Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ciri Pakaian Kita Kembali ke Tahun 1450

1 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 21 Maret 2022   15:49 2307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Danseressen van de sultan te Jogjakarta (KITLV, circa 1863)

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa dunia tata busana selalu dihadapkan pada garis tren yang siklis. Sebuah model pakaian yang menjadi tren pada abad ke-19 dapat saja muncul kembali ke permukaan setelah dua abad. 

Tren bahan jin (jeans) yang kini digunakan pada celana, jaket, dan pelengkap busana lainnya telah menjadi sangat terkenal pada masa Revolusi Industri. Dengan demikian, bahan ini kembali muncul ke permukaan setelah tiga abad. Menyaksikan siklus tren mode yang hampir selalu kembali terulang, sejarah dan ilmu mode adalah dua ilmu yang beraliansi dengan sangat erat. 

Hubungan kedua ilmu tidak berlangsung secara satu arah, namun saling melengkapi dan dapat saling memberikan inspirasi. Tidak saja ilmu mode yang dapat membuat produk dari informasi yang diperolehnya dari sejarah, namun sejarah dapat menciptakan refleksi atas tren mode yang sedang dan pernah berlangsung.

Sejarah wilayah Asia Tenggara pada abad ke-15 memunculkan tren busana yang memiliki beberapa kemiripan ciri dengan tren pada masa kini. Sumber sejarah yang memberikan banyak informasi mengenai kebudayaan fisik manusia Asia Tenggara umumnya diperoleh dari catatan perjalanan orang-orang asing yang singgah ke negeri-negeri bawah angin ini. 

Dari sekian banyak catatan perjalanan, dapat dilihat bahwa terdapat dua macam kecenderungan penyampaian para penulis. Pada satu sisi, terdapat penulis yang menceritakan catatan mereka secara mendetail, namun terbatas pada interaksi dan kegiatan ekonomi mereka di negeri-negeri ini. 

Sedangkan, terdapat pula penulis yang selain berfokus untuk mencatat kegiatan ekonomi, juga berfokus untuk mencatat penggambaran fisik kebudayaan yang mereka lihat. Kelompok pedagang dari India, Cina, dan Asia Barat masuk pada kelompok yang pertama. Sedangkan orang-orang Eropa justru masuk pada kelompok yang kedua.

Orang-orang Asia telah sejak lama berhubungan dengan negeri-negeri Asia Tenggara sehingga tidak begitu terkesima dengan kebudayaan fisik masyarakat di sana. Namun, kebudayaan fisik masyarakat Asia Tenggara adalah hal baru yang sangat mengajaibkan bagi orang-orang Eropa. 

Beberapa dari mereka memandang itu dengan takjub --seperti para pedagang Prancis, dan beberapa dari mereka memandangnya secara ngeri. Jelasnya, mereka disuguhkan dengan "keajaiban" Asia Tenggara, mulai dari istana penuh emas Sultan Aceh hingga jazirah penuh rempah milik raja-raja di Maluku. Salah satu yang menjadi pokok perhatian para pengelana Eropa adalah ciri pakaian masyarakat Asia Tenggara.

Dalam catatan orang-orang Prancis yang mencapai Sumatra pada akhir abad ke-15, pria dan wanita di daerah ini tidak membedakan model pakaian yang mereka kenakan. Bentuk pakaian itu terdiri dari kain yang dililitkan hingga pinggang dan perhiasan emas --yang paling umum berupa kalung. 

Pakaian bagian atas tubuh yang dijahit dan berlengan baru masuk ke Sumatra pada abad ke-16 dan 17, setelah baju model ini mulai diproduksi di Asia Tenggara bagian daratan. Satu hal yang paling mencengangkan orang Eropa pada masa itu adalah ketiadaan perbedaan model pakaian antara golongan elite dan golongan rakyat biasa. 

Setelah diperhatikan secara seksama, perbedaan itu hanya mewujud pada kualitas bahan dan kehalusannya saja. Beberapa dari orang-orang lokal memang terlihat menonjol karena membawa senjata seperti keris, namun hal ini hanya untuk menunjukkan kewenangan atau jabatannya dalam tatanan negeri. 

Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan yang menonjol antara orang kaya dan orang biasa di negeri-negeri ini. Bila seseorang berdiri di depan pasar, ia tidak akan dapat membedakan status sosial dan ekonomi orang-orang yang dilihatnya hingga melihat jumlah belanjaan yang dibawanya. 

Seorang pedagang harus berlaku baik kepada semua orang karena tidak dapat mengasumsikan terlebih dahulu siapa yang merupakan orang kaya dan pembeli potensial dagangannya. Dengan demikian, dunia Asia Tenggara pada abad ke-15 dan 16 adalah dunia masyarakat yang egaliter.

Ciri lain yang cukup mengherankan adalah tidak adanya perbedaan pakaian antara pria dan wanita di Asia Tenggara hingga sekitar abad ke-17. Menurut Anthony Reid, persamaan ciri pakaian antara pria dan wanita di Asia Tenggara disebabkan oleh kesadaran mereka terhadap perbedaan kapasitas biologis yang sudah terbangun dengan kuat, sehingga tidak perlu ditegaskan dengan perbedaan cara berpakaian. 

Bila kita setia pada sumber-sumber sejarah, sesungguhnya dapat pula dilihat bahwa kesetaraan kedudukan antara pria dan wanita di Asia Tenggara pada masa itu memang sangat kuat dan sebagiannya ditunjukkan oleh ciri pakaian mereka yang tidak berbeda. 

Dalam beberapa kesempatan, wanita bahkan lebih unggul, seperti dalam urusan hubungan seksual dan pengaturan keuangan. Kedua ciri pakaian yang muncul di Asia Tenggara sejak tahun 1450 atau bahkan sebelumnya tadi kini muncul kembali dalam tren mode kita.

Pada masa kini, bentuk pakaian yang digunakan antara orang kaya dan orang miskin hanya berjarak pada kualitas bahan dan prestise merek. Seorang tunawisma dengan baju model polo tidak berbeda bentuk pakaian dengan jutawan yang menggunakan baju model polo merek Ralph Lauren. 

Selain itu, ciri ketiadaan perbedaan antara baju pria dan wanita juga kembali mengemuka. Salah satu contoh yang paling luas adalah kehadirkan baju model kaos yang digunakan baik pria maupun wanita. Bagi masyarakat Asia Tenggara, kemunculan kembali kedua ciri ini merupakan bentuk pengulangan tren yang bersifat siklis. Kedua ciri itu muncul kembali setelah lebih dari empat abad. 

Namun demikian, hal ini tidak demikian ceritanya bila kita melihat sejarah Eropa. Eropa tidak pernah mengalami episode sejarah yang menunjukkan bahwa busana kaum elite memiliki model yang sama dengan rakyat biasa. 

Dalam sebuah pasar atau kerumunan Eropa abad ke-15, status sosial seseorang akan dapat diidentifikasi dengan jelas melalui ciri busana yang dikenakannya.

Terdapat dua refleksi yang memungkinkan untuk dipelajari dari kesamaan dua ciri tadi. Ciri pertama mengenai persamaan model pakaian antara orang kaya dan orang miskin menggambarkan dunia Asia Tenggara yang egaliter. 

Dengan bercermin pada hal ini, tidakkah dimungkinkan untuk mengulang dunia yang egaliter itu, mengingat ciri pakaian kita telah kembali pada fase yang sama? Ciri kedua yang menunjukkan kesamaan model pakaian antara pria dan wanita di Asia Tenggara melukiskan dunia yang dituju oleh penggiat feminisme masa kini. 

Dunia Asia Tenggara abad ke-15 menunjukkan suatu bentuk kesetaraan antara pria dan wanita karena mereka dinilai sama dengan dilukiskan oleh ciri pakaian yang tidak membedakan. 

Dengan demikian, tidakkah kesetaraan gender juga dapat menyertai siklus tren mode yang kini menunjukkan fenomena yang sama? Melalui dua ciri yang mirip tersebut, terdapat dua pertanyaan yang harus dijawab oleh masyarakat Asia Tenggara. 

Mungkinkah Asia Tenggara dapat kembali ke dunia yang egaliter? Serta, mungkinkah Asia Tenggara dapat kembali ke dunia yang menjunjung kesetaraan gender?

Daftar Sumber

Dorleans, Bernard. 2016. Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan abad XX. Jakarta: KPG.

Huizinga, Johan. 1938. Homo Ludens: Proeve eener bepaling van het spel-element der cultuur. Groningen: Wolters-Noordhoff.

Lapian, Adrian B. 2017. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu.

Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Reid, Anthony. 2014. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, 1450---1680: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor.

Suwannathat-Pian, Kobkua. 2003. Asia Tenggara: Hubungan Tradisional Serantau. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Vlekke, H. M. 2016. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: KPG.

Penulis

C. Reinhart adalah asisten peneliti pada Departemen Sejarah Universitas Indonesia dengan fokus pada Sejarah Kuno dan Sejarah Kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun