Mohon tunggu...
Dharma Julia
Dharma Julia Mohon Tunggu... -

aku mampu mengubah duniaku dengan Khayal dan Mimpiku .. dan MEREKA tidak berHAK menghakimi dan mengungkungku dengan ATURANnya !!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf yang Terlambat untukmu, Ibu...

9 Desember 2012   10:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:57 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Bagiku, tidak ada yang lebih menyesakkan selain dari mendengar kata ibu. Terhadap kata itu, entah siapa saja yang menyebutkannya dihadapanku, dibelakangku, disampingku dan bahkan bukan terhadapku, semua rasanya tetap sama, menyesakkan. Entah apa alasannya, aku rasa karna dosa dan rasa bersalah ini yang tlah terlalu lama mendarah daging dalam tubuhku. Aku bahkan tidak tahu harus darimana lagi memulai kata “Maaf” yang mungkin sebuah kata yang yang indah untuk siapa saja karna didalamnya mengandung berjuta ketulusan dan keikhlasan, tapi tidak mudah untukku. Bagiku, “Maaf” bukan lagi kata yang tepat untuk mewakili segalanya, terlebih untuk semua kesalahan yang mungkin bisa aku kategorikan sebagai “Dosa Besar” terhadap ibuku sendiri.

Aku bukanlah anak yang sempurna untuk ibuku, bukan pula anak yang manis untuknya. Aku selalu memberikannya luka dan kesusahan. Tidak ada satupun didalamnya dimana aku bisa membuat ibuku tersenyum. Tidak untuk perbuatanku, tidak untuk prestasiku dan tidak juga untuk baktiku. Aku malu mengucap Maaf untuk ibuku. Bibir ini terasa kelu yang teramat sangat setiap Hari Raya Idul Fitri itu menjelang. Terkadang, aku ingin menangis dalam dekapan ibu, memuntahkan semua rasa bersalahku yang teramat dalam terhadapnya. Aku malu telah menyimpan terlalu lama kata mulia itu terhadap ibuku. Didalamnya, aku hanya bisa mengatakan “ibu, mohon maaf lahir dan batin”. Tidak lebih, hanya enam kata itu yang bisa dan selalu ku ucap setiap kali kesempatan suci itu datang ditiap tahunnya. Tidak ada airmata, tidak ada dekapan, dan tidak ada suasana haru biru. Semua telah cukup terwakilkan oleh enam kata itu saja. Semua terasa cukup.

Perlahan waktu berputar mengajakku mengenal angka tujuhbelas dalam usiaku. Didalamnya aku diperkenalkan dengan kata cinta. Ya, siapa yang menyangka ternyata cinta menjadikan aku sebagai sosok anak yang kembali menjadikan airmata sebagai teman abadi bagi ibunya. Aku bahkan pernah membentak ibuku sendiri ketika aku dilarang untuk berpacaran dengan seorang lelaki yang mungkin saja dimata ibuku, dia bukan lelaki yang baik untukku. Tapi tetap saja, pepatah itu benar adanya untukku. Cinta itu buta, dan ia berhasil membutakan mata hatiku. Aku menyesal, Bu. Sungguh tiada lagi daya dan upaya yang bisa kulakukan detik ini. Diusia yang tidak lagi bisa dikatakan sebagai anak-anak ataupun remaja lagi, aku bahkan telah terlalu terlambat untuk menyadari semuanya. Maafkan aku, Tuhan. Aku tlah terlalu lama membiarkan ibuku menunggu kata Maaf itu dari bibirku, sekalipun aku tahu, beliau akan selalu dan pasti akan selalu memberi maaf untukku, anak yang tlah terlalu lama menyakitinya.

Aku tahu, Tuhan tidak akan pernah membiarkan umatnya terlalu lama dalam kesakitan. Itu pula yang telah dilakukan tuhan terhadap ibuku. Melalu kesabaran ibu yang tiada lagi bandingnya, aku ditegur tuhan dengan cara yang teramat halus. Aku bahkan tidak disentilNya, atau mungkin dicubitNya, yang ada aku malah dibelai tuhan. Ketika hari pertama aku menginjak masa SMA, aku melihat ibu meneteskan airmata melepasku untuk berpisah dengannya. Aku tinggal dengan sanak family di Kota dimana aku bersekolah. Saat itu, aku mungkin belum mengenal dekat kata perpisahan. Aku bahkan tlah terlalu riang dahulunya karena diiming-iming dengankehidupan kota yang tentu berbeda jauh dengan kehidupan didesa. Aku keliru. Tinggal dengan sanak family ternyata tidaklah senyaman yang ada dalam pikiranku. Aku mesti menyapu rumah, aku mesti mencuci piring, dan mungkin harus membantu semua pekerjaan rumah tangga yang sebelumnya sama sekali tidak pernah kulakukan dirumahku sendiri. Perlahan aku mulai merasakan kelelahan yang ibu rasakan dulu, letih dan penat diseluruh tubuh ibu setelah seharian mengurus keperluan rumah, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian hingga pekerjaan-pekerjaan lainnya yang menyita tenaga dan pikiran, perlahan mulai menjalar keseluruh tubuhku. Aku merasakan lelah dan sakit yang teramat sangat. Aku menangis. Untuk pertama kalinya aku menangis dan meneteskan airmata. Aku mulai mengerti, inikah rasanya kesakitan?

Aku mulai mencari-cari ibu, aku mulai memanggil-manggil nama ibu setiap malam menjelang tidurku. Dulu, sebelum aku tinggal ditempat ini, aku selalu mendengar ibu mengatakan “kalau mau tidur itu matikan lampunya, pakai obat nyamuk, sekarang musim penyakit demam berdarah” dan aku selalu menjawabnya dengan mengatakan “ibu itu nyinyir yaa,,, tiap malam selalu mengatakan itu”. Dan lihat malam itu, aku seakan merindukan kenyinyiran ibuku dengan mengatakan “jangan lupa pakai obat nyamuk”. Dalam hati aku bergumam, “bu, dirumah ini banyak nyamuknya, dan tidak ada yang mengingatkanku untuk memakai obat nyamuk”. Aku tertidur dalam penyesalan panjangku.

Semenjak hari itu, aku selalu memikirkan bagaimana caranya mengucapkata Maaf kepada ibu. aku malu, aku bahkan teramat sangat malu, terhadap ibu dan bahkan terhadap tuhan. Hingga aku lulus SMA, kata Maaf yang sebenar Maaf itu belum juga terlontar. Hingga aku menanjak ke masa Dewasaku, aku akhirnya mengerti. Ibu teramat sangat menyayangiku,, beliau bahkan tak pernah memaksakan kehendaknya untukku, semuanya semata demi kebahgiaanku. Aku lulus di Universitas Negeri ini adalah berkat doa ibuku, pilihan jurusan ini, adalah pilihan ibuku. Jalan hidup ini adalah jalan hidup yang selalu diucapkan ibu dalam doanya kepada tuhan. Berikanlah yang terbaik untuk anakku, Tuhan,,

Detik ini, aku menitikkan airmataku. Ibu tak pernah memarahiku. Ibu tak pernah membenciku. Ibu bahkan membelaku disaat semua orang menyalahkanku. Ibu bahkan tak pernah mengenal kata lelah untukku. Ibu selalu berkata ibu baik-baik saja, padahal aku tahu ibu sedang tidak baik-baik. Ibu sakit. Beliau menderita penyakit Pembengkakan Kelenjar Getah Bening di Lehernya. Dokter bilang, ibu terlalu banyak pikiran, stres dan banyak beban. Aku menangis menerima kenyataan itu, aku bahkan telah dihantui perasaan-perasaan buruk, bahwa aku akan kehilangan ibuku.

Perasaan takut kehilangan ibu semakin menggerogoti tubuh dan pikiranku. Tuhan, aku belum siap kehilangan ibu. Tanpa setahu ibu, setiap malam menjelang tidur aku selalu berdoa kepada tuhan, sembuhkan penyakit ibuku, Tuhan, aku berjanji aku akan menjadi anak yang berbakti untuknya, aku berjanji tidak akan menyusahkan ibu lagi, sembuhkan ibuku, Ya Allah. Dan lihatlah, tuhan memang maha penyayang. Setelah pemeriksaan yang entah keberapa kalinya, dokter mengatakan penyakit ibu tidak tergolong penyakit Tumor Ganas. Alhamdulillah Ya Allah, engkau mendengar doa anak yang buruk ini.

Dengan sabarnya waktu mengajarkanku pada pemikiran terbaikku sebagai seorang anak. Aku belajar memahami keluarga. Disana aku melihat dengan jelas, betapa ibu sangat menyayangiku. Hanya aku yang bodoh yang tidak pernah melihat itu dengan jelas. Tapi hari itu, aku kembali melihat airmata ibu, aku melihatnya lagi bukan karena kenakalanku, tapi karena penyakit yang aku derita. Yaa,, inilah hukum tuhan untukku dan aku tak pernah ingin menyalahkan siapapun. Aku berhak menerima semuanya, buah dari kesalahan-kesalahanku terhadap ibu.

Runtutan penyakit itu mulai bertubi-tubi menyerangku. Dimulai ketika akhir tahun lalu, aku mendadak mengalami kejadian supranatural, kejadian yang sungguh berada jauh dari pemikiranku. Aku mungkin melupakan tuhan, tapi aku tidak pernah menyangka tuhan akan menyentilku sesakit itu. Aku mengalami kesurupan, tidak tanggung-tanggung, dua kali aku mengalaminya dan setelah menjalani proses pengobatan sana-sini, akhirnya aku sembuh, namun, aku banyak kehilangan sebagian dari dayaku, aku merasakan lemah yang teramat sangat bahkan berbulan-bulan semenjak kejadian itu. Aku tidak lagi merasakan tubuh yang utuh, akumerasa seakan melayang, aku dihantui dan aku takut kesendirian. Belum hilang ketakutan itu, aku kembali diuji dengan penyakit lain, penyakit kulit. Tubuhku mulai ditumbuhi bintik-bintik merah yang sangat gatal, aku bahkan sampai menggigil karna harus menahan gatal itu. Aku selalu menangis dan berkeluh, dan merasakan titik lemah itu semakin kuat menyerangku ketika beberapa bulan berjarak, aku kembali menderita penyakit Typus dan kerusakan Lambung. Dimasa-masa sulit itulah aku kembali melihat ketulusan itu, airmata dan kasih sayang yang sesungguhnya. Aku dipeluk ibu dalam tidurku, aku didekapnya dan tak dilepas walau sedetikpun. Airmata ibu seakan menjadi obat terhadap seluruh penyakit yang aku derita. Ibu mencurahkan seluruh perhatiannya terhadapku, aku dirawat seperti anak kecil lagi. Ibu menangis ketika aku merintih kesakitan, ibu menangis setiap kali melihat aku dalam tidurku, aku tahu ibu selalu memandangku dengan segala bentuk rasa takutnya kehilanganku, dan aku, aku semakin meyadari betapa hinanya aku dimata tuhan karena telah menelantarkan makhluk yang disayangnya itu terlalu lama dengan memendam kata Maaf. Ibu bahkan tak bosan mendengar aku mengatakan “aku lelah meminum obat terus, Bu”, dan ibu menjawabnya dengan mengatakan ‘kalau sayang sama ibu, harus minum obat biar cepat sembuh”.

Tuhan, semenjak aku merasakan kematian itu teramat sangat dekat denganku, aku mulai mengerti, ternyata tidak ada satu pun keangkuhan dibumi ini yang abadi. Termasuk keangkuhanku sebagai seorang anak yang selalu menganggap ibu pasti akan selalu ada untukku. Memang benar, seorang ibu tidak akan pernah lari ketika anaknya memanggil dan membutuhkan pertolongannya, seorang ibu juga tidak akan pernah menjauh ketika anaknya jatuh terpuruk. Seorang ibu bahkan merelakan nyawanya ditukar dengan segala apapun semata demi kebahagiaan anaknya. Tidak lain, semuanya semata demi anak-anaknya.

Tuhan, aku sangat menyayangi ibuku. Kekhilafanku selama ini telah banyak memberiku petunjuk, betapa berharganya arti sesosok ibu dalam hidupku. Aku berjanji tuhan, akan senantiasa menjaga Makhluk terindahMu itu sebagaimana ia menjagaku hingga aku tumbuh sedewasa ini. aku akan janjikan kebahagiaan untuk orangtuaku, ayahku dan ibuku. aku janjikan mereka akan menghirup segarnya udara syurgaMu, dari aku anaknya yang berbakti.Aku mohon RidhoMu tuhan, bantu aku mewujudkan semua impian ibuku, impian ayahku. Berikanlah kesehatan itu terhadap kedua orangtuaku, sungguh, mereka tlah terlalu lelah membesarkan dan membiayai hidupku, tidak ada yang bisa aku lakukan selain dari mendoakan mereka. jaga ibuku tuhan, jaga ayahku tuhan. Aku hanya makhluk lemah yang tak berdaya, hanya kepada engkau, aku serahkan yang terbaik untuk ayah dan untuk ibuku, tercinta.

Maafini akan menjadi maaf terindah untukku sepanjang hayat. Aku akan menjanjikan kebahagiaan itu tidak akan luntur dari senyummu yang telah merekah sempurna dari gurat wajah lelah dan tuamu itu, Ibu..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun