Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Akhirnya Memutuskan "Local Lockdown", Salah Siapa?

31 Maret 2020   22:12 Diperbarui: 1 April 2020   01:07 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo telah menegaskan bahwa kebijakan lockdown atau karantina berada ditangan Pemerintah Pusat. Namun sejumlah kepala daerah justru menyalahi penegasan itu dengan menerapkan local lockdown atau karantina wilayah. Jelas keputusan yang diambil sejumlah kepala darah masuk kategori offside.  Praktis ada konsekuensi hukum menanti mereka sebagai akibat kebijakan tanpa payung hukum yang jelas. 

Kebijakan para kepala daerah tentu tidak dibenarkan. Tapi di tengah wabah virus corona semakin cepat, tidak ada cara lain selain berinisiatif mengambil jalan sendiri-sendiri. 

Para analis memperkirakan pandemi Coronavirus Disease atau Covid-19 akan terus berlanjut hingga mencapai puncaknya menjelang akhir April dan awal Mei. Perkiraan itu bisa saja terjadi mengingat adanya agenda mudik besar - besaran.

Upaya antisipasi memutus mata rantai penyebaran, tidak cukup dengan himbauan warga yang berada di daerah terapapar covid-19 untuk tidak mudik tahun ini. Kepala daerah harus meniadakan program mudik gratis. Bahkan beberapa diantaranya berinisiatif mengunci akses pintu masuk darat dan laut, kecuali transportasi udara karena kewenangan pemerintah pusat. 

Seluruh personil kemananan bekerjasama dengan instansi pemerintah daerah memasang palang di wilayah perbatasan. Praktis kendaraan apapun tidak boleh masuk kecuali untuk keperluan darurat, misalnya sembako dan pasien. Dengan begitu potensi masuknya ODP, PDP maupun positif covid-19 yang belum diisolasi tidak bisa masuk.

Dalam konteks peraturan perundang-undangan, tidak mengenal  istilah lockdown. Ketentuan yang paling mendekati dengan istilah ini adalah karantina dan legal standing tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Dalam UU tersebut, term local lockdown bisa diterapkan berupa kebijakan karantina wilayah. Dalam pengertian sederhana, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Masalahnya sekarang, belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang pelaksanaan karantina wilayah.

Jelas dalam UU Karantina Kesehatan menguraikan penerapan karantina wilayah merupakan kebijakan pemerintah pusat. Adapun unsur teknis pelaksananya adalah Pejabat Karantina Kesehatan, Karantina Wilayah, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditetapkan oleh Menteri. 

Dalam pasal 53 UU Karantina Kesehatan, menegaskan karantina wilayah merupakan bagian respons kedaruratan kesehatan masyarakat. Selanjutnya, diatur mengenai pelaksanaan karantina wilayah bagi seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antaranggota masyarakat di wilayah tersebut.

Lanjut ke Pasal 54, dijelaskan Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan karantina wilayah. 

Menggaris bawahi kata "penjelasan", itu artinya ada tahap sosialisasi bagaimana teknis penerapannya serta mengantisipasi segala dampak yang ditimbulkan. Sehingga selama masa karantina diberlakukan, warga tidak kaget ketika ada penjagaan di wilayah perbatasan. Bahkan tidak ada aksi protes manakala warga setempat tidak diizinkan keluar masuk wilayah karantina. Apabila terdapat warga terpapar, langsung dirujuk ke puskesmas atau langsung ke rumah sakit rujukan penanganan pasien covid-19.

Selain itu, selama masa karantina pemerintah pusat bekerjasama dengan pemerintah daerah dan instansi terkait dilibatkan guna menjamin kebutuhan hidup dasar serta makanan hewan ternak. Soal kebutuhan itu ada dalam Pasal 55, menegaskan seluruhnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.

Masalahnya sekarang, sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan karantina wilayah. Padahal dalam  Pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan, karantina wilayah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Situasi penjagaan pintu masuk di Tolitoli sejak keluarnya penutupan jalur ke Tolitoli oleh Bupati Tolitoli. SUMBER: clicknusantaranews.com
Situasi penjagaan pintu masuk di Tolitoli sejak keluarnya penutupan jalur ke Tolitoli oleh Bupati Tolitoli. SUMBER: clicknusantaranews.com
Lambannya pemerintah membuat peraturan pemerintah tentang karantina wilayah membuat beberapa kepala daerah berinisiatif sendiri. Di samping itu ketidaktegasan Pemerintah Pusat juga menjadi penyebabnya. 

Setidaknya sejumlah kepala daerah sudah menerapkan karantina wilayah antara lain, Provinsi Papua, Tegal dan Tasikmalaya di Provinsi Jawa Barat,  Kabupaten Toli-Toli di Provinsi Sulawesi Tengah,  Payakumbuh di Sumatra Barat dan Aceh.

Kini sejumlah kepala daerah menanti konsekuensi hukum akibat tidak taat hukum. Tapi dalam kondisi darurat serta keterbatasan kewenangan, keputusan kepala daerah belum tentu disebut melanggar selama tidak ada alasan yang mendasarinya. 

Umumnya semua daerah mengalami masalah keterbatasan alat pelindung diri (APD), fasilitas rumah sakit dan sejumlah prasarana lainnya. Akibatnya  penanganan medis terkesan tidak maksimal. 

Di sisi lain, pemerintah tidak siap memenuhi kebutuhan penangan medis. Salah satu contoh, fasilitas uji laboratorium PDP covid-19 menunggu berhari-hari. 

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 merilis hingga Selasa (31/3/2020) pukul 16.10 WIB, angka kasus positif covid-19 di Indonesia menembus jumlah 1528 pasien. Jika melihat data sebelumnya, ada penambahan 114 kasus. Dari total kasus positif covid-19,  tercatat sebanyak 1.311 pasien positif corona masih menjalani perawatan. Sedangkan 81 pasien dinyatakan sembuh. Sementara angka kematian pasien Covid-19 mencapai 136 jiwa setelah ada penambahan 14 kasus kematian baru.  Dengan jumlah kematian mencapai 136 jiwa dari 1.528 kasus positif Covid-19, Case Fatality Rate (CFR) atau rasio kematian covid-19 di Indonesia kini menjadi 8,9 persen. Presentasi itu jauh melampaui CFR di Spanyol yang mencapai 8,28 persen dan Iran yang tercatat 6,64 persen.

Kasus-kasus positif Covid-19 di Indonesia kini juga telah tersebar di 32 provinsi. DKI Jakarta masih menjadi kawasan dengan angka kasus tertinggi, yakni 747 kasus setelah data sebelumnya mencapai 698 kasus. Dua provinsi lainnya telah memiliki kasus Covid-19 lebih dari 100. Di Provinsi Jawa Barat, tercatat per hari ini ada 198 kasus Covid-19. Sementara di Provinsi Banten, terdapat 142 kasus.

Melihat persentase jumlah kasus, wajar jika kepala daerah khawatir wabah covid-19 terpapar ke daerahnya. Walaupun diyakini kepala daerah memahami prosedur pengambilan kebijakan, tentu tidak mau tingal diam melihat warganya terpapar covid-19. 

Apapun resikonya, itu sudah menjadi pilihan. Tapi tidak perlu khawatir. Dalam waktu dekat pemerintah akan segera meneken peraturan pemerintah tentang karantina wilayah. 

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersama Kementerian Kesehatan tengah membahas Peraturan Pemerintah terkait Karantina Wilayah.

Dalam penerapannya, untuk skala kabupaten/kota atau provinsi yang dapat disetujui adalah PSBB. Sedangkan karantina wilayah bisa dilaksanakan dalam cakupan lebih kecil, misalnya setingkat RT, RW, hingga kelurahan. K

ewenangan karantina wiayah dalam lingkup kecil itu diserahkan kepada pemerintah daerah dan akan diatur secara detil di dalam PP Karantina Wilayah. Bukan hanya itu, regulasi yang sedang digodok juga banyak mengatur seluk beluk soal social distancing dan sebagainya demi alasan kesehatan.

Mengenai durasi masa karantina, Lembaga Biologi dan Pendidikan Tinggi Eijkman Kementerian Riset dan Teknologi menjelaskan bisa dilakukan berkisar 3 hingga 7 hari. Bahkan bisa  mencapai 14 hari hingga 20 hari dan sebulan. Jika potensi penularan dianggap masih ada, maka bisa diperpanjang hingga 2-3 bulan.

Setelah ada kabar baik itu, lantas bagaimana nasib kepala daerah yang sudah terlanjur mengambil keputusan. Inisiatif para kepala daerah tentu tidak bisa disalahkan begitu saja.  

Perlu dipahami, bukan ingin tampil progresif di tengah tidak adanya regulasi atau mitigasi yang jelas dalam menghadapi ancaman virus di wilayahnya. Melainkan sebagai upaya menjaga wilayahnya dari wabah virus yang hingga kini tak mampu dikendalikan negara mana pun itu. Walau pun harus menghadapi gejolak penolakan dari warganya sendiri atas kebijakan yang dinilai semena-mena menghentikan aktivitas dan mata pencahariannya.  

Sebenarnya mereka meyakini kebijakan bersifat lokalitas itu bertabrakan dengan kebijakan pemerintah pusat. Tapi dalam kondisi serba tidak menentu serta ancaman bahaya kemanusiaan, tentu pemangku kebijakan tidak mau tinggal diam melihat virus mengancam masa depan warga di wilayahnya. 

Andaikan tidak ada inisiatif local lockdown, mungkin sudah banyak warganya menjadi korban atas kekejaman virus asal China ini.  Kalau sudah begini kondisinya, siapa yang salah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun