Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Kardun: Tuna Asmara Bertutur Romansa

25 Maret 2019   06:20 Diperbarui: 25 Maret 2019   09:29 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/Kaboompics

Disepanjang jalan menuju arah pulang Kardun hanya melamun dan termenung. Terlihat raut wajahnya lusuh, menorehkan noda kemuraman, seperti dihadapkan pada satu masalah yang rumit untuk diselesaikan. Goresan wajahnya begitu nyata menampilkan kegalauan. Hembusan nafas berat terdengar jelas layaknya suara parau seorang wanita tua.

Pikirannya sedang kusut tak karuan. Banyak problema yang tak kenal bosan menyambanginya, mempermainkannya, mengganggunya. Kardun adalah sosok pemuda berperangai lugu, ia jarang ikut-ikutan temannya berpesta saat malam minggu, ia jarang keluar rumah kecuali disuruh ibunya membeli bawang ke warung.

Kardun menampilkan sosok pemuda yang diidamkan oleh sebagian besar orang tua, tidak banyak tingkah dan penurut. Hanya sesekali saja ia menjengkelkan orang tua, itupun dalam tempo tahunan, seperti nilai ujian jeblok, atau lupa menjemput adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Selebihnya ia adalah pemuda sekaligus anak yang berbakti terhadap kedua orang tua.

Di sisi kehidupannya yang lain, pandangan terhadap Kardun malah ditampilkan sebagai sosok yang kuper dan bahkan sesekali di cap idiot oleh para teman dan dosennya di kampus. Keengganannya untuk berfoya-foya bersama mereka menjadi alasan utama mengapa Kardun seolah terasingkan. Tak banyak orang yang mau berteman dengannya. Banyak yang menganggap bahwa pikiran yang dikeluarkan oleh Kardun terkadang terlalu aneh dan berlebihan seperti ia sering menggunakan analogi yang mengerikan dalam mendeskripsikan sesuatu.

Misalnya ia pernah berkata bahwa cinta itu ibarat gempa dan tsunami, jika terlalu besar getaran yang dirasakan, maka akan besar juga dampak kehancurannya. Karena hal inilah Kardun mendapatkan perlakuan berbeda. Ia agak dijauhi, dan oleh oleh teman-temannya yang nakal malah sering dibully dan dicaci. Pernah suatu kala ia dicerca karena mendefinisikan sikap mencintai akan menjadikan manusia mempunyai sifat setan. Tentu argumen ini dibantah oleh teman-temannya dengan menjitaknya pula berkali-kali.

Kardun terlalu lugu untuk melawan, namun yang pasti ia merupakan orang yang berani dalam mengungkapkan setiap gagasannya. Bukan saja di hadapan temannya, namun juga di depan dosennya, hingga ia mangkel dibuatnya. Kardun berkata pada suatu diskusi mata kuliah "Guru yang tidak mencinta sebaiknya jangan jadi guru saja, apalagi yang baperan, apalagi suka memaki murid, atau semenjijikan mengancam dengan nilai!"

Tanpa Kardun sadari ucapannya justru membuat dosennya naik pitam. Dosennya lantas menuduh Kardun sedang mecibirnya. Padahal Kardun nyatanya tidak bermaksud demikian. Akhirnya pada mata kuliah itu ia selalu jadi bahan bulan-bulanan sindiran oleh dosennya. Keluguannya kadang mengantarkan Kardun pada hal-hal yang berujung merepotkan, ia masih belum bisa menganalisis situasi kapan harus bicara ini, dan kapan tidak harus bicara. Tapi dari semua itu ia bicara atas nama kejujuran.

Hal paling menggelikan bagi teman-temannya adalah ketika Kardun berbicara soal cinta. Banyak dari mereka yang seolah merasa jijik manakala mendengar Kardun berbicara ini-itu soal cinta. Mereka sangat geli, lantaran tahu bahwa Kardun adalah seorang jomblo, dan konon katanya belum pernah berpacaran. Atas dasar itulah mereka sering mengatakan bahwa ucapan yang dikatakan Kardun soal cinta hanya bualan tak bermakna.

Kardun tentu sering mendengar celotehan ini, dan ia tidak menanggapi serius persoalan itu. Ia hanya terpikir satu hal dari cacian itu "Bahkan seorang ustadz pun sering berbicara soal kematian, padahal dirinya belum pernah merasakan mati!". Alasan itulah yang meneguhkan hati Kardun bahwa walaupun ia seorang jomblo bukan berarti perkataannya bualan tanpa makna. Ia percaya bahwa ihwal cinta kita semua amatiran.

Kardun memiliki keyakinan bahwa terlalu gegabah jika menasbihkan seseorang itu ahli dalam hal cinta, karena pada dasarnya cinta itu abstrak adanya, terlalu kompleks untuk diuraikan. Maka ia percaya bahwa semua orang boleh saja berbicara soal cinta, menyampaikan gagasannya, dan mengeluarkan perpektif yang berbeda-beda soal cinta.

Bagi kardun cinta itu milik semua, dan seharusnya tidak ada label ahli cinta, apalagi kalau hal ini disangkutkan pada rentang usia. Cinta bisa dipelajari dari siapa saja, dari orang tua maupun anak muda, dari yang sudah menikah, pacaran, ataupun yang tuna asmara. Setelah berkelindan dalam memori penuh intrik dan drama, tanpa disadari Kardun telah berjalan dan kini sampai di dekat pesawahan Desa Cilamea.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun