Mohon tunggu...
Nizamuddin Sadiq
Nizamuddin Sadiq Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik yang terus belajar sepanjang hayat

Kebenaran sejati adalah kebenaran yang hakiki, dan itu sulit dicari kecuali oleh kebenaran itu sendiri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mosaik Kecil Capres dan Cawapres 2019

12 Agustus 2018   23:29 Diperbarui: 12 Agustus 2018   23:44 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namun yang membedakan keduanya adalah KMA menerima pinangan Jokowi, UAS tetap bergeming untuk tidak bersedia di Cawapreskan. Dalam suatu kesempatan, KMA mengatakan, "Saya kan sudah mengatakan saya enak di jalur ini (dakwah). Tetapi, kalau negara membutuhkan saya, saya siap," katanya (Tempo.Co, 10/8/2018). 

Sementara UAS Somad menyatakan lebih memilih fokus pada dunia dakwah dan pendidikan dibanding terjun ke politik praktis. UAS mengaku lebih menyukai posisinya sekarang sebagai dai karena peran mubaligh tidak kurang signifikannya dalam menghadirkan kesejukan di tengah masyarakat. Juga, memberikan nasihat-nasihat kepada para pemimpin. Meskipun dibujuk dengan cara apapun, UAS tetap menolak.

Termasuk persuasi yang mengkespresikan bahwa umat meminta dan negara memanggil. Semua tidak menyurutkan tekadnya untuk menjadi ustad sampai mati. Bahkan UAS melukiskan dirinya, "Biarlah saya jadi suluh di tengah kelam, setetes embun di tengah Sahara. Tak sungkan berbisik ke Habib Salim. Tak segan bersalam ke Jenderal Prabowo," (Republika.co.id, 6/8/2018).

Keempat, Mahfud, MD (MMD) dua kali di PHP sebagai Cawapres. Tahun 2014, nama MMD menjadi salah satu kandidat kuat sebagai Cawapres Jokowi. Digadang-gadang oleh PKB untuk menjadi Cawapres Jokowi tetapi sejarah berkehendak lain, Jokowi lebih memilih JK, politikus senior Partai Golkar. Saat itu MMD memang bukanlah pengurus partai tertentu, sehingga mudah saja bagi Ketua Umum partai waktu itu untuk menolak MMD sebagai Cawapres. Episode selanjutnya adalah MMD didaulat sebagai Ketua Pemenangan Prabowo-Hatta. Tetapi saying, hasilnya jauh dari harapan karena Prabowo-Hatta kalah dari Jokowi-JK. 

Di tahun 2019, tampaknya sejarah berulang. Meskipun MMD sudah menyiapkan berkas pencalonan Cawapres, sudah mengenakan baju putih ala Jokowi dan sudah berada di arena deklarasi Capres-Cawapres.

Ternyata ada yang menyalip ditikungan. Ketua Umum Partai tidak setuju dan mengancam akan meninggalkan Jokowi jika tetap bersikukuh memilih MMD.

Alasannya juga mirip dengan yang terjadi pada tahun 2014. Kalau di tahun 2014, MMD dianggap tidak seratus persen PKB. Kali ini, MMD tidak dianggap seratus persen NU.

Hal ini sangat tegas disampaikan oleh Ketua Umum PBNU kepada media bahwa "PBNU hanya menawarkan kader yang 24 karat "(Republika.co.id, 9/8/2018). Walhasil, ketika KMA ditetapkan sebagai Cawapres oleh Jokowi, suasana yang sangat euphoria di kantor PBNU beredar melalui vieo. PKB dan PBNU menjadi momok dalam dua kali pne-Cawapres-an MMD. Dua kali hamper menjadi Cawapres Jokowi. Beruntung MMD adalah seorang negarawan sejati. Setelah Jokowi menetapkan KMA sebagai Cawapres, MMD mengatakan, "Menurut saya biasa dalam politik. Itu tidak apa-apa, kita harus lebih utamakan keselamatan negara ini daripada sekadar nama Mahfud atau Ma'ruf Amin," (Batamnews.co.id, 9/8/2018). 

Selanjutnya, menurut kabar di media social, MMD akan diminta untuk menjadi Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Maruf Amin. Kalau tawaran itu diterima, jangan lupa sejarah kerap berulang. Jangan-jangan nasibnya yang di PHP dua kali sebagai Cawapres berimbas kepada gagalnya sebagai Ketua Tim Pemenangan. Ingat, MMD pernah gagal sebagai Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta di tahun 2014. Apa akan mengulanginya di tahun 2019?

Fenomena MMD ini sebenarnya juga setali tiga uang dengan kondisi PKS. Meskipun tidak di PHP, tetapi dalam koalisi De Facto, PKS termasuk yang kurang beruntung dalam menyodorkan kader-kadernya baik untuk menjadi Capres atau Cawapres. Menggadang 3 kader sebagai Capres 2014, Muhammad Hidayat Nur Wahid, Muhammad Anis Matta, dan Ahmad Heryawan (Viva.co.id, 2/2/2014), pada akhirnya tidak satupun yang berhasil menjadi Capres bahkan tidak pula menjadi Cawapres Prabowo. Dalam pilpres 2014, Prabowo lebih memilih Hatta Radjasa, Ketua Umum PAN saat itu, sebagai Cawapres. 

Pilpres tahun 2019, sebenarnya PKS sudah mendapatkan angin segar karena ijtima GNPF Ulama merekomendasikan kadernya Salam Segaf Al-Jufri sebagai Cawapres Prabowo. Namun demikian, meskipun sudah mendapatkan endorsement dari Ijtima GNPF Ulama, lagi-lagi PKS harus gigit jari karena Prabowo justru memilih kadernya sendiri, Sandiaga Uno, sebagai Cawapres. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun