Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ferdinan Hutahaen, Sumi Dasco, Belajarlah Menang Dulu pada Politikus Ini!

10 Agustus 2019   08:30 Diperbarui: 10 Agustus 2019   13:43 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aneh dan lucu tiba-tiba merasa bahwa rekannya itu adalah penderita kusta, padahal sebelum-sebelumnya sudah seia-sekata  dan seolah tak terpisahkan.

Apapu ide dan gagasan mereka toh disetujui dan dilakukan. Kog tiba-tiba ketika kalah merasa seolah rekannya itu sebagai musuh dalam selimut. Sangat tidak elok mengatakan ide dan gagasan yang cenderung buruk, brutal, dan melanggar hukum usai kekalahan. Apa iya demikian jika menang?

Tunggang menunggangi seolah hanya satu pihak saja yang diuntungkan. Kenyataannya dulu juga diam saja, bahkan seolah bahagia bersama-sama. Ada rekomendasi bahkan diubah dan disesuaikan, toh juga bahagia. Mengapa ketika kalah mengatakan hal yang buruk saja atas bagian dari kebersamaan mereka.

Ini mirip dengan abg jatuh cinta dan pacaran sejenak kemudian ada pandangan baru yang lebih menjanjikan. Artinya berpolitik mereka masih sebatas abg labil. Lha ini negara besar, jika dipimpin dan dikelola oleh ababil, ya bisa repot, mudah baper, mudah jeles, dan mudah ganti yang diinginkan.

Pemimpin itu soal visi, misi, dan menjalankan proses dan perjuangan itu dengan tekun, setia, dan taat. Bayangkan saja jika model mereka, ketika kalah menyalahkan rekan sendiri. Main dalam tim kekalahan ya kekalahan tim, bukan individu atau bagian-per-bagian.

Kesetiaan pada proses masih sangat lemah dan bahkan cenderung tidak ada. Kalah namun mau kursi. Lucu da aneh adalah tidak malu-malu dulu masa kampanye menggunakan kampanye hitam dan negatif tiba-tiba merasa ikut mengusung dan mendukung. Hal yang memalukan sebagai negara beragama dan berdasar Pancasila sebenarnya.

Penghargaan akan komitmen dan kebersamaan sangat rendah. Fokus pada kekuasaan. Jadi jangan heran ketika kalah menuding pihak lain sebagai biang keladi dan memuji-muji yang dulu direndahkan dengan seolah tidak ada rekaman yang ada. Ini zaman modern, jangan lupakan rekaman murah dan mudah dilihat ulang.

Maunya menang, tidak mau kalah. Entah ini karena penyakit sejak dalam tradisi dan turun-temurun atau apa. Hampir semua orang tidak siap kalah. Padahal dalam berkompetisi, salah satunya jelas pemilu, kalah itu bagian utuh atas berkompetisi. Bagaimana bisa maunya menang semua dan terus? Apalagi tidak dibarengi dengan kerja keras dan kerja cerdas.

Bu Mega bisa mengatakan kalau menang maunya ikut semua, karena pernah kalah dan merasakan kesepian itu. Perlu pembiasaan dan  menilai kalah itu sebagai bagian hidup yang tidak akan bisa disangkal. Mike Tyson pun pernah kalah kog.

Persoalan mental yang masih perlu pemikiran lebih serius dan mendalam. Infrastruktur sudah selesai dibangun dan itu fokus kemarin, kini hanya perlu tindak lanjut. Nah kini fokus lebih perlu diberikan pada bagian ini. Membangun mental, termasuk berani menghadapi kenyataan kalah. 

Korupsi, terorisme, narkoba, ditingkahi sikap kerdil tidak siap kalah. Ini menjadi jembatan masuknya kekerasan dalam terorisme, maling anggaran untuk menaikan gengsi dan mau menang sendiri. Yang gagal akan mengambil narkoba sebagai  meningkatkan daya khayal yang lebih lagi.

Pekerjaan rumah pemenang itu tidak sederhana. Serius dan sangat berat karena banyak yang tidak sadar.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun