Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Negeri Gargara

9 Februari 2019   23:27 Diperbarui: 9 Februari 2019   23:35 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ref. Foto : pixabay

Kapal Barbara berbobot mati sekitar 1.200 ton ini telah mengangkat jangkar dan meninggalkan Pelabuhan Holy. Aku, dan pasti seluruh penghuni kapal besar ini berharap demikian, bahwa tujuan kami suci demi membantu korban peperangan, seperti halnya nama pelabuhan yang lambat tapi pasti itu mulai mengecil hingga membentuk noktah. Langit benar-benar cerah. 

Matahari terang-benderang, dan burung-burung camar beterbangan mengikuti arah angin. Semoga juga perjalanan seluruh penghuni kapal ini cerah. Tak ada awan hitam yang menghalang. Semua lancar-lancar sampai di tujuan. Kami akan memberikan segala sumbangsih demi mereka yang kesusahan dan melarat digerus peperangan.

Selintas aku teringat Hayati, istriku. Sedang apa dia kini? Sekian jam lalu dia menelepon supaya aku hati-hati di perjalanan. Jangan lupa mengingat Allah. Pun dia ingin aku kelak pulang seperti keadaanku saat berangkat. Anakku yang beranjak remaja itu, juga mengingatkan bahwa tahun depan dia akan mengikuti pentas teater bersama teman-temannya. Aku diharapkan sempat menonton bagaimana piawainya dia memerankan sang tokoh. 

Ach, langsung kutepis bayang-bayang mereka! Aku harus kuat, tegar. Aku tak boleh cengeng. Perjalanan ini tak seberapa dibandingkan jika aku harus terjun ke medan perang. Aku hanya menjadi seorang sukarelawan. Insinyur tehnik sipil, yang diharapkan di lokasi perang  bisa membantu merehabilitasi kerusakan di negeri itu; Negeri Gargara. Tentu tak akan ada yang mencoba melukaiku. Juga pasukan musuh dari negeri Rael yang barbar itu. Aku dilindungi oleh PBB. Menggangguku sama saja mengganggu badan yang mengayomi seluruh negera di dunia ini.

Kumasukkan pakaianku ke rak baju, lalu merebahkan tubuh di atas kasur yang berseprei kasar. Aku sekamar dengan lelaki gemuk yang selalu tersenyum, seolah perjalanan ini baginya adalah tamasya. Dia berusia sekitar empatpuluh enam tahun. Lebih tua dua tahun dibandingkan aku. Sejak aku masuk ke kamar kami sekian menit lalu, dia masik asyik membaca buku sambil rebahan. 

Dia juga mengenakan walkman, sehingga kedatanganku tak mengusiknya. Tapi ketika dia tak sengaja menoleh ke arahku, segera dihentikannya kegiatan membaca itu. Diletakkannya buku di atas kasur. Walkman dilepaskan dari telinga, kemudian dia duduk menghadapku.

"Anda berasal dari negara mana?" Dia bertanya. Kujawab dari Indonesia. "Dokter, ya?" Lagi dia bertanya. Kujawab bukan. Aku seorang insinyur teknik mesin. Dia hanya menyambut dengan tawa. Entah apanya yang lucu, aku sendiri tak tahu. Mungkin sejak lahir dia sudah ditakdirkan suka tersenyum dan tertawa.

Saat dia kehabisan kata, aku menanyakan asalnya darimana. Dia menjelaskan dari Irlandia. Seorang Katolik tulen. Aku sejenak terkejut. Dia menanggapinya lekas-lekas sambil berkata, "Kenapa anda harus heran? Meskipun Negeri Gargara itu rata-rata muslim, toh aku tak mau mencampuradukkan urusan ini dengan hal-hal keagamaan. Aku hanya ingin menyelamatkan mereka yang tertindas."

Dia, tanpa kuminta, menceritakan tentang kelurganya. Dia duda dengan dua anak. Istrinya  pergi dengan lelaki lain, entah ke mana dan untuk tujuan apa. Profesinya sebagai dokter. Sepintas aku menganggap kepergiannya menjadi relawan ke Negeri Gargara sekadar menimbun duka ditinggal istri. Tapi dia menguatkan kepercayaanku, bahwa dia ikut dengan rombongan sukarelawan adalah demi kata hatinya. 

Dia merasa kasihan mengapa negeri yang seharusnya diayomi, selalu dipenuhi intrik-intrik dan pecahnya pembuluh darah tersebab serangan mortir. Dia iba, seharusnya orangtua, perempuan dan anak-anak, dibiarkan bebas berkeliaran di tanah yang tak pernah tidur dari peperangan itu. Tapi semuanya tetap dianggap sama. Mereka juga manusia yang harus dipites mati, seperti memencet kutu rambut dengan ujung kuku jari tangan.

Dia menanyakan tentang keluargaku. Kujawab aku memiliki seorang istri yang sakinah. Aku tak tahu padanan kata terbaik dalam Bahasa Inggris. Jadi, kukatakan saja istriku cantik dan baik hati. Dia berjilbab. 

Ternganga juga lelaki yang akhirnya menyebutkan namanya Paul itu. Baginya istri yang baik itu langka. Tak seperti istrinya yang maniak seks dan maunya menang sendiri. Katanya, aku patut bersyukur. Kukatakan pula kalau anakku sekarang sudah remaja. Dia perempuan termanis dalam hidupku, kecuali istriku tentu. 

Sesaat mataku basah. Ingatanku menambat dua perempuan yang sekian lama telah mengisi relung hati ini. Ada ketakutkan menjelma. Adakah aku akan kembali ke hadapan mereka, atau akhirnya menuju haribaan Allah sebagai syuhada?

"Anda menyesal menjadi sukarelawan, Mr. Haji?" Namaku sebenarnya Parulian. Tapi karena aku senang mengenakan peci haji berwarna putih terang---meski aku belum pernah menginjak tanah suci Mekkah---dia merasa cocok memanggilku demikian. 

Dia pernah membaca buku tentang Islam dan kebudayaannya. Bahwa para lelaki yang memakai topi haji, sudah bisa dipastikan seorang haji. Padahal kenyataannya bukan seperti itu. Siapa saja berhak mengenakan peci haji. Hanya orang-orang di Indonesia yang senang menciptakan pengkotak-kotakan status orang sehingga kedengaran janggal dan mengelikan. Ah, maaf, aku terlalu jauh melantur.

"Tidak, Mr. Paul? Saya tak menyesal menjadi sukarelawan. Hanya saja saya tiba-tiba  mengenang dan kangen kepada istri dan anak saya," kilahku.

"Itu hal yang wajar, Mr. Haji." Dia turun dari tempat tidurnya. Sebotol minuman bermerk Scocth diambilnya dari lemari pakaiannya. Berikut dia mengambil dua gelas mungil. Tapi buru-buru kukatakan aku tak meminum minuman beralkohol. Akhirnya dia meletakkan dua gelas mungil itu di atas kasurnya. Dia menenggak langsung minuman itu dari botolnya.

Kami menjadi sangat akrab. Saat panggilan makan siang berbunyi, kami langsung turun ke ruang makan. Di situ kami semeja dengan orang Turki dan Amerika. Mereka orang-orang yang baik. Mereka memiliki naluri yang sangat kuat demi membela manusia yang tertindas. Seandainya saja semua manusia seperti kami, barangkali tak akan ada perang lagi. 

"Sebenarnya perjalanan kita melewati laut menuju Negeri Gargara, sangat mengundang bahaya. Saya takut sewaktu-waktu Rael menyerang dari kegelapan. Mereka akan menembaki kita. Mereka akan menenggelamkan kapal kita," kata lelaki dari Amerika itu. Dia memperkenalkan diri sebagai seorang dokter seperti Paul. Namanya George. Sejenak aku menganggap ucapannya hanyalah basa-basi semata. Bukankah dia salah-seorang warga dari sebuah negara yang paling senang membantu orang zolim seperti Rael itu?

Tapi kubunuh prasangka ini. Tak baik berpikir yang buruk-buruk tentang George. Negaranya boleh dicap bangsa-bangsa lain---terutama bangsa dari negara yang mayoritas penduduknya muslim---sebagai negara yang paling senang menciptakan keabadian sebuah peperangan. Hanya saja George lain. 

"Yakinkah kalian kita sampai di tujuan dengan selamat dan bisa mendarmabaktikan ilmu dan jasmani kita?" Orang Turki itu menimpali. Sedari tadi dia hanya terdiam karena terlalu asyik menikmati roti gulung berisi daging. Aku juga memberinya ekstrak wedang jahe merah. Begitu diseduhnya dengan ai panas, katanya seperti mendenyarkan semangat berjuang.

"Saya yakin!" jawabku.

"Meskipun Rael itu memiliki perilaku ganda? Sang psikopat!" George tertawa mengejek. "Saya tahu benar sifat buruk orang Rael. Bertahun-tahun saya bergaul dengan mereka. Jadi, bisa saja keberangkatan kita diganggu oleh mereka."

"Tapi kita kan netral!" Paul menatap George dalam-dalam.

"Orang Rael tak memiliki hati dan otak. Mereka berbuat sekehendaknya saja."

Kami akhirnya menyudahi bincang-bincang hangat itu. George dan si Turki pergi ke kamarnya, begitu juga Paul. Sementara aku memutuskan berdiri di buritan kapal sambil melihat ombak yang berlarian menjauh ke belakang. Ha, aku tak faham apakah laut memiliki depan dan belakang! Matahari terasa menggigit. Langit tetap cerah. Sekian jam lagi kesejukan pasti datang, membuat cuaca remang. Hampir jam dua sore.

Sesaat aku seperti melihat air laut di lambung kapal menjelma gurun pasir. Beberapa panser Rael melintas. Pemuda-pemuda Negeri Gargara menghadang dengan dada membusung. Anak-anak remaja tanggung menggenggam batu, lalu melemparkannya ke tubuh panser yang kokoh. 

Oho, adakah kekuatan batu melawan baja? Tak! Tapi semangat yang mengiringinya bisa mengalahkan panser yang terbuat dari baja, bahkan dari titanium sekalipun. 

Panser merangsek ke depan, membabi-buta melontarkan peluru. Pemuda-pemuda menghindar, berlari ke balik batu-batu menjulang. Anak-anak remaja tanggung meneriakkan jerit kemenangan. 

Tapi peluru benar-benar tak bersahabat. Tak hanya anak, pemuda, orangtua, perempuan-perempuan renta, semua dibabat habis seperti menerbas lalang dengan sabit yang amat panjang. Semua lebur merebah gurun, sehingga dadaku mendidih. Emosiku bagaikan gemuruh helikopter yang menanti saat tepat menjatuhkan rudal dari bawah perutnya.

Gemuruh helikopter? Aku tersadar. Gurun kembali menjelma laut. Tapi gemuruh helikopter tetap nyata. Capung raksasa itu muncul dari barat mendekati kapal kami. Seingatku helikopter tak termasuk dalam daftar kendaraan sukarelawan. Lagipula helikopter itu datang dari arah berlawanan. Pertama satu, kemudian dua. Tiga, empat. Aku melihatnya seperti keanehan yang membesar menjadi bencana. Jadi kuyakinkan hati bahwa helikopter-helikopter itu kendaraan utusan PBB, bukan musuh dari bangsa Rael.

Tapi aku salah. Seorang awak kapal menyuruhku tiarap. Kemudian suara peringatan dari kabin nakhoda bahwa pasukan berhelikopter itu adalah bangsa Rael. Sempat dilakukan kontak, tapi jawaban yang didapat hanyalah ancaman. 

Aku belum bisa menenangkan perasaan, tiba-tiba peluru memancar-mancar dari langit. Seperti kembang api di malam tahun baru. Seluruh penghuni kapal Barbara panik. Semua berlarian keluar. Semua tiarap. Aku sempat melihat Paul. Dia gelagapan. Sebutir peluru mungkin telah menyerempet tubuhnya. Baju putihnya kelihatan memerah. Ya, Allah, apa yang terjadi?

Menggemuruhnya helikopter semakin menciutkan nyaliku. Orang-orang di helikopter---sepertinya memakai pengeras suara---mencak-mencak tak karuan. Aku tak faham apa yang mereka ucapkan. Tapi aku faham apa yang segera mereka lakukan. Tak lain membumihanguskan kami, setelah puluhan tahun nenek moyang mereka tak kenyang-kenyang membumihanguskan Negeri Gargara beserta isinya. 

Sepatu-sepatu lars pun seperti hujan menghantam lantai kapal. Orang-orang itu bagaikan Tarzan turun dari tali permainannya. Lalu keganasan demi keganasan dipertontonkan, sehingga dalam tiarap aku mencoba membenamkan wajah ke lantai kapal, dan menutup mata rapat-rapat. 

Tapi aku tak bisa. Kepalaku tetap terangkat, menatap lurus melihat perlakuan kebinatangan itu. Mataku tetap membelalak seolah kelopaknya diganjal memakai batang korek api. Beberapa kali teriakan kasar. Beberapa kali hantaman lars dan popor senapan. Bahkan bagi yang menantang, diberikan hadiah peluru panas yang menembus dada sampai ke tulang belikat. Sungguh pembantaian yang mabuk keserakahan!

Aku ingin memfoto kejadian ini. Tapi bagaimana mungkin? Selain kameraku ada di kamar, memfoto kebiadaban bangsa Rael itu, sama saja aku menodongkan senjata kepada mereka. Ya, Allah, mereka benar-benar tak mau membedakan mana musuh, dan mana kaum sukarelawan.

Seorang lelaki mendekatiku. Dia bertanya kasar dengan bahasa bar-bar. Tapi aku bungkam. Aku tak faham, sehingga di benar-benar membungkamku dengan bogem mentah yang menghancurkan hampir empat gigi depanku. Seorang lagi datang menendang persis di lobang pantat yang bersambungan dengan alat kelaminku. Dunia kurasakan berputar. 

Kuyakinkan diri, bahwa kejadian ini akan kukabarkan ke seluruh dunia. Aku juga mengajak seluruh bangsa di dunia ini bersatu-padu melawan Rael, bukan dengan kata-kata, tapi kekuatan nyata dan senjata.

Tapi sanggupkah aku mewujudkannya?

Seketika tenang. Orang-orang itu kembali naik ke helikopter melalui tali yang berjuntai-juntai itu. Aku berharap keadaan kembali seperti semula, setelah puluhan mayat tak berdosa bergelimpangan, buah dari kesesatan jiwa yang tak terampuni dari bangsa Rael. Hanya saja ketenangan itu ternyata adalah pintu menuju kiamat kecil. Sebuah benda dijatuhkan dari helikopter menghantam lambung kapal Barbara. 

Menghantam geladak. Menghantam kabin nakhoda. Kemudian ledakan susul-menyusul memporak-porandakan beberapa mayat menjadi serpihan daging. Kapal Barbara berbotol mati 1.200 ton itu oleng. Air laut masuk memerkosa seluruh ruang kosong. Kapal semakin oleng. Kemudian tenggelam, dan hilang sama sekali. Aku tak dapat mengingat apa-apa selain berpikir untuk memegang sekeping papan pecahan lambung kapal yang akan membawaku entah ke mana. Entah untuk siapa!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun