Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa Menyontek Saat Ujian karena...

6 Desember 2019   15:08 Diperbarui: 6 Desember 2019   17:40 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siswa menyontek. (satuharapan.com)

Lucu sekaligus pilu saat mendengar cerita siswa menyontek ketika ujian. Lucu karena begitu banyak kode-kode unik nan kreatif yang mereka hasilkan, namun pilu melihat begitu bobroknya karakter generasi bangsa ini.

Bagaimana tidak lucu, mulai dari main mata, pura-pura batuk, lempar penghapus, kejatuhan pena, menggeser meja, mengangkat soal tinggi-tinggi, sekujur tubuh bertatokan rumus, hingga selalu izin ke toilet semuanya dijadikan dalih agar bisa menyontek.

Dan bagaimana tidak pilu jika siswa tidak malu dengan perbuatannya, sebagian guru terkesan membiarkan, memberi kesempatan, hingga memberi apresiasi berupa ranking terbaik kepada siswa. Padahal itu perilaku tidak terpuji, walaupun kesannya sederhana tapi sesungguhnya menghancurkan karakter.

Bahkan kepiluan ini begitu tertambahkan saat membaca bagian pojok bawah soal ujian:

"Selamat mengerjakan, jangan menyontek"
"Good Luck, kerjakan dengan jujur"
"Percayalah dengan dirimu sendiri"
"Jujur itu hebat"

Siswa tidak mungkin pura-pura buta dengan bacaan di atas. Guru pula tidak mungkin asal ketik. Pasti ada harapan besar agar siswa mengerjakan ujian dengan jujur. Harapannya, nilai tinggi namun dikerjakan dengan penuh kejujuran.

Apa Alasan Siswa Menyontek?
Menimbang kelucuan dan kepiluan ini, saya sengaja memberikan pertanyaan tentang alasan menyontek kepada siswa melalui grup WA. Kalau pertanyaan ini dipersembahkan kepada guru, orangtua, atau bahkan pengamat pendidikan, sudah barang tentu akan dikaitkan dengan berlonggok teori yang mereka makan.


Awalnya iseng, saya mendata sekitar 60 siswa SMP yang pernah saya ajar di tahun 2017 terkait dengan alasan mereka menyontek saat ujian. Alasan memilih mereka karena sekarang mereka sudah kelas IX dan saya juga sudah pindah dari SMP, sehingga mereka akan cenderung terbuka dalam menjawab.

Berikut adalah rangkuman jawabannya:

"Tidak yakin dengan jawaban sendiri"
"Tidak tahu, dan materi belum dipelajari"
"Takut nanti nilai rendah dan HP disita orangtua"
"Kalau nilai ujian tinggi, dipuji terus oleh guru dan teman"
"Kepepet, ada kesempatan, dan situasi mendukung"

Setelah merangkum jawaban ini, saya malah heran karena seisi grup tidak berhenti berkicau. Para siswa malah berdebat tentang pengakuan pribadi bahwa perilaku menyontek itu benar-benar salah.

Tidak cukup sampai situ, mereka pula mengaitkan perilaku menyontek itu dengan masa depan. Misalnya tentang teman yang menyontek tapi dapat juara umum di sekolah. Siswa menyontek tapi dapat beasiswa. Bahkan, salah satu siswa mengatakan bahwa "jika seperti itu, prestasi dan beasiswanya tidak berkah kan Pak?"

Jujur saja saya langsung tertegun sembari merasa tidak perlu lagi memberikan kesimpulan atas pertanyaan tadi. Toh, mereka sendiri sebenarnya sudah tahu bagaimana akibatnya jika menyontek, dan mereka juga sebenarnya tidak ingin menyontek. Tapi, kok masih menyontek? Antara malas belajar dan mau tidak mau. Huhhhh

Dari Menyontek, Permasalahan Pendidikan Kita Semakin Jelas
Wajar jika selama ini UN ada indikasi kecurangan. Siswa tidak tahu harus jawab apa, sedangkan target pemerintah pusat dan kabupaten harus sebegini dan sebegitu. Beberapa sekolah pasti mengakui bahwa pendidikan hari ini semakin senjang, dan UN semakin menambah kesenjangan itu.

Kurikulum yang padat jadi beban besar guru dalam mengajar dan jadi makanan tambuh berpiring-piring bagi siswa untuk memakannya. Mirisnya, waktu yang diperlukan untuk menghabiskan materi lebih singkat daripada waktu menunggu buku revisi kurikulum tiba. Siswa akan melaksanakan ujian semester 2, buku semester 1 baru tiba.

Begitu pula dengan ujian sekolah. Wajar jika selama ini siswa menyontek. Kadang KKG (Kelompok Kerja Guru) atau MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) tidak aktif tapi malah mereka yang buat soal. Lah, mereka tahu apa!

Guru yang mengajar, guru yang tahu dengan kemampuan siswa malah orang lain yang menilai. Hebatnya, tidak terdengar tindak lanjut seperti evaluasi butir-butir soal yang bermasalah, kesesuaian soal dengan kemampuan dan ketercapaian siswa, serta pemangkasan materi berlebih di dalam soal.

Yang sering terdengar adalah nilai rata-rata ujian dalam suatu sekolah, kabupaten, provinsi, maupun negeri. Kemudian tentang nilai terendah dan tertinggi pada mata pelajaran tertentu maupun seluruh mata pelajaran. Dari sini jangankan siswa, sekolah pun ingin menggapai nilai tertinggi itu.

Ditambah lagi dengan adanya kesempatan, maka siswa akan senang sekali untuk menyontek. Terang saja, jika guru masuk sekadar membagikan soal ujian kepad siswa lalu ia kembali ke kantor, kira-kira apa yang terjadi? Pasti siswa akan selesai mengerjakan ujian sebelum waktunya.

Jika sudah sering seperti ini, mulailah ada kecenderungan untuk menyukai guru-guru tertentu sebagai pengawas. Karena apa? Karena memberikan ruang bagi siswa untuk menyontek. Jangan sampai guru bangga dengan penobatan ini. Hmmm

Pendidikan Lebih Menghargai Nilai Daripada Kejujuran?

(dailymail.co.uk)
(dailymail.co.uk)
Guru menasehati tentang kejujuran kepada siswa. Pemerintah juga, menteri juga demikian. Tapi, saat siswa jujur dengan nilai 10, 20, 30, atau bahkan nol berikut dengan pengakuan "saya belum bisa Pak!", mereka malah ditinggalkan dan dianggap lemah.

Bahkan, penderitaan siswa seperti ini kian bertambah ketika mereka dimarahi oleh orangtua dan tidak boleh main HP lagi. Pasti siswa akan takut dan mereka akan memperjuangkan nilai tinggi, bagaimanapun caranya.

Siswa mau-mau saja jujur, tapi bagaimana dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang menyentuh angka 70 bahkan 80 di setiap mata pelajaran? Bagaimana pula dengan hinaan yang mereka terima sebagai akibat dari kejujurannya?

Semakin ke sini semakin tegas bahwa nilai itu lebih berharga daripada kejujuran. Yang nilainya tinggi dibangga-banggakan, yang nilainya sedang dianggap aman, yang nilainya rendah menjadi pusat perhatian dan pelampiasan.

Kadang, wajar pula jika di negara ini orang-orang jujur mulai punah. Membawa kejujuran itu berat. Seseorang harus terhina, dibenci oleh orang lain, minim pujian dan apresiasi, hingga dianggap samar-samar keberadaannya di sekitar kita.

Agaknya akan mustahil di hari esok siswa tidak menyontek lagi jika orientasi pendidikan kita adalah nilai sebegini dan sebegitu. Terlebih lagi jika didukung dengan kesempatan, kelonggaran, tekanan orangtua, bahkan kesempatan untuk dipuji, maka akan berduyun-duyun siswa menyontek.

Untuk itu, pendidikan di Indonesia perlu dimantapkan dan diluruskan. Guru harus sadar bahwa perilaku menyontek bisa berangkat dari ketidakpahaman siswa terhadap materi, adanya tekanan, dan tersedianya peluang.

Pemerintah pula harus sadar bahwa perilaku siswa menyontek tidak semata-mata karena kebiasaan melainkan tuntutan kualitas pendidikan yang semakin tinggi dan berskala nasional. Di satu sisi, peningkatan kualitas itu harus, namun di sisi lain seakan terpaksa dan tidak selalu dibarengi dengan karakter.

Kejujuran harus ditinggikan karena tidak ada yang namanya karakter jika masih berselimut kecurangan. Penghargaan terhadap nilai sejatinya boleh-boleh saja, tapi khusus diperuntukkan bagi mereka yang bersungguh-sungguh dan murni kejujurannya.

Salam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun