Mohon tunggu...
Rezana Wahyudi
Rezana Wahyudi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Sekolah Tak Mendidik Anakku

6 Agustus 2017   13:00 Diperbarui: 6 Agustus 2017   13:12 1679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajib Belajar dan dididik

(Terinspirasi dari penuturan sorang teman karibku)

* Anak senantiasa disinari harapan orang-tuanya demi kehidupannya yang terbaik, yang ideal, yang bagi orang-tua kini sudah tak mungkin lagi untuk dirambahnya. Tentu saja semua orang-tua berharap anaknya lebih maju menurut ukuran dari pengalaman hidup mereka. Dan bagaimana berkas sinar harapan itu kelak menjadi bintang yang berkilau, maka  jalur pendidikan melalui sarana sekolah adalah media (wasilah) yang dianggap paling efektif untuk meraih harapan terbaik itu.

**Cerita dimulai.

Anakku adalah anak yang termasuk subur tumbuh kembangnya. Sejak ia lahir kebutuhan nutrisinya telah cukup terpenuhi. Ia pun senantiasa disiram dengan cinta, kasih-sayang, dan norma-norma kehidupan yang (mestinya) lebih terarah dibanding yang kami (orang-tuanya) alami dulu. Dan hasilnya potensi alaminya tumbuh dan berkembang tanpa banyak hambatan yang mengkhawatirkan. Prestasinya di sekolah dasar (SD) sangat memuaskan. Mata kami dibuatnya sejuk, kebahagiaan yang kami rasakan adalah berkah yang patut kami syukuri sebagai nikmat Allah yang nyata.

Anakku baru kelas 4 SD di Bandung ketika kami pindah tugas ke Banjarmasin tahun 2009. Tentu saja anak harus dibawa pindah, dan terus bersekolah dimana pun kami menetap di negeri ini. Dan memang selalu perlu penyesuaian dengan lingkungan kultural yang berbeda. Tapi itu tidak menjadi kendala selama anak menerima sosialisasi yang nilai-nilainya (secara substantif) relatif sama (walau berbeda bahasa). Apalagi didukung oleh standar sarana dan materi (kurikulum) pendidikan yang merata di Indonesia (terutama untuk sekolah negeri). Dan mestinya memang demikian bahwa pemerataan dalam (menyediakan) sarana pendidikan adalah hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah.

Dua tahun pun berlalu, anak kami lulus SD tahun 2011 dengan hasil sangat memuaskan (ranking pertama). Pada tahun itu pula ia melanjutkan ke jenjang SMP. Dalam satu semestar pertama prestasi yang diraihnya masih di kisaran rata-rata. Di SMP itu ada program akselarasi yang bisa diikuti oleh setiap siswa yang masuk kualifikasi dengan tingkat potensi kecerdasan di atas rata-rata seluruh siswanya. Anak kami terdorong untuk mengikuti program akselerasi itu. Maka ia pun ikut tes seleksi, dan hasilnya ia lulus meyakinkan dengan menempati peringkat ke-4 terbaik.

Belum berselang satu semestar program akselerasi itu ia jalani di SMP Banjarmasin, kami ternyata harus pindah tugas lagi ke Jogkakarta pada permulaan tahun 2012 itu. Maka pindah sekolah jugalah anak kami ke Jogjakarta pada tahun itu.

Di SMP Jogjakarta itu, alhamdulillah, anak kami masih diberi peluang untuk bisa terus mengikuti program akselarasi. Betapa leganya hati kami, ternyata SMP di Jogjakarta itu masih melihat pada potensi kemampuan anak. Dan hal itu menandakan bahwa SMP di Banjarmasin dan Jogjakarta telah memiliki standar penilaian yang sama. Jika demikian tentu dapat dianggap bahwa kualitas lulusan SMP Banjarmasin dan Jogjakarta relatif sama saja. Jadi bisa dibilang bahwa yang menentukan tingkat kualitas (hasil prestasi belajar) akhirnya tergantung pada kesiapan setiap anak dalam mengikuti proses belajar di sekolahnya.

Di SMP Jogjakarta itu anak kami mengikuti program akselerasi dengan kelas khusus bersama 19 pelajar (siswa/wi) lainnya. Kelas itu dipimpin oleh seorang guru yang bertindak sebagai manager yang mengarahkan dan membina mereka selama mengikuti program akselerasi. Dan bagi kami, di periode inilah anak kami mulai terbangun spirit keilmuan dan keagamaannya.

Alangkah beruntungnya anak-anak siswa/wi kelas akselarasi di SMP Jogjakarta itu. Keberuntungan yang bukan semata-mata karena bisa masuk dalam kelas akselarasi, tetapi --ini yang kami anggap sangat prinsip dan paling utama-- karena di kelas itu mereka dibimbing oleh seorang PENDIDIK sejati.

[---- Perspektif penulis -----]

Menurutku seorang guru bisa saja memiliki kompetensi sebagai "pengajar", tapi belum tentu memiliki kualifikasi sebagai "pendidik". Untuk bisa mengajar seorang guru bisa saja hanya bertindak sebagai mediator transfer subyek ilmu yang dikuasainya. Dan materi pelajarannya mungkin saja sudah tersusun sistematis dalam sebuah buku modul mengajar. Atau buku apa saja yang memuat materi pelajaran yang diajarkannya. Oleh karena itulah maka mungkin saja ada guru yang hanya merasa cukup dengan memiliki skill mengajar yang efektif, atau (jika tidak cukup skill) sekadar mendikte pun cukuplah sudah baginya. Tapi kemampuan guru untuk bisa mendidik (sebagaimana seharusnya) tidak cukup hanya dengan cara 'minimalis' seperti sekadar mendikte, yaitu sekadar membacakan teks "sumpah" atau "janji pelajar" misalnya (kalau ada). 

--Persis seperti halnya teks "Pancasila" atau "Panca Prasetya Korpri" yang selalu dibaca pada upacara rutin di instansi-instansi pemerintah.-- Tapi pendidikan lebih menitik-beratkan pada penerapan atau tindakan kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bila pengajaran adalah proses transfer pengetahuan yang bertujuan untuk meningkatkan daya kognitif (penalaran) atau kemampuan berpikir anak (pada wilayah intelektual), maka pendidikan adalah bertujuan untuk menanamkan norma-norma yang terpuji agar menjadi kebiasaan yang dapat membentuk atau memperkuat sistem nilai sosial (social values) suatu masyarakat yang dipandang ideal (misalnya terbentuknya masyarakat Pancasilais yang beriman dan bertaqwa). 

Oleh karena itu pendidikan sasarannya adalah wilayah jiwa, hati (qalbu) atau aspek mental yang bertujuan untuk membangun karakter atau sempurnanya akhlak para pelajar atau peserta didik di sekolah. Karena itu prosesnya pun tentu menuntut adanya gambaran nyata atau model kongkret yang dapat ditiru (dicontoh) yang (dalam hal ini) adalah sosok atau figur seorang guru yang senantiasa tampil di depan kelas mengajar mereka. 

Tapi mungkin saja seorang guru pengajar hanya sekadar tampil menunaikan tugas mengajarnya tanpa peduli dengan pendidikan karakter (hanya fokus pada sisi kognitif para siswa). Dalam keadaan demikian maka tugas pendidikan itu akan sepenuhnya harus ada pada seorang guru khusus (terutama wali kelas),  dan mestinya wajib bisa diperankan oleh Kepala Sekolah.

 Asumsinya karena Kepala Sekolah dianggap sebagai "maha guru" yang akan berperan sebagai figur atau model yang --tidak saja oleh para siswa sekolah, tapi (bahkan)-- oleh setiap guru pengajar harus mengikuti petuahnya, seperti layaknya seorang "tuan guru" atau "kiyai" pada sebuah pondok pesantren. Berdasarkan perspektif demikian maka seorang PENDIDIK sesungguhnya adalah seorang pemimpin, figur model yang keberadaannya dapat menjadi contoh yang diikuti, disegani, yang setiap anak didik dapat mengadu segala keluh-kesah kepadanya tanpa rasa sungkan dan takut.

[------ barangkali begitu ------]

(cerita dilanjutkan)

Guru pembimbing di kelas akselarasi anak kami itu telah berperan efektif sebagai pendidik tulen. Anak-anak binaannya tidak hanya diasah kecerdasan otaknya (intelegensi), tetapi juga kecerdasan emosi dan spiritual mereka. Hasilnya, persaingan dalam mencapai prestasi akademis tidak menjadikan mereka egoistik. Kelompok belajar kelas akselarasi ini telah dijalin dengan rasa kebersamaan yang kuat, mereka saling bertoleransi, dan memiliki  kepekaan emphatic yang dalam satu sama lain. 

Setiap anak bersikap bahwa seluruh anggota harus berhasil menyelesaikan program akselarasi ini. Kegagalan satu orang berarti kegagalan kelompok. Karena itu sikap saling bantu dalam mengatasi hambatan pada diri setiap anggota perlu terus dibangun. Meski demikian kemampuan dalam menyelesaikan soal ujian dipastikan harus murni dari hasil usaha sendiri, bebas dari noda perbuatan tindak plagiat. Maka semangat berprestasi, solidaritas, toleransi, emphati, kejujuran, komitmen dan kemandirian telah terpatri dalam relung batin/mental mereka.

Syukur alhamdulillah anakku ternyata mendapat pendidikan yang sangguh sempurna (perfectly) di SMP Negri Jogjakarta itu. Bisa dikatakan guru pembimbing kelas akselerasi itu telah menerapkan pendekatan holistik dalam membina murid-muridnya. Karena, bahkan anak kami bukan saja terlihat lebih kritis (rasional) dalam bersikap, tapi juga tampak makin sholeh dalam penampilannya sehari-hari.

Dua tahun telah berlalu, tahun 2014 anak kami lulus dengan predikatat sangat memuaskan (ranking dua di kelasnya). Dengan hasil yang diraihnya itu anak kami akan dapat diterima di SMA favorit dimana pun yang ia mau. Tapi anak kami telah lama memendam minat untuk menjadi dokter. Yang ia tahu di kota kelahirannya di Bandung ada universitas yang memiliki fakultas kedokteran yang sangat banyak peminatnya. 

Karena pertimbangan itu anak kami memilih kembali ke Bandung untuk melanjutkan SMA. Padahal kami (orang-tuanya) masih bertugas di Jogjakarta. Tapi kini tidak ada alasan lagi untuk tetap menahannya seperti saat usianya masih di SD dan SMP. Anak kami kini sudah siap mandiri dalam belajarnya, apalagi di Bandung ia masih punya nenek yang akan menjaganya.

Bulan Juli tahun 2014 anak kami mengurus pendaftarannya ke SMA di Bandung. Tentu saja SMA pertama yang dipilihnya adalah SMA Negeri 3 (salah satu SMA paling favorit di Bandung). Tapi setelah dipertimbangkan, anak kami akhirnya memutuskan untuk masuk SMA Negeri lain yang lokasinya dekat rumah neneknya. 

Alasannya mungkin terdengar sepele, kalau cuman faktor jarak dari rumah ke sekolah (--faktor ini kelak jadi pertimbangan Pemda Kotamadya Bandung dalam penerimaan murid baru--). Tapi keputusan itu sepenuhnya kami serahkan kepada anak kami walau pun ada beberapa pertimbangan yang kami ajukan kepadanya. Dan kami menganggap pasti dia punya pertimbangan sendiri, walaupun mungkin terkesan tidak lazim menurut pendapat masyarakat pada umumnya. 

Bukankah anak kami telah dibekali kemampuan belajar efektif di kelas akselarasi SMP Jogjakarta itu. Mungkin juga menurut penilaiannya bahwa sekolah SMA negeri di kota besar seperti Bandung pasti telah memenuhi standar yang berlaku secara nasional. Maka apalah artinya label SMA favorit karena yang penting murid sekolah harus siap belajar dengan tekun dan berdisiplin.

Dunia sekolah yang kini ia masuki tentu tidak selalu seindah-seharum seperti di kelas akselarasi SMP Jogjakarta itu. Yang pasti di SMA negeri Bandung ini tidak ada program akselerasi. Tapi itu bukan masalah bila proses belajar-mengajar tidak terdistorsi oleh perilaku menyimpang dari tujuan pendidik nasional, yaitu "....  mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." (UU No. 20  tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3). Jadi ada tujuan untuk menanamkan norma-norma dasar yang terpuji agar terbangun sistem nilai yang Pancasilais. Tetapi bagaimana proses pencapaiannya?

Suatu ketika pada tahun pertama menjalani sekolahnya di SMA anak kami pernah dengan nada heran dan jengkel berucap, "Mah, ternyata perbuatan menyontek itu ada ya?" Anak kami ini rupanya hanya pernah mendengar adanya perbuatan "menyontek" tapi belum pernah sekali pun menemukan faktanya di dunia nyata. Dan kali ini di sekolah SMA-nya, ia telah menyaksikan langsung perbuatan menyontek itu terjadi di kelasnya. Apa reaksi anak kami ketika menyaksikan perbuatan curang itu? 

Agaknya ia mengalami "kejutan ideologis" dalam dirinya (dalam lingkup yang lebih luas levelnya sering disebut cultural shock). Menanggapi reaksinya itu, kami sebagai orang-tua sebisa mungkin memberikan penjelasan "realistik" dalam melihat "dunia" sebagaimana adanya. Dan mencoba meyakinkannya bahwa sistem di sekolah pasti akan memfilter perilaku menyimpang seperti itu dengan akibat yang (tentu) akan merugikan setiap pelakunya.

Anak kami ini adalah murid yang polos dan sederhana. Ketika di SMP Jogjakarta dulu dia sudah terbiasa disiplin waktu. Tiba di sekolah biasanya sekitar 30 menit lebih awal sebelum jam masuk kelas. Sebelum pelajaran dimulai selalu diawali dengan baca kitab suci (Al-Qur'an). Kebiasaan disiplin waktu itu masih konsisten dilaksanakan di SMA ini.

 Setiap pagi ia berangkat ke sekolah naik sepeda, dan tetap bersemangat. Tapi pada tahun pertama itu keceriaannya mulai meredup. Ada kabar dari keluarga di Bandung bahwa anak kami kadang pulang sekolah dengan wajah muram dan menangis sesugukkan di kamarnya. Kesedihan dan kecemasan menerpa kami yang masih bermukim di Jogjakarta. Prihatin dengan kondisi yang menimpa anak kami itu, maka aku (ibunya) minta pindah kerja ke Bandung, sementara ayahnya tetap di Jogjakarta.

Akhir semester pertama tahun 2015 aku sudah pindah kerja lagi di Bandung. Anakku telah naik ke kelas dua SMA. Prestasi hasil belajarnya tidak sebagus saat dia di SD dan SMP. Tampak oleh kami ia seperti tanaman yang kurang terurus, padahal ia bibit yang (menurut kami) unggul. Padahal ia kini ditempatkan di lingkungan sekolah yang masih tergolong favorit di kota besar (bukan di daerah pedalaman). Jadi mestinya kualitas pengajaran dan pendidikannya dijamin yang terbaik. Tapi mengapa prestasi anakku hanya bergerak datar di ambang rata-rata?

Rupanya di SMA ini ada dua sistem pengajaran yang bekerja. Yang pertama adalah pengajaran formal yang sudah seharusnya dilaksanakan; yang kedua adalah pengajaran non-formal melalui les yang diselenggarakan oleh guru-guru tertentu. Penyelenggaraan kegiatan les ini memang tidak wajib, tapi dampaknya signifikan mempengaruhi 'nasib' keberhasilan setiap murid dalam mengikuti mata pelajaran yang di-les-kan itu. Suatu ketika anak kami dibuat heran dengan soal ulangan yang disodorkan oleh gurunya. 

Heran karena soal ulangan itu belum pernah diajarkan gurunya di depan kelas. Jadi tidak ada catatan yang membahas isi materinya. Tentu saja ia tidak bisa menjawab dengan benar soalnya, tapi murid-murid lain yang ikut les bisa menjawab karena (ternyata) materinya sudah diajarkan oleh pak guru pada saat les. Maka betapa jengkelnya anak kami kepada sang guru. Sehingga makin tegas lah sikap penolakkannya untuk tidak ikut les, dan lebih memilih ikut kegiatan bimbel di sebuah lembaga yang khusus melakukan bimbingan belajar untuk murid-murid SMA.

Berhadapan dengan realitas kontradiktif itu anak kami tumbuh dengan memendam sikap protes yang kian mengeras terhadap segala yang menurutnya diskriminatif, manifulatif dan eksploitatif. Ia secara akademis memang telah dikalahkan oleh sistem yang ternyata tidak mendidik. Tapi secara moral anak kami adalah pemenangnya. Maka ketika pada akhir semester ke-2 satu mata pelajaran belum juga keluar karena 'terhambat' oleh belum lengkapnya tugas yang --menurut guru pengajarnya-- belum ia serahkan, anak kami tidak bergeming dengan sikapnya bahwa semua tugas telah ia kerjakan dan sudah diserahkan ke pak guru. Setelah berselang beberapa hari penangguhan nilai itu berlangsung, maka pada suatu hari, orang-tua dari teman sekelasnya yang senasib menelpon anak kami. 

Isi dan maksud yang disampaikan via telepon itu adalah bujukan untuk mengalah agar menuruti maksud terselubung sang guru dibalik situasi penundaan keluarnya nilai ujian akhir semester tersebut. Mengalah itu artinya ada biaya yang harus dikeluarkan. Tapi sekali lagi anak kami tak bergeming dengan bujukan itu. Hingga tiba diujung batas waktu, sang guru akhirnya 'ingat' lagi bahwa anak kami memang sudah menyerahkan semua tugasnya. Maka kemudian keluarlah daftar nilai akhir para murid itu selengkapnya. Sebagian besar murid bergembira..... tapi anak kami murung dirundung kecewa dan rasa jengkel yang membuat mual perutnya.

Waktu terus berjalan. Anak kami masih pergi ke sekolah naik sepeda lamanya sebagai murid kelas 3 (tiga), tapi kini sudah tanpa gairah untuk mengejar prestasi terbaiknya. Dalam perjalanan menuju akhir sekolahnya itu anak kami pernah bicara dengan nada getir, "Mah, maafkan kalau anakmu ini nanti ternyata tidak tidak bisa meraih jalur PMDK untuk masuk universitas." Ucapannya itu bagi kami bukan suara keputus-asaan, meskipun terdengar pesimistis. 

Kami tahu potensi kecerdasan dan kemampuan akademik yang bisa diraihnya. Tapi ini tentang hambatan sebuah sistem di sekolah ketika anak kami tidak mendapatkan pendidikan yang benar. Betapa sadar dirinya anak kami ini dengan batas kemampuannya itu. Sudah pasti kami bisa memakluminya. Ucapannya itu hanya menguatkan pernyataannya yang lain (sebelumnya) bahwa ia merasa tak cocok sekolah di negeri seperti ini.

Akhirnya anak kami melewati tiga tahun masa SMA yang (insyaAllah) telah mengantarkannya lebih dewasa dan realistis dalam menyikapi segala fakta yang tak sesuai dengan idealismenya. Cita-citanya dulu untuk menjadi dokter masih bertahan. Tapi kini pilihannya beralih ke universitas di Jogjakarta. Perubahan arah kembali ke Jogjakarta ini tak perlu dibeberkan. Anggap saja ini gerak hati seorang anak yang jiwanya tertambat oleh kenangan indah-semerbak selama ia mendapatkan pendidikan yang baik di sebuah SMP negeri Jogjakarta dulu.

(ceritanya selesai)

*** Demikianlah sekelumit kisah yang dapat saya sunting tentang pengalaman seorang anak yang telah merasakan manis-pahitnya bersekolah di SMP dan SMA di negeri ini. Masih ada beberapa fakta penyimpangan yang terjadi namun tersembunyi dibalik kolusi rahasia yang dianggap menguntungkan pihak-pihak tertentu. Tapi kisah dari pengalaman nyata (empirical) ini, yang (walaupun) lingkupnya kecil, tapi dampak kerusakan yang ditimbulkannya sama dahsyatnya dengan (misalnya) manipulasi sistem dalam merekayasa jalur PMDK. Apakah manipulasi demikian pernah terjadi? Wallahu'alam. Mungkin ada diantara teman-teman punya kisah lain lagi yang menarik untuk diungkapkan.

Kini anak temanku itu telah memasuki babak berikutnya dalam perjalanan hidup menuntut ilmu untuk meraih cita-citanya. Ada banyak kemungkinan yang membentang di depannya. Masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN dan SMBPTN memerlukan berbagai syarat yang mendukung. Berat-ringannya adalah relatif bagi setiap orang menjalaninya. 

Ada orang yang sejak awal merasa pesimis bisa diterima di PT Negeri pilihannya, tapi ternyata malah diterima. Sebaliknya ada orang yang telah merasa sangat siap ketika ikut seleksi, malah gagal. Ada juga yang tujuh kali gagal pada setiap ikut tes pada beberapa PT Negeri, tapi ahirnya lulus pada tes yang ke-8. Juga ada yang gagal pada semua seleksi di PT Negeri, namun ahirnya diterima di PT Swasta. 

Dan begitulah ada banyak sekali kemungkinan yang membentang di depan yang akan dialami setiap orang. Jika syarat-syaratnya telah cukup memenuhi (kadarnya), maka berlakulah taqdir pada setiap orang. Syarat-syarat cukup itu tidak hanya sebatas material (dana dan sarana) tapi juga mencakup syarat immaterial (pengetahuan, motifasi/kehendak, kesungguhan dan --termasuk-- do'a).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun