Mohon tunggu...
Ramy D Humam
Ramy D Humam Mohon Tunggu... -

Arsitek yang kebanyakan nonton TV Series

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Masalah Suporter Bola Lebih Mirip Masalah Tawuran Pelajar daripada Masalah Sepak Bola

29 September 2018   19:44 Diperbarui: 1 Oktober 2018   13:21 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami tumbuh di lingkungan dimana grafiti-grafiti rivalitas sekolah adalah pemandangan sehari-hari. Pada tembok-tembok perbatasan antara perumahan dan kampung-kota, di belakang ruko-ruko, dan di rolling-door kios-kios, lazim ditemui tulisan grafiti sekolah A yang sudah ditumpuk gambar zakar dengan warna pilox lain oleh sekolah B, musuhnya. Begitu juga sebaliknya.

"STM C MENCARI MUSUH BARU"

Begitu bunyi grafiti baru itu, ditulis salah seorang siswa STM tersebut saat merayakan hari ulangtahun sekolahnya. Mencari musuh tak ubahnya seperti membuka lowongan pekerjaan di jobstreet.

Kami hafal peta kekuatan sekolah-sekolah di wilayah kami: SMA A musuhan dengan STM B, STM C musuhan dengan STM D, dan seterusnya. Kami mengikuti perkembangan tawuran-tawuran mereka layaknya mengikuti perkembangan klasemen liga sepakbola.

"Wah, SMA C tadi diserang sama STM G". Tawuran layaknya sparing olahraga.

Apakah penyerangan tersebut ada pemicunya? Tidak selalu. Ini masalah identitas. Kalau kamu masuk SMA A, maka kamu otomatis menjadi musuh STM B, dan sebaliknya, STM  B menjadi musuhmu. Tidak peduli apakah kamu benar-benar punya urusan dengan bocah dari STM B, pokoknya mereka semua musuh. Setiap yang memakai seragam STM B adalah musuh. Begitulah pakemnya, begitulah rumusnya, dan akan selalu seperti itu.

Sebagai sekolah yang baru seumur jagung, mungkin identitas itulah yang ingin Tompel bangun dengan mencari "musuh", walaupun sejatinya tidak ada masalah, dendam, atau urusan apa-apa dengan anak dari SMP X itu. Tawuran for the sake of tawuran. Harapannya, sekolah kami akan punya identitas sebagai sekolah yang bermusuhan dengan sekolah lain.

Tentu saja orang dewasa dan rasional seperti Pak Subarja tidak akan paham pola pikir konyol semacam ini. Kamipun tidak mengharapkan beliau paham. Namun yang jelas bagi kami saat itu, ini adalah "hukum alam" yang masuk akal.

Ketidak-konek-an generasi tua seperti Pak Subarja dalam memahami akar permasalahan remaja ini juga saya lihat di acara Mata Najwa 26 September 2018 yang bertema #DukaBolaKita. 

Membicarakan masalah suporter sepak bola yang untuk kesekian kalinya harus merenggut nyawa, acara tersebut menghadirkan banyak pemangku kepentingan dalam persepakbolaan Indonesia mulai dari Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Ketua Umum Jakmania, Ketua Viking Frontline, Komisaris PT Persib, Dirut Persija, Badan Olahraga Professional Indonesia (BOPI), Forum Diskusi Suporter Indonesia, Koordinator Save Our Soccer (SOS), dan Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI). 

Sayangnya perbincangan tersebut seperti hanya menjadi ajang berbicara mereka secara bergantian mengucapkan bela sungkawa dan membela diri bahkan seakan-akan tak menelurkan hasil apapun. Selain karena tidak ada solusi yang benar-benar konkret---walaupun Mbak Nana berkali-kali menekankan pada kata "konkret"---yang membuat Mata Najwa malam itu terasa kopong adalah karena para narasumber kerap melenceng dari akar permasalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun