Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

8 Hal Ini Bisa Memicu Kerentanan Keluarga

19 Juli 2018   08:46 Diperbarui: 19 Juli 2018   12:36 3010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : www.vebma.com

Kehidupan berumah tangga selalu ada dinamika berupa permasalahan dan tantangan silih berganti. Bahkan bisa dikatakan, kehidupan keluarga tidak pernah sepi dari permasalahan dan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. 

Terdapat sejumlah hal dalam keluarga yang diidentifikasi sebagai faktor-faktor resiko yang berpotensi memunculkan permasalahan dan tantangan, sehingga memunculkan kerentanan dalam keluarga. Faktor-faktor resiko ini berbeda antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya.

Ariel Kalil (2003) menyebutkan enam faktor resiko, yaitu kemiskinan, pengangguran, perceraian, kematian, penyakit kronis, dan ketidaksuburan reproduksi. Sedangkan Eldridge (1994) menambahkan faktor perkembangan teknologi, sosial, budaya dan politik sebagai sumber stres kolektif yang secara langsung mempengaruhi kehidupan serta kondisi keluarga. Berikut kita bahas satu per satu delapan faktor tersebut.

  • Kemiskinan

Kemiskinan yang teramat sangat, akan memberikan dampak tekanan kehidupan pada semua anggota keluarga. Mereka tidak mampu hidup secara layak, bahkan dalam memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar : pangan, papan, sandang. 

Dalam situasi kemiskinan yang sangat menyulitkan, keluarga benar-benar menghadapi tekanan yang sangat berat. Pada pasangan yang tidak memiliki daya resiliensi, kemiskinan mudah menyulut konflik hingga sampai tingkat perceraian. Kemiskinan adalah faktor penyebab perceraian yang cukup tinggi di Indonesia.

  • Pengangguran

Persaingan dunia kerja yang semakin keras menimbulkan risiko pengangguran yang lebih besar. Bukan hanya pada mereka yang tidak berpendidikan, risiko ini bisa menimpa orang-orang dengan pendidikan tinggi sekalipun, karena tidak berhasil mendapatkan job yang sesuai dengan kapasitas keilmuannya. 

PHK permanen pada berbagai perusahaan semakin menambah angka pengangguran. Suami yang biasa bekerja mapan, mendadak berhenti bekerja karena PHK, bisa menjadi stressor berat. Suami yang menganggur di rumah, bisa menjadi pemicu masalah lebih lanjut dalam kehidupan berumah tangga.

  • Perceraian

Perceraian menimbulkan tekanan kejiwaan baik pada pihak suami, istri maupun anak-anak. Kebersamaan yang sudah dinikmati selama bertahun-tahun, harus rusak oleh persoalan tertentu yang berdampak perceraian. 

Setelah bercerai, masalah muncul lagi pada masing-masing anggota keluarga, terlebih pada anak-anak. Mereka bisa mengalami alienasi, keterasingan, kesepian, kehilangan figur, kehilangan kehangatan, karena perubahan pola dalam kehidupan. Yang semula berada dalam kondisi keluarga yang utuh, setelah bercerai menjadi tidak lagi utuh. Anak-anak paling rentan mengalami faktor resiko tekanan kehidupan setelah orang tua bercerai.

Kematian salah satu atau beberapa anggota keluarga menimbulkan tekanan dan persoalan kehidupan. Kehilangan orang yang dicintai bisa menjadi penyebab stres dalam waktu panjang dan memengaruhi kestabilan kehidupan keluarga. Ditinggal mati suami, ditinggal mati istri, anak, atau orang tua, bisa menjadi faktor pemicu stres yang harus disiapkan dan dikelola dengan baik. 

Pada pribadi dan keluarga yang memiliki resiliensi tinggi, kematian salah seorang dari anggota keluarga tidak akan menimbulkan stres berkepanjangan. Mereka bisa bersikap dengan matang dan dewasa, sehingga kesedihan yang muncul tidak sampai berlarut-larut.

  • Penyakit Kronis

Penyakit kronis dan parah yang diderita salah satu atau beberapa anggota keluarga bisa menjadi sumber stres yang berkelanjutan. Pada contoh suami sebagai tulang punggung ekonomi keluarga, apabila mendadak mengalami penyakit parah yang membuatnya tidak mampu bekerja produktif, akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup keluarga. 

Istri dan anak-anak bisa mengalami stres karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, Demikian pula pada contoh istri yang mengalami penyait berat yang membuatnya tidak mampu melayani suami, bisa menjadi tekanan berat bagi suami. Daya resiliensi pribadi maupun keluarga sangat diperlukan dalam menghadapi masalah berat seperti ini.

  • Ketidaksuburan Reproduksi

Salah satu tujuan menikah dan berumah tangga adalah memiliki anak. Maka tatkala dalam pernikahan tidak bisa memiliki keturunan karena ketidaksuburan reproduksi, bisa memunculkan persoalan tersendiri yang cukup pelik. Kadang terjadi suasana saling menyalahkan antara suami dan istri, keduanya saling menuduh pasangannya sebagai pihak penyebab tidak memiliki anak. 

Hasil check medis kadang bertolak belakang, yang justru semakin membuat keduanya saling menyalahkan. Jika kedua belah pihak memiliki daya resiliensi tinggi, situasi seperti ini akan bisa diatasi dengan baik.

  • Perkembangan Teknologi

Tidak bisa dipungkiri teknologi informasi dan komunikasi telah melaju dengan sangat cepat. Kecepatan perkembangan teknologi tidak sebanding dengan kecepatan daya antisipasi yang bisa dilakukan oleh manusia. Dampaknya, seringkali manusia terjajah oleh teknologi. 

Sangat banyak dijumpai keretakan dan kehancuran keluarga dipicu oleh faktor teknologi komunikasi dan informasi yang terlalu deras dan tidak bijak dalam memanfaatkannya. Akhirnya teknologi menjadi petaka dalam keluarga. Muncul pihak ketiga melalui fitur-fitur komunikasi, ketidaksetiaan telah dipermudah oleh perkembangan teknologi.

  • Perkembangan Sosial, Budaya dan Politik

Salah satu faktor eksternal yang bisa memicu stress pada pribadi dan keluarga adalah perkembangan sosial, budaya dan juga politik. Situasi kehidupan yang terus menerus berubah, tuntutan hidup yang terus berkembang, sering kali tidak diikuti dengan kemampuan untuk segera beradaptasi. Apalagi pergaulan di zaman cyber saat ini tidak lagi terbatas pada lokal yang sempit, namun sudah menjadi pergaulan global yang tidak memiliki batas-batas wilayah yang tegas. 

Akhirnya berbagai pengaruh dengan mudah masuk dalam kehidupan pribadi dan keluarga. Ketidaksiapan mengantisipasi perubahan-perubahan kondisi sosial, budaya dan politik, bisa memicu resiko stres pada pribadi dan keluarga.

Mengatasi Faktor Kerentanan

Seluruh faktor yang menjadi pemicu kerentanan keluarga, pada dasarnya bisa diatasi dan diantisipasi dengan menguatkan resiliensi keluarga. Yang dimaksud dengan resiliensi atau kelentingan adalah kemampuan individu atau komunitas untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah dan penderitaan yang terjadi dalam kehidupan. 

Resiliensi juga dipahami sebagai kemampuan untuk bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya. Resiliensi juga merupakan kemampuan individu atau komunitas untuk mengelola perubahan (tantangan atau keberagaman hidup) untuk menjaga kesejahteraan mental.

Jika keluarga memiliki daya resiliensi yang tinggi, akan melahirkan karakter dan perilaku positif dalam menghadapi semua faktor resiko tersebut. Karakter dan perilaku positif yang dimaksud sangat banyak contohnya, seperti kuatnya pendekatan diri kepada Allah sesuai ajaran agama, sikap saling percaya dan menghargai satu sama lain, tradisi kebersamaan dalam keluarga, komunikasi efektif, saling menjaga, saling membantu, saling memaafkan ketika seseorang diantaranya melakukan kesalahan atau hal-hal yang tidak diinginkan, serta komitmen yang kuat terhadap kepentingan dan kebaikan keluarga.

Karakter dan perilaku positif ini merupakan modal sangat berharga bagi keluarga untuk mampu bertahan, jika muncul badai atau stresor yang menggoncang ketahanan keluarga. Inilah yang dimaksud dengan daya lenting atau kelentingan atau resiliensi. Sebuah daya yang sangat diperlukan oleh individu dan keluarga untuk mempertahankan kebaikan dan keutuhannya.

Bahan Bacaan:

Diana Setiyawati, Ph.D., Modul Resiliensi, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 2016

Ariel Kalil, Family Resilience and Good Child Outcomes : A Review of the Literature, Centre for Social Research and Evaluation, Wellington, 2003

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun