Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Kembali ke Fitrah, Menggerus Dampak Buruk Gawai

1 November 2019   12:54 Diperbarui: 1 November 2019   12:58 38 4
Saya menemukan fenomena buruk pada beberapa anak didik saya di sekolah. Terkantuk-kantuk saat pembelajaran berlangsung. Saya mengetahui kemudian setelah mereka mengatakan bahwa semalam mereka tidur saat waktu sudah larut. Penyebab mereka tidur larut malam adalah karena bermain game.

Hal itu tak dapat dimungkiri karena keadaannya sangat memungkinkan mereka bermain game. Toh mereka kebanyakan sudah memiliki gawai pintar yang dapat digunakan untuk mengunduh berbagai game. Selain itu, anak-anak usia SD kelas besar sampai SMA sudah tidur di kamar sendiri dan mereka leluasa membawa gawai.

Memang ada orang tua yang sudah memiliki kesepakatan dengan anak agar anak tidak sembarang menggunakan gawai. Menggunakan gawai dibatasi, baik waktu maupun konten yang hendak dibuka. Kesepakatan ini tentu sangat membantu orang tua dalam mengontrol anak memanfaatkan gawai.

Toh memang ada game-game yang dapat mengedukasi anak, baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Dengan bermain game yang demikian itu kompetensi anak dapat mengalami tumbuh kembang maksimal. Karena itu memang orang tua wajib menjadi fasilitator.

Konsekuensinya orang tua harus mengikuti perkembangan bidang teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK). Setidaknya memiliki kemampuan di bidang TIK sedikit lebih tinggi ketimbang anak. Sehingga orang tua dapat mengontrol anak dalam memanfaatkan gawai secara efektif.

Tapi, tak sedikit pula orang tua yang sudah melek TIK, tapi karena kesibukan, anak mereka hanyut dalam game lewat gawai. Anak dengan bebas memanfaatkan gawai tanpa ada kontrol dari orang tua. Hanya, beberapa orang tua tentu ada yang memfungsikan fitur tertentu dalam gawai untuk mengontrol pemanfaatan gawai oleh anak.

Orang tua yang tidak mengikuti perkembangan TIK atau bahkan tidak mengenal dunia TIK sangat rentan terhadap "kecerdikan" anaknya dalam memanfaatkan gawai. Berdasarkan kesaksian beberapa orang tua, tak sedikit anak yang mengatakan belajar, tapi (setelah diketahui) ternyata mereka bermain game.  Kebanyakan saat di rumah dan di dalam kamar.

Sampai-sampai istri saya suatu saat "dicurhati" oleh salah satu orang tua anak didik saya tentang anaknya yang teracuni gawai. Betapa tidak, anaknya itu, katanya, sampai tak dapat lepas dari gawai. Kalau gawainya diambil, anak itu sepertinya bingung bahkan linglung, seperti orang stres. Sampai buruk seperti itu dampaknya.

Lalu, istri saya bilang kepada saya bahwa salah satu orang tua anak didik saya itu berpesan agar saya menasihati anaknya. Saya katakan kepada istri saya, iya, sebab hal itu persoalan yang juga merupakan kewajiban saya untuk turut mencari jalan keluarnya. Toh anak itu salah satu anak didik saya di sekolah, yang setiap hari masuk sekolah, kami bertemu.

Saya memang kemudian menasihati anak-anak secara kolektif di kelas tempat anak didik yang dimaksud di atas sebagai anggota kelas itu. Nasihat saya bersifat umum, yaitu  mengenai pemanfaatan gawai yang dapat berdampak positif dan negatif. Tergantung kehendak si pemakai.

Kalau pemakai memanfaatkan gawai secara positif pasti membuat si pemakai kaya pengetahuan, terampil, dan bersikap baik. Kalau pemakai memanfaatkan gawai secara negatif niscaya akan "menghancurkan" si pemakai. Jadi, tinggal pemakai mau pilih yang mana.

Sejatinya nasihat itu tak (terlalu) penting sebab anak-anak boleh jadi sudah mengetahuinya. Yaitu mengetahui bahwa memanfaatkan gawai secara positif, ada gunanya; memanfaatkan gawai secara negatif, tak ada gunanya. Jadi, sesungguhnya yang penting adalah membangun kesadaran bersama.

Caranya, kembalikan kondisi pada fitrah, yaitu menghidupkan kembali bincang-bincang dalam keluarga di waktu-waktu yang memungkinkan. Hindari memegang gawai ketika sedang berkumpul keluarga. Tapi, manfaatkan secara intensif untuk berkomunikasi tentang hal apa pun yang bersifat ringan sehingga keadaan menjadi hangat dan menggembirakan.

Kini pemandangan yang kita jumpai   sekalipun berkumpul keluarga sering sibuk sendiri dengan gawai masing-masing. Tak jarang meski berada dalam satu ruang, tak saling berbincang. Mereka menunduk sembari jari-jari dan matanya hanyut ke gawai. Orang-orang yang ada di sekitar tak teracuhkan. Ruang menjadi sunyi sepi, tak ada kegembiraan kolektif.

Kalau kondisi fitrah tumbuh lagi dalam keluarga sekalipun tak sering karena kesibukan, yakinlah lambat laun dalam keluarga akan ada kegembiraan kolektif. Masa-masa kebersamaan dan keakraban  akan terasa kembali dalam keluarga. Hal itu akan menggeser peran gawai  yang selama ini menyedot seluruh energi orang per orang.

Kondisi yang tak jauh berbeda pun (sebenarnya) disemaikan di ranah  pendidikan. Di sekolah-sekolah, misalnya, kini pendekatan kolaborasi menjadi prioritas utama dalam pembelajaran, tidak kompetisi. Indikatornya di antaranya adalah tidak ada lagi peringkat kelas atau sekolah.

Semua itu untuk mendorong agar peserta didik berkolaborasi satu dengan yang lain. Dengan begitu, semua peserta didik dapat saling melengkapi. Mereka yang memiliki kelebihan dalam satu hal dapat melengkapi mereka yang memiliki kekurangan.

Pun demikian peserta didik yang memiliki kekurangan di satu hal, tapi memiliki kelebihan di hal lain dapat melengkapi yang memiliki kekurangan. Sehingga kompetensi semua peserta didik mengalami tumbuh kembang secara maksimal. Berhasil bersama.

Cara yang lainnya adalah orang tua memberi teladan. Maksudnya, tidak semaunya memanfaatkan gawai. Menggunakan gawai ketika memang membutuhkan karena penting. Kalau sekadar untuk mengusir rasa galau, saya pikir, hindari gawai. Lebih baik melakukan aktivitas yang produktif karena hal itu sekaligus dapat memberi teladan kreatif kepada anak dan rasa galau kita (tentu) dapat tertepis.

Entah sadar atau tidak, kalau setiap hari anak melihat orang tuanya tidak bersibuk-buruk dengan gawai, ia pasti akan melakukan hal yang sama dengan kebiasaan orang tuanya. Ia akan menggunakan gawai pada saat memang membutuhkannya untuk kepentingan tertentu yang bermanfaat. Tentu ini kalau budaya menggunakan gawai dalam keluarga secara cerdas dan bermanfaat sudah dimulai yang diteladani oleh orang tua, setidaknya orang-orang dewasa dalam keluarga. Sehingga ada rasa enggan kalau siapa pun dalam keluarga akan menggunakan gawai secara sembarangan.

Toh hingga saat ini yang namanya "teladan" masih memiliki kekuatan dalam memberi pengaruh, baik terhadap pribadi maupun kolektif, dalam segala bidang kehidupan. Adanya karut-marut relasi sosial dalam keluarga dan organisasi lokal, nasional, regional, dan internasional, selalu yang menjadi tema pembicaraan adalah kegagalan memberi teladan. Dan, teladan umumnya harus dimulai dari yang lebih tinggi atau dewasa.

Dua cara di atas harus dilengkapi dengan "kesepakatan", baik kesepakatan terkait dengan waktu maupun konten yang tidak atau boleh dibuka. Atau juga terkait dengan seseorang  belum atau sudah berhak memiliki dan menggunakan gawai. Kesepakatan ini akan membuka kerangka berpikir setiap anggota keluarga, termasuk anak-anak, bahwa segala sesuatu yang berdampak kepada pribadi dan relasi sosial dalam dan/atau luar keluarga, perlu ada norma bersama.

Di rumah, kami, saya khususnya, telah mengambil kesepakatan dengan si ragil, yaitu si ragil hanya boleh menggunakan gawai pada setiap Sabtu dan Minggu. Pada Sabtu mulai boleh menggunakan gawai setelah pulang sekolah. Sedangkan pada Minggu mulai tidak boleh menggunakan gawai setelah pukul 12.00 WIB. Hingga saat ini kesepakatan itu masih berjalan baik.

Kesepakatan yang juga berlaku  bagi si ragil adalah ia tidak boleh membawa gawai saat bersekolah. Hal yang sama juga berlaku ketika ia sedang les di luar rumah atau saat mengikuti  kegiatan di gereja sekalipun saat itu bertepatan dengan Sabtu atau Minggu, gawai tetap tidak boleh dibawa. Kesepakatan ini pun sampai kini masih tetap berlangsung baik.

Kami mengambil kesepakatan itu semata-mata untuk mendidik si ragil agar dapat menggunakan gawai secara sehat. Pun demikian ia dapat melakukan  aktivitas-aktivitas (sekolah, les, dan kegiatan lainnya) secara sehat. Artinya,  ia dapat melakukan setiap aktivitasnya lebih fokus. Bisa kita bayangkan andai si ragil saat les membawa gawai. Sangat mungkin ia gagal fokus saat les sehingga kegiatan lesnya sia-sia.

Di harian Kompas, entah kapan tepatnya, saya lupa, pernah dimuat artikel tentang menyiasati penggunaan gawai pada anak agar si anak tidak hanyut dalam pengaruh gawai. Caranya, orang tua dan anak mengambil kesepakatan begini.  Kalau si anak sudah membaca buku satu bab, ia memiliki hak menggunakan gawai selama 15 menit.

Dalam konteks itu si anak dikatakan sudah membaca buku kalau ia sudah mempresentasikan hasil membacanya di hadapan orang tua. Upaya itu ternyata membuahkan hasil yang manis sebab lambat laun si anak semakin mencintai buku dan meninggalkan gawai. Siapa mau meneladani?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun