Di rumah, kami, saya khususnya, telah mengambil kesepakatan dengan si ragil, yaitu si ragil hanya boleh menggunakan gawai pada setiap Sabtu dan Minggu. Pada Sabtu mulai boleh menggunakan gawai setelah pulang sekolah. Sedangkan pada Minggu mulai tidak boleh menggunakan gawai setelah pukul 12.00 WIB. Hingga saat ini kesepakatan itu masih berjalan baik.
Kesepakatan yang juga berlaku  bagi si ragil adalah ia tidak boleh membawa gawai saat bersekolah. Hal yang sama juga berlaku ketika ia sedang les di luar rumah atau saat mengikuti  kegiatan di gereja sekalipun saat itu bertepatan dengan Sabtu atau Minggu, gawai tetap tidak boleh dibawa. Kesepakatan ini pun sampai kini masih tetap berlangsung baik.
Kami mengambil kesepakatan itu semata-mata untuk mendidik si ragil agar dapat menggunakan gawai secara sehat. Pun demikian ia dapat melakukan  aktivitas-aktivitas (sekolah, les, dan kegiatan lainnya) secara sehat. Artinya,  ia dapat melakukan setiap aktivitasnya lebih fokus. Bisa kita bayangkan andai si ragil saat les membawa gawai. Sangat mungkin ia gagal fokus saat les sehingga kegiatan lesnya sia-sia.
Di harian Kompas, entah kapan tepatnya, saya lupa, pernah dimuat artikel tentang menyiasati penggunaan gawai pada anak agar si anak tidak hanyut dalam pengaruh gawai. Caranya, orang tua dan anak mengambil kesepakatan begini. Â Kalau si anak sudah membaca buku satu bab, ia memiliki hak menggunakan gawai selama 15 menit.
Dalam konteks itu si anak dikatakan sudah membaca buku kalau ia sudah mempresentasikan hasil membacanya di hadapan orang tua. Upaya itu ternyata membuahkan hasil yang manis sebab lambat laun si anak semakin mencintai buku dan meninggalkan gawai. Siapa mau meneladani?