Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kembali ke Fitrah, Menggerus Dampak Buruk Gawai

1 November 2019   12:54 Diperbarui: 1 November 2019   12:58 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: thesun.co.uk

Sejatinya nasihat itu tak (terlalu) penting sebab anak-anak boleh jadi sudah mengetahuinya. Yaitu mengetahui bahwa memanfaatkan gawai secara positif, ada gunanya; memanfaatkan gawai secara negatif, tak ada gunanya. Jadi, sesungguhnya yang penting adalah membangun kesadaran bersama.

Caranya, kembalikan kondisi pada fitrah, yaitu menghidupkan kembali bincang-bincang dalam keluarga di waktu-waktu yang memungkinkan. Hindari memegang gawai ketika sedang berkumpul keluarga. Tapi, manfaatkan secara intensif untuk berkomunikasi tentang hal apa pun yang bersifat ringan sehingga keadaan menjadi hangat dan menggembirakan.

Kini pemandangan yang kita jumpai   sekalipun berkumpul keluarga sering sibuk sendiri dengan gawai masing-masing. Tak jarang meski berada dalam satu ruang, tak saling berbincang. Mereka menunduk sembari jari-jari dan matanya hanyut ke gawai. Orang-orang yang ada di sekitar tak teracuhkan. Ruang menjadi sunyi sepi, tak ada kegembiraan kolektif.

Kalau kondisi fitrah tumbuh lagi dalam keluarga sekalipun tak sering karena kesibukan, yakinlah lambat laun dalam keluarga akan ada kegembiraan kolektif. Masa-masa kebersamaan dan keakraban  akan terasa kembali dalam keluarga. Hal itu akan menggeser peran gawai  yang selama ini menyedot seluruh energi orang per orang.

Kondisi yang tak jauh berbeda pun (sebenarnya) disemaikan di ranah  pendidikan. Di sekolah-sekolah, misalnya, kini pendekatan kolaborasi menjadi prioritas utama dalam pembelajaran, tidak kompetisi. Indikatornya di antaranya adalah tidak ada lagi peringkat kelas atau sekolah.

Semua itu untuk mendorong agar peserta didik berkolaborasi satu dengan yang lain. Dengan begitu, semua peserta didik dapat saling melengkapi. Mereka yang memiliki kelebihan dalam satu hal dapat melengkapi mereka yang memiliki kekurangan.

Pun demikian peserta didik yang memiliki kekurangan di satu hal, tapi memiliki kelebihan di hal lain dapat melengkapi yang memiliki kekurangan. Sehingga kompetensi semua peserta didik mengalami tumbuh kembang secara maksimal. Berhasil bersama.

Cara yang lainnya adalah orang tua memberi teladan. Maksudnya, tidak semaunya memanfaatkan gawai. Menggunakan gawai ketika memang membutuhkan karena penting. Kalau sekadar untuk mengusir rasa galau, saya pikir, hindari gawai. Lebih baik melakukan aktivitas yang produktif karena hal itu sekaligus dapat memberi teladan kreatif kepada anak dan rasa galau kita (tentu) dapat tertepis.

Entah sadar atau tidak, kalau setiap hari anak melihat orang tuanya tidak bersibuk-buruk dengan gawai, ia pasti akan melakukan hal yang sama dengan kebiasaan orang tuanya. Ia akan menggunakan gawai pada saat memang membutuhkannya untuk kepentingan tertentu yang bermanfaat. Tentu ini kalau budaya menggunakan gawai dalam keluarga secara cerdas dan bermanfaat sudah dimulai yang diteladani oleh orang tua, setidaknya orang-orang dewasa dalam keluarga. Sehingga ada rasa enggan kalau siapa pun dalam keluarga akan menggunakan gawai secara sembarangan.

Toh hingga saat ini yang namanya "teladan" masih memiliki kekuatan dalam memberi pengaruh, baik terhadap pribadi maupun kolektif, dalam segala bidang kehidupan. Adanya karut-marut relasi sosial dalam keluarga dan organisasi lokal, nasional, regional, dan internasional, selalu yang menjadi tema pembicaraan adalah kegagalan memberi teladan. Dan, teladan umumnya harus dimulai dari yang lebih tinggi atau dewasa.

Dua cara di atas harus dilengkapi dengan "kesepakatan", baik kesepakatan terkait dengan waktu maupun konten yang tidak atau boleh dibuka. Atau juga terkait dengan seseorang  belum atau sudah berhak memiliki dan menggunakan gawai. Kesepakatan ini akan membuka kerangka berpikir setiap anggota keluarga, termasuk anak-anak, bahwa segala sesuatu yang berdampak kepada pribadi dan relasi sosial dalam dan/atau luar keluarga, perlu ada norma bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun