Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Bukan Perselingkuhan, Perceraian Lebih Banyak Disebabkan karena Alasan Ini

9 Januari 2024   06:00 Diperbarui: 9 Januari 2024   06:12 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://databoks.katadata.co.id/

Pada tahun 2023 lalu, Forbes Advisor melakukan survei terhadap 1.000 responden warga Amerika Serikat yang telah bercerai atau sedang menjalani proses perceraian. Survei bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab perceraian.

Ternyata, perselingkuhan bukan faktor dominan yang menyebabkan perceraian di AS. Faktir paling dominan adalah "lack of family support", atau kurangnya dukungan keluarga. Berikut delapan besar alasan warga AS melakukan perceraian, menurut hasil riset Forbes Advisor.

  • Kurangnya dukungan keluarga: 43%
  • Perselingkungan atau hubungan di luar pernikahan: 34%
  • Ketidakcocokan: 31%
  • Kurangnya kedekatan: 31%
  • Terlalu banyak konflik atau pertengkaran: 31%
  • Stres karena keuangan: 24%
  • Kurangnya komitmen: 23%
  • Perbedaan pola asuh anak: 20%

Alasan-alasan yang lain tampak cukup jelas. Namun apa yang dimaksud dengan kurangnya dukungan keluarga? Menurut Edward J. Jennings (2023), "kurangnya dukungan keluarga" adalah alasan yang tidak jelas dan dapat memiliki arti yang berbeda-beda untuk setiap orang.

Jennings menilai, wujud kurangnya dukungan keluarga bisa sangat beragam. Bisa jadi wujudnya adalah kurang dukungan emosional, kurangnya privasi, perbedaan pendapat mengenai gaya pengasuhan, dan masalah komunikasi.

Kurangnya dukungan keluarga mungkin lebih terlihat dalam situasi sulit dalam mengasuh anak, seperti merawat anak berkebutuhan  khusus. Sebuah survei menunjukkan bahwa tingkat perceraian orang tua dari anak penyandang disabilitas mencapai 80-90%.

Kurangnya dukungan emosional bisa berarti suami/istri tidak mengerti kesulitan yang sedang dihadapi pasanganya. Bisa jadi tidak ada suasana keterbukaan, saling bercerita, saling mendengarkan, dan saling menguatkan.

Kurangnya privasi bisa mulai terasa ketika keluarga telah memiliki anak. Seorang istri bisa jadi merasa kewalahan mengurus anak, sementara ia tidak mendapat back up yang memadai dari suami. Energi sang istri terfokus pada merawat anak-anak dan tidak memiliki cukup waktu yang untuk mengurus hal-hal lain. Bahkan sekedar untuk bersolek.

Demikian pula ketika pasangan suami istri memiliki gaya pengasuhan yang berbeda, dapat menimbulkan pertengkaran serius. Salah satu pihak mungkin permisif, sementara pasangan memilih bersikap tegas dan normatif. Dampaknya, keduanya merasa kurang mendapat dukungan dari pasangan untuk menerapkan pola asuh yang diinginkan.

Meskipun studi itu dilakukan terhadap masyarakat Amerika Serikat --yang berbeda kultur dengan Indonesia, namun patut untuk diambil pelajarannya. Bahwa di antara hal penting dalam menjaga keutuhan keluarga adalah saling mendukung di antara suami dan istri.

Dukungan pasangan akan sangat menenteramkan dan menguatkan. Suami yang bekerja dengan dukungan kepercayaan istri, akan bisa optimal dalam pekerjaannya. Demikian pula istri yang bekerja dengan dukungan keridhoan suami, akan bisa tenang dalam pekerjaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun