kepadanya. Aku ingin memeluknya erat-erat dan tak membiarkannya lepas. Namun keinginan itu kubuang jauh-jauh. Aku tak ingin kecewa jika kelak dia tak tulus memujiku. Jika kemudian aku hanya bertepuk sebelah tangan.

"Rei, sudahlah! Masuk ke dalam rumah saja. Aku tak ingin  bertemu ayah. Aku hanya mau mengambil beberapa lembar gaun dan kembali ke rumah Om Panusi." An bergegas ke dalam rumah. Lelaki yang ternyata bernama Rei itu mengekorinya, sementara aku hanya merutuki diri sendiri. Kenapa di waktu yang tepat tadi aku tak langsung mengatakan jatuh cinta kepadanya?

"Aku cinta dia! Aku cinta dia!" jeritku.

Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Perempuan yang membawa keranjang super gede tadi langsung menghambur muncul sambil mesem-mesem. Bergegas didorongnya pintu pagar, membiarkan mobil itu masuk. Aku tahu di dalam mobil itu ada Bob. Aku ingin mengadu kepadanya tentang An yang menjengkelkan, tentang Rei yang kucintai setengah mati.

"Hai, Cim! Sehat-sehat saja?" sapanya.

"Aku benci An! Aku benci An!" jeritku.

"Anna maksudmu? Anna anakku? Apakah dia sudah kembali?"

"Aku benci An! Aku benci An!"

Bob tiba-tiba menjerit kesenangan. Dia meneriakkan nama anaknya. Melompat-lompat seolah pesepakbola berhasil menjebol gawang musuhnya. Kemudian dapat dipastikan suasana di dalam. Meriah! Orang-orang yang aneh! Orang-orang gila!

Sekonyong Rei muncul. Dia mengedipkan mata ke arahku. Kemudian Bob dan Anna muncul. Bob merengkuh bahu anaknya itu erat-erat. Oh, aku merasa akan kehilangan seseorang yang menyayangiku.

"Maafkan bapak ya, Cim! Karena Anna tak suka kepadamu, maka sebaiknya kau ikut dengan Rei saja. Dia sangat suka melihatmu. Ibumu boleh ikut serta," kata Bob. Aku merasa melambung ke angkasa. Aku ingin meneriakkan syukur yang tiada terhingga banyaknya kepada Tuhan.

"Aku cinta kamu! Aku cinta kamu!" Akhirnya plong sudah dada ini melepas perasaan yang selama ini kusembunyikan.

Rei tertawa keras-keras. Dia kesenangan teramat sangat. Katanya, "Burung beo yang pintar!"

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun