Mohon tunggu...
Nizamuddin Sadiq
Nizamuddin Sadiq Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik yang terus belajar sepanjang hayat

Kebenaran sejati adalah kebenaran yang hakiki, dan itu sulit dicari kecuali oleh kebenaran itu sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mosaik Kecil Capres dan Cawapres 2019

12 Agustus 2018   23:29 Diperbarui: 12 Agustus 2018   23:44 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Teka-teki dan spekulasi tentang siapa pendamping Jokowi dan siapa calon penantangnya di Pilpres 2019, terjawab sudah. Jokowi yang didukung oleh 9 Parpol akhirnya memutuskan untuk menggandeng K.H. Ma'ruf Amin (KMA), Ketua MUI, sebagai Cawapres-nya.

Sementara, koalisi 4 parpol lainnya yang digadang-gadang sebagai koalisi Kebangsaan dan Keumatan, sepakat mendukung Prabowo untuk kembali maju dalam kontestasi Pilpres 2019, dan Prabowo sendiri memilih untuk mengomando Sandiaga Sholahuddin Uno, Wakil Gubernur DKI Jakarta, sebagai Cawapres-nya. 

Deklarasi yang dilanjutkan dengan pendaftaran ke KPU oleh kedua pasang race-runner diajang Pilpres 2019 setidaknya menandai resminya: a) rematch (tanding ulang) antara Jokowi dan Prabowo setelah Pilpres 2014, dan b) kepastian penggunaan tagar #JokowiDuaPeriode milik imcumbent dan tagar #2019GantiPresiden. Sebelum ada deklarasi dan pendaftaran, belum jelas siapa pasangan Capres dan Cawapres; tentu saja kedua tagar yang sudah di luncurkan jauh-jauh hari dipertanyakan validitasnya.

Sekarang semua sudah jelas, valid dan terang benderang. Indonesia akan memilih salah satu diantara dua pasang Capres-Cawapres: Jokowi- Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga. 

Dibalik dramatisasi proses penentuan pasangan, dan hingar bingarnya deklarasi dan pendaftaran Capres-Cawapres 2019, sebagai penikmat sekaligus peminat masalah perpolitikan di tanah air, saya merangkum sebuah mosaik kecil yang tertangkap indera pribadi saya. Tidak semua bisa diungkapkan karena segala keterbatasan.

Apa yang saya rangkum hanyalah apa-apa saja yang tampak dipermukaan. Hal-hal yang terjadi di balik layar tentu saja tidak mungkin saya ulas karena memang di laur kemampuan saya.

Setidaknya mosaik ini akan saya kelompokkan menjadi empat hal: preferensi Capres terhadap Cawapresnya, introduksi Capres 2024, sikap ulama senior dan junior terhadap pinangan Cawapres, dan PHP Capres ber-inisial "M". 

Pertama, selera dan preferensi Jokowi (57) dalam pemilihan Cawapres tampaknya cenderung kepada mereka yang lebih senior. Mungkin kurang tepat mengatakan ini selera dan preferensi Jokowi karena yang memilihkan Jokowi pendamping bukan Jokowi melainkan Ketua-Ketua Umum Partai Jokowi sebagai Capres.

Tetapi karena Jokowi tidak bisa berbuat sekehendak hatinya, maka siapapun yang diajukan Ketua-Ketua Umum partai pengusung mau tidak mau harus diterima. Namun demikian, karena yang menjadi Capres adalah Jokowi, saya tetap menyematkan istilah selera dan preferensi ini kepada Jokowi, bukan kepada partai pengusung Jokowi sebagai Capres.

Sekarang mari kita lihat Cawapres Jokowi di Pilpres 2019. K.H. Ma'ruf Amin saat ini berusia 75 tahun. Itu artinya Jokowi lebih muda 18 tahun dari Cawapresnya tersebut. Hal ini lebih kurang sama dengan situasi saat Pilpres 2014. Saat Jokowi itu berusia 53 tahun dan lebih memilih Jussuf Kalla yang 19 tahun lebih tua darinya sebagai Cawapres.

Jadi dalam dua kali kesempatan Pilpres, Jokowi cenderung dipasangkan dengan warga negara senior dalam kontestasi Pilpres baik tahun 2014 dan tahun 2019 yang akan datang.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa semua Cawapres yang dipilihkan untuk Jokowi berusia di atas 70 tahun. Dengan kata lain, pendamping Jokowi di ajang pilpres 2019 adalah warga negara senior.

Tahun 2014 pendampingnya adalah politisi senior Partai Golkar yang sekaligus juga seorang pengusaha sukses, sementara tahun 2019 giliran Kyai atau Ulama senior yang diduetkan dengan Jokowi.

Mengapa diajang dua kali pilpres, Jokowi selalu digandengkan dengan para senior, khusus dalam segi usia, hal ini perlu ditanyakan kepada para Ketua Umum partai pengusung. Tetapi khusus penetapan KMA sebagai Cawapres dari segi senioritas yang sesungguhnya, Jokowi mengatakan bahwa sosok Kyai Ma'ruf adalah," sosok agama bijaksana," sekaligus figur berpengalaman. "Beliau pernah duduk di legislatif sebagai anggota DPRD, DPR RI, MPR RI, Wantimpres, Rais Aam PBNU, dan Ketua MUI. Dalam kaitan dengan kebhinekaan, Profesor Doktor Kiai Haji Maruf Amin juga menjabat sebagai dewan pengarah BPIP" (Tempo.co, 9/9/2018).      

Sementara itu, Prabowo (67) tampaknya lebih progresif dalam memilih Cawapres-nya. Pada tahun 2014, Hatta Radjasa sebagai Cawapres Prabowo saat itu berusia 61 tahun. Itu artinya, usia keduanya saat itu hanya terpaut 2 tahun karena Prabowo berusia 63 tahun.

Tidaklah berlebihan pula jika dikatakan pasangan Prabowo-Hatta saat itu adalah sebaya, mengingat usia mereka yang tidak terlalu jauh bedanya.

Pada kesempatan kedua ini, Cawapres-nya Sandiaga Uno (49) jauh lebih muda dari Prabowo. Terlepas dari peliknya masalah dalam menentukan Cawapres, tak dapat disangkal bahwa kali ini Prabowo berani memilih seorang BALITA (Bawah Limapuluh Tahun) sebagai pendampingnya menghadapi Jokowi -- Maruf Amin.

Setidaknya ada dua alasan mengapa Prabowo memilih Cawapres dari segi usia lebih muda dan sekaligus pengusaha sukses. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan, Sandiaga Uno dipilih untuk menggaet suara pemilih pemula dan milenial (Gatra.com, 10/8/2018). Sementara Sandiaga mengatakan kehadiran dirinya sebagai Cawapres Prabowo untuk memperjuangkan partai emak-emak dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari yang lebih baik (cnnindonesia.com, 10 Agustus 2018).   

Kedua, dalam sambutannya setelah pendaftaran di KPU, Prabowo mengatakan bahwa ada yang unik pada hari itu karena kehadiran Rachmawati, putri Presiden dan Proklamator RI, Titiek Soeharto, putri Presiden dan Bapak Pembangunan RI. Serta dua putra Presiden ke 6 RI, AHY dan Ibas. Bagi saya yang menarik justru saat itu Prabowo sudah memperkenalkan generasi ketiga Capres/Cawapres 2024. Mereka adalah, sesuai urutan saat foto bersama di KPU, AHY, dari Partai Demokrat, Hanafi Rais dari PAN, dan Sandiaga Uno (mantan Partai Gerindra).

Berturut-turut, Sandiaga 49 tahun, AHY 40 tahun dan Hanafi 38 tahun. Ditengah sulitnya anak-anak muda mendapatkan tempat dalam panggung politik Indonesia kekinian, kehadiran ketiganya saat pendaftaran Capres-Cawapres 2019 bagaikan setetes embun di padang pasir.

Sehingga tidaklah mengherankan jika Prabowo mengatakan bahwa kehadiran generasi ketiga dalam kesempatan tersebut sebagai upaya "Menyiapkan generasi kita yang muda, pintar, setia NKRI, yang akan menegakkan amanat penderitaan rakyat dan keadilan," (www.viva.co.id, 11/8/2018).

Ketiga, Cawapres Jokowi -- KMA -- adalah seorang ulama senior yang kebetulan Rois Aam PBNU, sementara Ustad Abdul Somad (UAS, 38 tahun) pendakwah muda berlatar belakang NU yang merupakan dai sejuta viewer. Yang menarik dari keduanya adalah nama mereka masuk dalam radar Cawapres baik Jokowi dan Prabowo.

Namun yang membedakan keduanya adalah KMA menerima pinangan Jokowi, UAS tetap bergeming untuk tidak bersedia di Cawapreskan. Dalam suatu kesempatan, KMA mengatakan, "Saya kan sudah mengatakan saya enak di jalur ini (dakwah). Tetapi, kalau negara membutuhkan saya, saya siap," katanya (Tempo.Co, 10/8/2018). 

Sementara UAS Somad menyatakan lebih memilih fokus pada dunia dakwah dan pendidikan dibanding terjun ke politik praktis. UAS mengaku lebih menyukai posisinya sekarang sebagai dai karena peran mubaligh tidak kurang signifikannya dalam menghadirkan kesejukan di tengah masyarakat. Juga, memberikan nasihat-nasihat kepada para pemimpin. Meskipun dibujuk dengan cara apapun, UAS tetap menolak.

Termasuk persuasi yang mengkespresikan bahwa umat meminta dan negara memanggil. Semua tidak menyurutkan tekadnya untuk menjadi ustad sampai mati. Bahkan UAS melukiskan dirinya, "Biarlah saya jadi suluh di tengah kelam, setetes embun di tengah Sahara. Tak sungkan berbisik ke Habib Salim. Tak segan bersalam ke Jenderal Prabowo," (Republika.co.id, 6/8/2018).

Keempat, Mahfud, MD (MMD) dua kali di PHP sebagai Cawapres. Tahun 2014, nama MMD menjadi salah satu kandidat kuat sebagai Cawapres Jokowi. Digadang-gadang oleh PKB untuk menjadi Cawapres Jokowi tetapi sejarah berkehendak lain, Jokowi lebih memilih JK, politikus senior Partai Golkar. Saat itu MMD memang bukanlah pengurus partai tertentu, sehingga mudah saja bagi Ketua Umum partai waktu itu untuk menolak MMD sebagai Cawapres. Episode selanjutnya adalah MMD didaulat sebagai Ketua Pemenangan Prabowo-Hatta. Tetapi saying, hasilnya jauh dari harapan karena Prabowo-Hatta kalah dari Jokowi-JK. 

Di tahun 2019, tampaknya sejarah berulang. Meskipun MMD sudah menyiapkan berkas pencalonan Cawapres, sudah mengenakan baju putih ala Jokowi dan sudah berada di arena deklarasi Capres-Cawapres.

Ternyata ada yang menyalip ditikungan. Ketua Umum Partai tidak setuju dan mengancam akan meninggalkan Jokowi jika tetap bersikukuh memilih MMD.

Alasannya juga mirip dengan yang terjadi pada tahun 2014. Kalau di tahun 2014, MMD dianggap tidak seratus persen PKB. Kali ini, MMD tidak dianggap seratus persen NU.

Hal ini sangat tegas disampaikan oleh Ketua Umum PBNU kepada media bahwa "PBNU hanya menawarkan kader yang 24 karat "(Republika.co.id, 9/8/2018). Walhasil, ketika KMA ditetapkan sebagai Cawapres oleh Jokowi, suasana yang sangat euphoria di kantor PBNU beredar melalui vieo. PKB dan PBNU menjadi momok dalam dua kali pne-Cawapres-an MMD. Dua kali hamper menjadi Cawapres Jokowi. Beruntung MMD adalah seorang negarawan sejati. Setelah Jokowi menetapkan KMA sebagai Cawapres, MMD mengatakan, "Menurut saya biasa dalam politik. Itu tidak apa-apa, kita harus lebih utamakan keselamatan negara ini daripada sekadar nama Mahfud atau Ma'ruf Amin," (Batamnews.co.id, 9/8/2018). 

Selanjutnya, menurut kabar di media social, MMD akan diminta untuk menjadi Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Maruf Amin. Kalau tawaran itu diterima, jangan lupa sejarah kerap berulang. Jangan-jangan nasibnya yang di PHP dua kali sebagai Cawapres berimbas kepada gagalnya sebagai Ketua Tim Pemenangan. Ingat, MMD pernah gagal sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta di tahun 2014. Apa akan mengulanginya di tahun 2019?

Fenomena MMD ini sebenarnya juga setali tiga uang dengan kondisi PKS. Meskipun tidak di PHP, tetapi dalam koalisi De Facto, PKS termasuk yang kurang beruntung dalam menyodorkan kader-kadernya baik untuk menjadi Capres atau Cawapres. Menggadang 3 kader sebagai Capres 2014, Muhammad Hidayat Nur Wahid, Muhammad Anis Matta, dan Ahmad Heryawan (Viva.co.id, 2/2/2014), pada akhirnya tidak satupun yang berhasil menjadi Capres bahkan tidak pula menjadi Cawapres Prabowo. Dalam pilpres 2014, Prabowo lebih memilih Hatta Radjasa, Ketua Umum PAN saat itu, sebagai Cawapres. 

Pilpres tahun 2019, sebenarnya PKS sudah mendapatkan angin segar karena ijtima GNPF Ulama merekomendasikan kadernya Salam Segaf Al-Jufri sebagai Cawapres Prabowo. Namun demikian, meskipun sudah mendapatkan endorsement dari Ijtima GNPF Ulama, lagi-lagi PKS harus gigit jari karena Prabowo justru memilih kadernya sendiri, Sandiaga Uno, sebagai Cawapres. 

Dari mosaik kecil di atas, Pemilihan Presiden di Indonesia itu sangat complicated (kompleks dan ruwet). Secara de facto yang berhak mengusung Capres dan Cawapres adalah partai politik (parpol). Tetapi faktanya, secara de jure, justru institusi di luar parpol, seperti PBNU, lebih menonjol perannya. Bahkan bisa mengubah peta konstelasi pasangan Capres dan Cawapres.

Jika kondisinya masih terus seperti ini, tidak perlu malu untuk mengakui bahwa sulit untuk mendapatkan sosok pemimpin yang kapabel, bersih, dan ikhlas dalam memimpin negeri ini. Yang ada, mau diakui atau tidak, adalah pemimpin hasil transaksi segelintir elit yang berkuasa dan rakus.

Catatan kecil akhir pekan, SO162NS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun