Mohon tunggu...
Ramy D Humam
Ramy D Humam Mohon Tunggu... -

Arsitek yang kebanyakan nonton TV Series

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Masalah Suporter Bola Lebih Mirip Masalah Tawuran Pelajar daripada Masalah Sepak Bola

29 September 2018   19:44 Diperbarui: 1 Oktober 2018   13:21 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Porsi pembicaraan berkali-kali bergumun di sekitar masalah hukuman, padahal saya rasa semua pihak juga sudah tahu, akar permasalahannya bukan pada hukuman yang kurang tegas, melainkan pada suporter akar rumput yang sering kali tidak terdata dan tidak bisa dikendalikan kelakukannya.

Sebenarnya permasalahan kekerasan suporter ini sebelas dua belas dengan permasalahan tawuran pelajar. Keduanya juga memiliki karakteristik yang sama yakni pelaku kekerasan kebanyakan adalah remaja putra yang masih emosional dan irasional, kekerasan sering kali dilakukan secara berkelompok alias keroyokan, dan terdapat konsep identitas "Us VS Them" yang sangat kental. Maka untuk dapat menemukan solusi yang tepat, langkah pertama adalah mencoba memahami pola pikir mereka yang sering kali terlibat perkara ini dan mencoba melihat sesuatu dari perspektif mereka.

Mata Najwa sudah menempuh langkah apik dengan menghadirkan langsung dua suporter dari daerah perbatasan yang kerap kali bergesekan, bahkan juga menyembunyikan identias keduanya. Saya pikir dengan disembunyikannya identitas mereka, mereka bisa dengan bebas berbicara serta bercerita apa yang terjadi dari kacamata mereka, apa yang mereka pikirkan, bahkan mungkin sedikit certia di "medan perang", sehingga bisa memberi sedikit gambaran kepada generasi tua yang ada di studio bagaimana cara menyelesaikan permasalahan di akar rumput tersebut. 

Sayangnya Mbak Nana tidak menggali ke sana, pembicaraan dengan kedua narasumber ini terlalu sebentar dan Mbak Nana sudah luluh hanya dengan dongeng indah tentang persahabatan Viking-The Jak di masa lampau yang menuai tepuk tangan penonton, lalu kembali lagi pada narasumber-narasumber di studio yang duduk di menara gading. Ironi sekali ketika usaha mencari solusi konkret untuk masa depan harus tergerus oleh tepuk tangan nostalgia masa lalu yang indah.

Padahal setidaknya ada dua clue yang diceritakan oleh suporter yang disamarkan identitasnya itu yang bisa membuat kita memahami jalan pikiran mereka, yang semakin menegaskan bahwa permasalahan ini mirip dengan permasalahan tawuran pelajar. Yang pertama, narasumber suporter Jakmania menyebut bahwa mereka biasa memakai atribut seperti jersey tidak hanya pada saat menjelang pertandingan, melainkan juga di keseharian. Hal itu akhirnya kerap menjadi masalah ketika berpapasan dengan suporter lawan. 

Jadi pertikaian bisa terjadi bukan hanya karena ada permasalahan yang memicunya, tapi bisa juga hanya karena melihat orang memakai atribut tim yang mereka anggap musuh, tidak peduli apakah orang itu benar-benar punya masalah atau tidak, pokoknya musuh, libas. Ini adalah konsep identitas yang ada juga dalam permasalahan tawuran pelajar. Saya The Jak, musuh The Jak adalah Viking, maka saya harus menyerang Viking karena Viking adalah musuh. Sekali lagi, itulah pakemnya, itulah rumusnya.

Ini sebabnya sering kali kekerasan terjadi di luar stadion, di jalan, bahkan saat tidak ada pertandingan sekalipun, hanya karena "melihat musuh". Seperti ketika teman SMP saya yang lain, Bolang, kakinya terkoyak kena bacok Benteng Viola (Suporter Persita) karena memakai syal The Jak. Bahkan identifikasi musuh ini bukan hanya lewat atribut klub yang bisa dilepaskan begitu saja seperti jersey, tapi sering juga terjadi hanya karena "ngomong betawi", "ngomong sunda", atau dari plat nomor kendaraan sekalipun. 

Balas-balasan merusak mobil dengan plat nomor kendaraan dari kota musuh bukan sesuatu yang asing. Ketika tinggal di Malang, teman-teman saya yang asal Surabaya akan stay di rumah seharian setiap ada konvoi Aremania daripada mengambil resiko kendaraan plat L nya dirusak. Meskipun mereka bukan Bonek, tapi plat L nampaknya sudah cukup untuk membuat mereka diidentifikasi sebagai musuh.

Maka dari itu, hukuman-hukuman berupa larangan bertanding, larangan menonton di stadion, atau bahkan pembubaran klub tidak akan bisa menyelesaikan akar permasalahan identitas ini, karena mau ada pertandingan atau tidak, selama ada yang bisa diidentifikasi sebagai "musuh" melalui atributnya---yang dipakai tidak hanya menjelang pertandingan namun juga sehari-hari---maka kekerasan akan tetap bisa terjadi atas nama identitas.

Ini sebenarnya juga masih terkait dengan clue kedua yang diucapkan suporter Jakmania di Mata Najwa yakni, "jika diejek, itu masalah harga diri".

Bagi remaja terutama remaja laki-laki yang sedang aktualisasi diri dengan hormon yang meletup-letup, harga diri memang di atas segalanya. Melakukan hal yang membahayakan nyawa jadi terjustifikasi demi harga diri. Irasional? Memang, tapi begitulah paham mereka. Setiap melihat sekelompok suporter yang membawa senjata membajak truk untuk menonton pertandingan, saya yakin beberapa dari mereka tidak peduli akan jalannya pertandingan tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun