Mohon tunggu...
Cerpen

Cerpen | Terlalu Cepat Memutuskan

20 Maret 2017   09:18 Diperbarui: 21 Maret 2017   00:01 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terlalu Cepat Memutuskan

Suasana duka masih menyelimuti keluarga Mak Siti. Tikar-tikar tergulung sehabis dipakai membaca yasin. Anak semata wayang pergi meninggalkannya sebulan yanglalu. Pardi meninggal karena kecelakaan bus yang sedang Ia tumpangi menuju tempat kerja menabrak mobil angkutan. Kepergiannya meninggalkan luka pedih pada Leni. Mereka sudah menikah hampir setahun lamanya namun belum sempat dikaruniai anak. Sekarang, leni hanya tinggal bersama mertuanya yaitu Mak Siti di sebuah rumah yang sederhana itu. Kehidupan mereka berjalan seperti biasanya. Lambat laun rasa duka mereka terhapuskan.

Senyuman mentari menyambut indahnya pagi. Ayam jantan berkokok, burung-burung bersaut-sautan, dan embun-embun mentes menyejukkan suasana dan membangkitkan semangat. Setiap pagi Mak Siti membersihkan rumahnya dan Leni pergi bekerja. Pada suatu ketika, Mak Siti sedang menyapu secara tidak sengaja Ia melihat kamar menantunya itu berantakan. Melihat kondisi yang begini Ia mencoba masuk untuk membersihkannya.

“Kasihan… pasti Dia tidak sempat membersihkan kamarnya karena kelelahan mengurusi pekerjaan.” Kata Mak Siti dalam hati sambil melangkahkan kaki.

Mak Siti merapikan kertas-kertas yang berserakan. Tanpa sengaja Ia menemukan sebuah kotak kecil dibawah meja. Setelah dibuka ternyata kotak itu berisikan alat tes kehamilan. Ia lantas terkejut dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Seketika itu Ia menyimpannya.

“Aku harus tanyakan ini pada Leni apa yang sebenarnya terjadi.”

Gelapnya malam, sinar bulan purnama, dan hembusan angin malam yang menenangkan jiwa. Serangga malam dan gemerlapnya kunang-kunang mengheningkan suasana. Seperti biasanya setiap malam mereka makan malam bersama sambil menonton televisi. Mereka menikmati makan malam yang telah disiapkan oleh Mak Siti. Makan malam terasa snikmat seperti biasanya meskipun hanya berlaukkan telur dan tempe. Namun, kondisi ini berubah seketika ketika Mak Siti menannyakan benda yang ditemukannya di dalam kamar Leni.

“Apa yang telah kamu perbuat dengan laki-laki lain nak?”  Tanya Mak Siti dengan nada menyindir.

“Apa maksud dari pertanyaan mak?”

“Kalau begitu, apa maksud dari  benda ini?” Sambil menunjukkannya.

“Itu… itu.. itu..” Leni terlihat gugup menjawabnya.

“Itu apa!” Teriak Mak Sitisambil berdiri.

“Itu sebenarnya  bu…bukan punya aku mak….”

“Mana mungkin ini bukan punyamu. Mak menemukannya di dalam kamarmu. Sudah jelas pasti kamu yang menyimpannya,” Saut Mak Siti

Kondisi semakin memanas danmenegang. Namun, sifat leni yang lemah lembut tidak sanggup lagi membendung air matanya. Mak Siti yang terus-terusan marah hingga tidak memberikan kesempatan kepada Leni untuk menjelaskannya. Hujan air mata membasahi wajah Leni.

“Kalau begini, pergi saja kamu dari rumah ini. Pulang saja ke rumahmu. Jangan ganggu kahidupan keluarga ini lagi!”

“Iya… saya akan pergi sekarang juga bu,” Jawab lina tanpa perlawanan.

“Namun, sebelum saya pergi saya ingin mengucapkanminta maaf atas segala kesalahan yang saya perbuat dan semoga ibu tetap sehat. Wa’alaikumsalam” Sambil melangkahkan kaki keluar.

Sinar matahari pagi menerobos sela-sela jendela kamar dan menyinari mata Mak Siti. Ia terbangun kesiangan karena tidak ada yang membangunkannya. Beranjaklah Ia dari tempat tidur menuju kamar mandi. Waktu mandinya terganggu oleh suara berisik dari luar rumah. Ia mendengar suara orang mengetuk pintu dengan keras. Dengan tergesa-gesa, Ia mempercepat mandinya. Sehabis ganti baju tanpa bercermin Ia pergi membukakan pintu.

“Siapa ini pagi-pagi sudah bertamu, tidak tahu apa orang baru mandi!” Gumamnya sambil melangkahkan kaki.

“Hai! Apa maksud kamu mengusir anakku? Memang apa salah Dia? Kamu itu telah membuat anakku malu!” Nada tinggi keluar dari Bu Dina.

“Asalkan Bu Dina tahu ya… anak anda itu telah melakukan hal yang tidak sewajarnya dilakukan!”

 “Aku menemukan ini berada di dalam kamarnya. Bukankah itu sudah cukup membuktikannya?”

“Memangnya kamu tahu dan mempunyai bukti  kalau ini punya anakku?” Terdiamlah Mak Siti mendengar perkataan Bu Dina.

“Pokoknya sekarang aku sudah tidak ada hubungan dengan keluargamu lagi!”

“Derrr…” Suara itu sekaligus sebagai penutup pembicaraan mereka.

Beranjaklah Mak Siti kembali ke kamar. seperti biasanya Ia tidak pernah membuat sarapan sendiri. Warung makan di seberang jalan sudah menjadi langganannya setiap pagi. Nasi kuning, kering tempe, dan telur dadar adalah menu kesukaannya. Meskipun hanya dengan makanan yang sederhana, ini sudah meembuat kenyang perutnya. Sesampainya di sana, Ia bertemu dengan ibu-ibu tetangganya yang biasanya suka menggosip. Tidak ketinggalan Mak Siti juga ikut-ikutan. Ia membicaraka tentang kelakuan anak Bu Dina. Ia memberikan isu-isu yang belum jelas kebenarannya dan tidak memiliki bukti yang kuat tentangnya. Namun, ibu-ibu itu banyak yang mempercayainya dan menyebarluaskan isu tersebut. Pada akhirnya juga, Bu Dina mendengar bahwa anaknya diisukan hal yang tidak-tidak. Ia mencoba untuk menyangkal hal tersebut namun itu sulit baginya. Hari demi hari berlanjut, Ia hanya bisa bersabar dan berdoa.

Embun pagi masih terasa sejuknya. Seperti biasanya Mak Siti membersihkan rumahnya. Tidak lupa Ia juga membersihkan kamar yang pernah dipakai Leni. Kamar Leni terlihat berantakan dan kotor karena tidak ada yang menempatinya. Buku-buku berserakan dimana-mana dan debu-debu menyelimutinya. Amplop coklat usang itu mengalihkan perhatiannya. Ia penasaran akan isinya. Dengan mata terbelanga Ia membacanya.  

“Astagfirullah… ternyata selama ini. Maafkanku yang telah membuat semua masalah ini!” Ia terkejut dan sedih.

“Aku harus meminta maaf kepadanya dan meluruskan isu-isu yang tidak jelas” Pergilah Mak Siti ke rumah Bu Dina.

“Assalamu’alaikum…”

“Ada apa lagi kamu datang kesini, mau nyari masalah lagi?” Tanya Bu Dina dengan muka sinis.

“Saya ingin meluruskan apa yang sedang terjadi, dan meminta maaf kepada semuanya. Ini semua adalah salahku. Saya seharusnya tidak langsung menuduh anakamu tanpa bukti yang cukup. Mohon maafkanlah diriku ini!” Dengan memohon-mohon dan mengucurkan air matanya.

“Saya telah menemukan surat-surat ini. Ternyata memang benar kalau ini bukan punya Leni. Ini adalah punya sahabatnya dan Leni diberikan amanat untuk menyimpannya.” Sambil menunjukkan amplop itu.

“Saya akan memaafkanmu asalkan kamu bisa meluruskan isu-isu yang sudah tersebar ini!” Sambil memegang pundak Mak Siti.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun