Kabut itu semakin tebal, hujan pun semakin mengeluarkan amarahnya, hanya senandung airlah yang melintas di telinga. Tak pernah menyadari kalau akan berdiri di sini sendiri dengan cinta yang harusnya terbuang. Cinta yang masih rapat di genggaman, jumlahnya tak pernah berubah. Dungu! Tapi aku tak mampu mengelabuhi hati untuk berpaling dan menenggelamkan semuanya. Rasa itu terlajur membeku tak mampu dicairkan oleh apapun. Namun apa kebodohan itu akan terulang??? Semoga...tidak tapi...aku masih takut melepas Keanu.
Diam meresapi apa yang terlintas di mata, ternyata benar Keanu hanya menganggapku pelengkap.
“Kita putus??” bukan keras lagi tapi sakitnya terseret di hati. Keanu setega itu. Mengeluarkan kata yang tak pernah terfikir. Aku...hanya bingung menghentikan air mata.
Pergi tanpa sedih, langkah Keanu justru semakin cepat, kepalanya pun tak ingin mengingat namaku. Kenangan, cintaku telah terkubur tampaknya. Ok! Sepertinya aku yang harus berlari “Tunggu!” komando itu meletup dari lidahku. Ya! Kakinya terhenti, tangan yang hendak menyapa gerbang rumah juga batal. Akupun berlari mendekap Keanu dari belakang, kucurahkan semua kata yang kuharap bisa menarik ucapannya barusan.
“Ken, waktu itu aku hanya tanya kamu benar jalan sama Miranda apa nggak! Soalnya teman aku bilang kamu.....Ok! Aku bisa maafin kamu kok, cinta ini nggak akan berubah meski kamu main – main di belakang,” deru tangis masih menguasai, sepertinya Keanu masih mau mendengarku.
“Lepas Num! Aku rasa hubungan ini sudah salah. Kamu lebih percaya sama teman – teman kamu. Hem...lepas!” Pelan – pelan dengan sangat pasti Keanu, pria berjaket hitam tersebut melepas tanganku. Dia pergi menuju mobil dan ngegas. Sedangkan aku seperti kehilangan lentera, terjatuh tak mampu menerima semua itu.
Beberapa hari kemudian
Mata sembab masih menjadi pemandangan. Luka itu terlalu dalam sampai aku tak mampu menemukan obatnya. Sebenarnya aku ingin rebahan di kamar, memandangi plafon, menggali semua kisah cinta dengan Keanu. Memang ketiga polah itu akan mengalirkan air mata tapi aku hanya ingin itu. Lalu? Ya! Kiara menelepon memaksa ketemu di cafe, aku mengiyakan. Dan, sekarang aku duduk di meja nomor 9, angka favorit Keanu. Semula aku masih tenang namun beberapa detik kemudian.
Jaket hitam masuk dengan perempuan baju ungu elegan, 100% perempuan. Beda sedikit denganku, suka pake kaos, celana jeans dan flat shoes, rambut diikat seadanya. Apa mungkin ini yang membuatku gagal dicintai oleh Keanu. Marah atau demo sekalian! Itu Keanuuuuuuuuuuuu, Mirandaaaa, aku?? Melabrak, mengguyurnya sejuta omong kosong atau apa yang harus kulakukan? Hanya nangis, letih tak mampu melakukan apapun kecuali pulang dan SMS Kiara “Maaf nggak enak badan, lain kali aja ketemuan.”
Keluar dari cafe mataku merah, kesedihan jelas telihat. Setiaku, sayangku tak berarti apapun. Keanu meludahnya begitu saja, mungkin sebutan “Penikmat rasa sakit” tepat buatku.
Jalan kaki menapaki trotoar, entah sampai rumah atau sampai taxi menghampiri. Lampu kota tetap sama dengan sinarnya yang tak meredup sedikitpun, mungkin aku kalah malam ini. Terhenti di sebuah emperan toko tutup, aku bersandar mencoba menenggelamkan semua. Nyatanya lebih parah! Saat duduk, dua kali manusia melempar koin. Huh! Emangnya aku pengemis, aku ini korban dari perampokan. Tau nggak sih? Cintaku, kasihku, hatiku di rampok Keanu, hasilnya galau super.