Dilansir oleh Bloomberg, Indonesia berhasil mengekspor beras untuk kali pertama dalam beberapa dekade.
Namun sayangnya, keberhasilan itu bukan karena keberhasilan Indonesia dalam memproduksi beras yang berlimpah, melainkan karena kesalahan pengumpulan data yang menjadi dasar impor. Pemerintah mengimpor beras saat  produksi beras dalam negeri mencukupi. Akibatnya, stok beras melimpah sehingga ada yang harus diekspor kembali.
Bloomberg menjadikan hal itu lelucon dengan membuat judul situasi tersebut sebagai "Di Indonesia, mendapatkan data yang akurat sama halnya dengan kita harus menemukan Pokemon."
Konfik Impor Beras
Persoalan impor beras ini sebenarnya mencuat ke publik pada awal triwulan IV 2018 kemarin. Kepala Bulog, Budi Waseso, menolak keputusan impor beras yang diajukan oleh Menteri Perdagangan, Enggarsiarso Lukito. Menurut Mendag, keputusan itu sudah disetujui Menteri Pertanian dan didasarkan oleh pengecekan stok Bulog yang dilakukan pada Maret 2018 yang hasilnya dianggap sudah dalam kondisi merah (kurang).
Budi Waseso menampik hal itu. Ia mengemukakan 4 alasan mengapa ia menolak impor beras.
Pertama, Budi Waseso meyakini bahwa stok beras aman. Ia bahkan menjamin bahwa impor tidak diperlu dilakukan setidaknya hingga Juli 2019. Hitungan ini sampai melibatkan BIN dan Kepolisian lho yang ikut menganalisis kemungkinan apabila stok beras betul-betul kurang dan apa dampaknya. Hasil analisis itu mengatakan produksi beras di Indonesia dalam prediksi cuaca kering, musim tanam yang kecil, bahkan hasil panen kecil bisa menghasilkan antar 11 sampai 12 juta ton. Sementara kebutuhan nasional 2,4 juta ton.Â
Cadangan beras di gudang Bulog juga mencapai 2,4 juta ton. Jika ditambah dengan beras impor yang masuk pada Oktober sebesar 400 ribu ton menjadi 2,8 juta ton. Bahkan jika ditambah dengan serapan gabah petani dalam negeri sebesar 4.000 ton per hari (pada musim kering), diperkirakan stok tahun bisa mencapai 3 juta ton.Â
Kedua, kualitas beras impor ternyata keras atau pera. Berdasarkan hasil evaluasi tim Bulog beras impor ternyata memiliki jenis beras yang keras dan pera. Ini berbeda dengan kualitas beras dalam negeri yang pulen dan disukai rakyat Indonesia. Karena itu, Buwas merasa impor tak diperlukan untuk saat ini.
Ketiga, kapasitas gudang Bulog tak bisa menampung beras. Tanpa impor, dengan perhitungan stok tadi, gudang-gudang Bulog akan penuh. Jika ditambah beras impor, di mana akan disimpan.
Keempat, harga murah. Saat ini harga masih terkendali. Apabila stok melimpah, maka harga beras akan murah. Kasihan petani pada masa panen raya bila harganya terlalu murah.
Lebih lanjut Budi Waseso menyatakan sebagai negara agraris, Indonesia tak seharusnya mengimpor beras. Ia menyebut impor beras ini hanya akan menyerap devisa negara yang besar, terlebih dengan kondisi harga tukar rupiah yang lemah.
Tetap Impor Beras
Penolakan Budi Waseso itu tidak diindahkan. Keputusan total impor beras 2 juta ton itu akhirnya tetap dijalankan dengan berdasarkan sudah menajdi keputusan pembahasan bersama dengan menteri koordinator. Dalihnya tidak mau ambil risiko ancaman musim kemarau.
Lebih lanjut, dilansir di CNBC saat itu, Kemendag menganggap data surplus itu hanya di atas kertas. Data di lapangan menyatakan sebaliknya. Menurut data Kemendag, stok beras dalam negeri justru terus anjlok sejak bulan April 2017. Pada bulan Januari 2018 dan Februari 2018 bahkan sudah membukukan defisit masing-masing sebesar 48 ribu ton dan 246 ribu ton. Selepas Maret, baru data beras menunjukkan adanya perbaikan, namun jumlahnya tetap minim.Â
Namun, Nyatanya Surplus Betulan (?)
Dilansir Detik, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung data produksi beras salah perhitungan selama ini. Laporan yang dia terima dari Badan Pusat Statistik (BPS) sudah terjadi salah perhitungan produksi beras sejak 1997.
Data dari tiap lembaga bisa berbeda-beda. Sebagai masyarakat, kita jadi bingung dan bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya berlindung di balik data yang salah ini, ya? Adakah yang mencari keuntungan dengan membiarkan kesalahan data ini?
Silakan dinilai sendiri.